Mohon tunggu...
Arief Maulana
Arief Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Peneliti di Setjen DPD RI

As there is only one God in the universe, there should be only one love in this world.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Utang Luar Negeri, Negara Sedang Krisis?

21 Desember 2018   00:02 Diperbarui: 21 Desember 2018   01:12 1268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sungguh sebenarnya hal yang luar biasa, namun sudah dianggap biasa. Meski Menkeu Sri Mulyani mengatakan jika kemampuan pemerintah menjaga rasio utang terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto) masih sehat, namun tak salah jika Pemerintah harus hati-hati. Pemerintah harus selalu lebih hati-hati dan belajar dari pengalaman masa lalu agar pengalaman di masa lalu (krisis moneter 1997-1998) jangan sampai lagi terulang. Jadi utang kita yang menumpuk (Rp 4.199 triliun) yang ada saat ini bukan kesalahan mutlak rezim saat ini, namun merupakan tumpukan-tumpukan utang yang telah dilakukan sejak rezim-rezim sebelumnya.

Kondisi Utang Luar Negeri Saat Ini

Jumlah utang luar negeri Indonesia pada awal November 2017 bertambah US$ 5,5 miliar menjadi US$ 347,29 miliar setara Rp 4.618,9 triliun, dengan kurs Rp 13.300 per dolar Amerika Serikat. Jumlah tersebut terdiri atas utang pemerintah senilai US$ US$ 176,63 miliar atau Rp 2.349,2 triliun dan utang swasta US$ 170,65 miliar atau Rp 2.269,7 triliun. Rasio utang jangka pendek pemerintah berdasarkan jangka waktu asal terhadap total utang sebesar 13,86 persen. Sementara rasio utang jangka pendek berdasarkan jangka waktu asal terhadap cadangan devisa mencapai 36,93%. Sedangkan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 32%.

Untuk utang luar negeri swasta, sebanyak US$ 29,58 miliar merupakan pendanaan bagi perbankan dan US$ 141,07 miliar merupakan pendanaan untuk non bank. Berdasarkan penggunaannya, utang luar negeri swasta terdiri atas US$ 55,37 miliar untuk modal kerja, US$ 52,17 miliar untuk investasi, sebanyak US$ 20,45 miliar untuk refinancing, dan US$ 24,78 miliar untuk penggunaan lainnya. 

Utang luar negeri Indonesia pada akhir Desember 2017 mencapai US$ 352,247 miliar atau setara Rp 4.772,24 triliun dengan kurs Rp 13.548/ US Dollar. Jumlah tersebut tumbuh sekitar 10% dibanding tahun sebelumnya. Meskipun mengalami kenaikan, rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih sekitar 33% dan jauh di bawah rasio utang pada 2005 yang mencapai 46%. Jadi, utang Indonesia relatif masih terkendali dan di bawah rasio utang luar negeri beberapa negara maju dan negara anggota ASEAN lainnya. Meski begitu, rasio utang Indonesia mengalami tren kenaikan sejak 2012-2015 kemudian sedikit turun pada 2016.

Berdasarkan data Bank Dunia, rasio utang Indonesia masih lebih rendah dibanding negara besar lainnya seperti Jepang sebesar 74% terhadap PDB, Jerman (147%), dan Amerika Serikat (109%). Walaupn rasio utang luar negeri Indonesia mencapai 34% terhadap PDB, yang harus diperhatikan adalah penggunaan utang tersebut haruslah tepat sasaran, yakni pembangunan yang dapat memacu daya ungkit pertumbuhan ekonomi. Selain itu, perhitungannya harus cermat agar tidak menjadi bom waktu di masa yang akan datang. Sebagai informasi, PDB Indonesia akhir tahun 2017 sebesar Rp 13.589 triliun setara US$ 1 triliun.

Belajar dari Sejarah

Harus diakui, walaupun saat ini Indonesia masuk ke dalam One Trilliun Dollars Club (sebutan untuk negara-negara yang PDBnya mencapai USD 1 Triliun per tahun), sekarang ini kita masih sangat tergantung pada utang luar negeri, dari tahun ke tahun jumlah utang luar negeri kita semakin meningkat. 

Begitu juga dengan beban bunga utang yang kita bayar juga semakin meningkat, sebagian dari utang yang kita peroleh kita bayarkan untuk membayar bunga utang tidaklah terbantahkan, seperti sebuah lirik lagu pepatah gali lobang lobang, pinjam uang bayar utang, cocok untuk menggambarkan kondisi utang luar negeri kita. Dan sebagian lagi utang digunakan untuk membiayai pembangunan berbagai sektor di Indonesia, seperti kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, mengungkapkan pembangunan sejumlah sektor di Indonesia masih bergantung pada bantuan modal utang luar negeri (Tempo, 24 Oktober 2016). Jika dilihat sekilas, kondisi ini seperti sudah menjadi kecanduan bagi pemerintah kita untuk ngutang. 

Kemudian apa yang bisa kita lakukan dengan kondisi sekarang, terutama agar tidak kecanduan ngutang. Yang pertama kita lakukan adalah intropeksi diri. Belajar dari sejarah, setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan utang luar negeri kita menumpuk dan menjadi beban bagi perekonomian Indonesia yaitu: kesalahan pengelolaan, korupsi, bunga terlalu tinggi, dan agenda agenda terselubung dari pemberi utang.

Pertama, kesalahan pengelolaan. Krisis moneter 1997 adalah bukti salah pengelolaan yang pernah dilakukan oleh elit negeri ini, terutama pada rezim orde baru yang melakukan pinjaman uang tanpa memperdulikan kemampuan untuk membayar utang dalam jangka panjang. Kedua, korupsi. Tidak bisa disangkal lagi, masalah utang yang mengemuka seiring dengan krisis ekonomi Indonesia berakar dari maraknya korupsi dan praktek nepotisme sepanjang kekuasaan rezim Orde Baru dibawah Soeharto. Selama 32 tahun, sumber daya politik dan ekonomi dikuasai oleh lingkaran elit birokrasi dan bisnis yang menggunakan praktek korupsi dan koneksi politik guna menggerogoti kekayaan Negara. Dan hal ini masih bisa saja terjadi hingga hari ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun