Mohon tunggu...
Arief Maulana
Arief Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Peneliti di Setjen DPD RI

As there is only one God in the universe, there should be only one love in this world.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Utang Luar Negeri, Negara Sedang Krisis?

21 Desember 2018   00:02 Diperbarui: 21 Desember 2018   01:12 1268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketiga, bunga yang terlalu tinggi. Bila pada pemerintahan Soekarno-Hatta mensyaratkan bunga tidak lebih dari 3,5%, maka sejak rezim Soeharto hingga sekarang, Pemerintah terlalu lunak untuk menerima bantuan utang luar negeri dengan pinjaman yang tinggi. Entah berapa bunga dari setiap utang yang diterima Pemerintah Indonesia, namun bila dilihat dari beban bunga yang harus dibayar tahun ini (Rp 189 Triliun) dibanding dengan jumlah total utang (RP 4.199 triliun) maka kurang lebih 4,5%, jumlah yang cukup besar. Keempat, adanya agenda-agenda terselubung. Biasanya banyak agenda terselubung dari utang yang diberikan Kreditur kepada pemerintah kita, yang kadang kerap kali merugikan Negara. Salah satunya adalah ketika kita terpaksa menerima bantuan IMF dengan LOI (Letter of Intent) yang dipersyaratkan yang katanya untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis moneter. 

Seperti yang pernah diungkapkan mantan Menteri Ekonomi, Kwik Kian Gie (2004), LOI yang disetujui Pemerintah Indonesia memaksa kita untuk melakukan 327 dalam bidang restrukturisasi perbankan yang dipaksakan, 114 dalam bidang restrukturisasi utang perbankan, 41 dalam bidang desentralisasi, 44 dalam bidang lingkungan hidup, 168 dalam bidang fiskal, 82 dalam bidang perdagangan luar negeri, 59 deregulasi dan perbankan, 131 dalam bidang pinjaman dan pemulihan asset, 105 dalam kebijakan moneter dan Bank Sentral, 26 lain-lain, dan 120 dalam bidang privatisasi BUMN.

Salah satu contoh teranyar yang sangat bermanfaat bagi Indonesia adalah krisis Yunani. Kasus Yunani mengingatkan kita tentang beban utang yang tidak dikelola dengan benar akan menjadi sumber kejatuhan sebuah negara. Masalah ini memang terkait juga dengan politik dan pengelolaan kinerja pemerintahan. Indonesia telah mengalami hal serupa terkait krisis keuangan pada 1997 dan diingatkan bahwa masalah serupa tampaknya belum sepenuhnya bisa dibersihkan. Belakangan ini, bahkan menunjukkan ada kecenderungan meningkat, terutama dengan menurunnya nilai rupiah hingga posisi tertinggi sebelum krisis itu.

Namun demikian, kita juga harus melihat bahwa kegagalan pengelolaan utang sebuah negara akan merusak aspek kehidupan secara luas. Hal itu umumnya dipicu oleh kejatuhan ekonomi atau kegagalan mengelola politik. Hiruk-pikuk politik di Indonesia dan situasi rupiah bisa menjadi gabungan faktor yang mengarah pada situasi yang berat. Dalam dekade kedua abad ke-21 ini kita menyaksikan banyak negara jatuh dan gagal karena dipicu oleh politik yang kacau, seperti di Afrika dan Timur Tengah, dan kejatuhan ekonomi di Yunani. Hal ini harus menjadi pelajaran penting bagi Indonesia.

Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dan mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri mulai dipertanyakan dan tampaknya akan sulit terjadi. Meskipun pemerintah berdalih bahwa rasio utang terhadap PDB cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir, nyatanya argumentasi itu kurang tepat. 

Kita tahu bahwa PDB pada hakikatnya merupakan total output produksi yang dihasilkan di dalam negeri, terlepas dari siapa yang memproduksi output tersebut (swasta asing atau swasta pribumi). Jika ternyata output perekonomian didominasi oleh swasta asing, tentu argumentasi dengan membandingkan jumlah utang luar negeri terhadap PDB menjadi kurang relevan. Seharusnya, pemerintah menggunakan rasio utang luar negeri terhadap PNB/Produk Nasional Bruto (akumulasi output perekonomian yang dihasilkan oleh swasta pribumi, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri).

Penggunaan utang luar negeri sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan selama digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang produktif. Jika berhasil, output perekonomian akan meningkat dan pertumbuhan ekonomi akan naik. Naiknya angka pertumbuhan merupakan salah satu faktor (selain stok cadangan devisa dan pengembangan alokasi APBN) yang menjadi pertimbangan dalam pemberian peringkat utang oleh lembaga-lembaga internasional pemeringkat kredit dunia. Jika suatu negara dikategorikan sebagai investment grade, tentu itu akan berdampak baik bagi perekonomian domestik. 

Status investment grade ini akan menekan biaya penerbitan obligasi negara yang diterbitkan oleh pemerintah atau swasta domestik karena dianggap memiliki resiko gagal bayar yang rendah. Akibatnya, banyak investor asing akan tertarik untuk menanamkan modalnya di dalam negeri, sehingga ruang untuk melakukan ekspansi dalam perekonomian pun semakin lebar.

Akan tetapi, utang luar negeri juga bisa menjadi bumerang bagi republik ini. Alih-alih digunakan untuk sektor-sektor yang produktif, penggunaan utang luar negeri yang tidak tepat sasaran akan menyebabkan permasalahan serius di kemudian hari. Kasus yang paling banyak terjadi antara lain penyalahgunaan pinjaman dan lemahnya pengawasan proyek-proyek yang dibiayai dengan utang luar negeri membuat praktik-praktik korupsi di pemerintahan menjadi sangat subur. Oleh karena itu, justifikasi terhadap penggunaan utang luar negeri yang semakin bertambah tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi-kondisi di atas. Jika tidak, yang terjadi adalah dept trap yang tidak berkesudahan dimana negara pengutang kesulitan membayar bunga dan pokok cicilan.

Sebenarnya, peringatan agar selalu waspada terhadap utang luar negeri yang diberikan oleh pihak asing sudah banyak dilakukan oleh para ekonom dan sarjana-sarjana di Indonesia. Akan tetapi, kita harus selalu mengingatkan kembali agar Pemerintah Indonesia saat ini harus belajar dari pengalaman sejarah agar tidak kembali terpuruk dalam kriris ekonomi lagi dengan melihat sejarah pengelolaan utang luar negeri. Pemerintah harus tegas dan bertekad untuk mengakhiri kecanduan terhadap utang luar negeri. Semoga!

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun