Mohon tunggu...
Ari Supriadi
Ari Supriadi Mohon Tunggu... Jurnalis - interest terhadap politik, pemerintahan dan lingkungan

Warga biasa. Tukang ngopi, kerja cuma sampingan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Mendorong IKF Pandeglang Melalui Sektor Pajak Daerah

12 Januari 2023   00:31 Diperbarui: 12 Januari 2023   00:34 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

PEMBERIAN otonomi daerah yang luas melalui desentralisasi pasca Reformasi 1998, memberi peluang terhadap perubahan paradigma pembangunan yang semula lebih mengedepankan pencapaian pertumbuhan menjadi pemerataan dengan prinsip mengedepankan keadilan dan perimbangan.

Sebagai daerah otonom, daerah memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk mengurus dan mengakomodir aspirasi masyarakat. Dengan kewenangan tersebut diharapkan pemerintah daerah bisa mengoptimalkan potensinya, sehingga mampu membiayai penyelenggaraan pemerintahan secara mandiri, tanpa harus banyak bergantung terhadap dana transfer dari pusat.

Untuk mewujudkan kemandirian fiskal, daerah perlu memperkuat struktur penerimaan dan salah satu penerimaan yang menjadi tolak ukur keberhasilan darah adalah melalui pendapatan asli daerah (PAD). PAD merupakan salah satu sumber pembiayaan daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Melalui kebijakan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki keleluasaan yang lebar untuk mengatur penerimaan daerah melalui sektor pajak daerah dan retribusi daerah, dan transfer ke daerah (TKD) dan belanja daerah secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Namun sayangnya, dari 497 kabupaten/kota se-Indonesia sekitar 90,16 persen belum mandiri secara fiskal (BPK RI, 2019).

Laporan Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dari 446 daerah di Indonesia atau 91 persen kabupaten dan kota tidak mandiri fiskal. Di mana Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru berkontribusi di angka 20 persen dari total Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).(Robert Endi Jaweng, 2014)

Di Provinsi Banten dari delapan kabupaten/kota, Kabupaten Pandeglang menjadi daerah dengan Indeks Kemandirian Fiskal (IKF) paling rendah. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menunjukkan IKF Kabupaten Pandeglang pada tahun 2019 berada di angka 0,0828 atau lebih rendah dari tetangganya Kabupaten Lebak di angka 0,1181. Daerah dengan IKF tertinggi di Provinsi Banten yakni Kota Tangerang Selatan yang berada di angka 0,5277.

Metode perhitungan IKF menggunakan Formula Hunter (1977), yakni dengan menggunakan Fiscal Autonomy Index (FAI) atau Indeks Kemandirian Fiskal (IKF). Dari metode perhitungan tersebut diklasifikasikan IKF pada empat kategori, yakni IKF Belum Mandiri (kurang dari 0,25), IKF Menuju Kemandirian (0,25-0,50), IKF Mandiri (0,50-0,75) dan IKF Sangat Mandiri (di atas 0,75).

Melihat dari formulasi perhitungan IKF tersebut, Kabupaten Pandeglang berada pada level Belum Mandiri (0,0828). Meski Kabupaten Lebak juga berada pada level yang sama dengan Pandeglang, namun angkanya sedikit lebih tinggi.

Dalam struktur APBD, postur penerimaan daerah masih lebih besar disumbang dari dana transfer. Sementara PAD belum bisa berkontribusi lebih besar terhadap total penerimaan daerah (TPD). Hingga saat ini Kabupaten Pandeglang dalam struktur APBD, masih sangat tergantung dari dana transfer. Karena kapasitas fiskal (fiscal capacity) belum mampu menutupi kebutuhan fiskal (fiscal need), sehingga sangat membutuhkan dana transfer untuk menutup celah fiskal (fiscal gap) tersebut.

Pada 30 November 2022, DPRD Pandeglang bersama pemerintah daerah melalui rapat paripurna telah menyetujui bersama Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD TA 2023, dengan proyeksi pendapatan Rp 2,535 triliun dan belanja Rp 2,536 triliun serta pembiayaan netto Rp 1,199 miliar untuk menutup defisit yang diambil dari penerimaan pembiayaan Rp 6,199 miliar dan pengeluaran pembiayaan Rp 5 miliar. Jika dihitung IKF berdasarkan Formula Hunter, maka Indeks Kemandirian Fiskal Kabupaten Pandeglang pada tahun 2023 berada di angka 0,1111 atau masih berada di kategori Belum Mandiri.

Proyeksi APBD TA 2023 lebih kecil jika dibandingkan dengan APBD T 2022. Di mana pendapatan daerah pada 2022 diproyeksikan Rp 2,612 triliun dan belanja Rp 2,629 triliun serta pembiayaan netto Rp 17,456 miliar. Secara umum pendapatan daerah dalam RAPBD TA 2023 berkurang Rp 76,388 miliar jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kondisi tersebut tentu bukan sebuah prestasi, karena terjadi kemunduran jumlah keuangan daerah Kabupaten Pandeglang yang dikelola dalam satu anggaran tersebut.

Kemudian untuk PAD tahun 2023 diproyeksikan di angka Rp 281,34 miliar atau berkurang Rp 27,20 miliar dibandingkan tahun 2022 sebesar Rp 308,54 miliar. Lagi-lagi bukan sebuah prestasi jika potensi penerimaan PAD pada tahun depan justru berkurang atau lebih kecil dibandingkan dengan tahun berjalan. Hingga saat ini Pemkab Pandeglang masih cukup kesulitan untuk mengoptimalkan penerimaan daerah dari sektor PAD. Santosa (1995), menyebutkan sedikitnya terdapat delapan yang menyebabkan rendahnya PAD, yaitu:

1. Banyaknya sumber pendapatan kabupaten/kota yang besar tetapi digali oleh instansi yang lebih tinggi;

2. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum banyak memberikan keuntungan kepada pemerintah daerah;

3. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah;

4. Adanya kebocoran-kebocoran;

5. Adanya biaya pungut yang masih tinggi;

6. Banyaknya peraturan daerah (perda) yang belum disesuaikan dan disempurnakan; dan

7. Perhitungan potensi tidak dilakukan.

Optimasi Peningkatan PAD Melalui Sektor Pajak

Pemkab Pandeglang dituntut untuk kreatif dan inovatif guna meningkatkan penerimaan daerah melalui sektor PAD, terutama pada sektor pajak daerah. Dalam Laporan Realiasi Anggaran (LRA) TA 2020, PAD terealisasi Rp 189.186.452.711 atau hanya 86,72 persen dari target Rp 218.161.098.752. Realisasi PAD tersebut jika dibandingkan dengan realisasi total pendapatan daerah (TPD) sebesar Rp 2.444.108.724.965 atau hanya di angka 7,74 persen. Sedangkan pajak daerah berkontribusi sekitar 0,19 persen atau sebesar Rp 37.216.262.945. PAD merupakan salah satu sumber keuangan daerah dan penggerak program pemerintah. Dalam menggali sumber-sumber PAD, pemerintah daerah bisa menggunakan empat prinsip umum perpajakan: effieciency, equity, neuterality, dan administrative feasibility (Whindu Putra, 2018).

Dengan adanya PAD diharapkan akan meminimalisasi ketergantungan daerah terhadap bantuan pusat atau mampu daerah tersebut mandiri secara fiskal. Apalagi pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah atau UU HKPD, pemerintah daerah memiliki peluang untuk mengoptimalkan penerimaan daerah, salah satunya melalui PAD.

Sri Mulyani (2022), menyebutkan pemberlakukan UU HKPD setidaknya memuat empat pilar yang tentunya memberikan keuntungan sektor keuangan bagi pemerintah daerah. Keempat pilar itu adalah: memperbaiki kebijakan transfer ke daerah dalam rangka mengembangkan hubungan keuangan pusat dan daerah dengan memperkecil ketimpangan vertikal dan horizontal, mengembangkan sistem pajak daerah yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, meningkatkan kualitas belanja daerah, dan harmonisasi belanja pusat dan daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal, dan menjaga kesinambungan fiskal.

Secara umum upaya peningkatan PAD bisa dilakukan dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi, yakni melalui penyempurnaan administrasi perpajakan, peningkatan kompetensi fiskus, penyempurnaan regulasi, memperluas subjek dan objek pajak serta penyesuaian tarif. Pemkab Pandeglang dalam meningkatkan PAD diharapkan tidak hanya terfokus pada langkah intensifikasi dan ekstensifikasi, namun tentu dibutuhkan sinergi dan kolaborasi bersama seluruh elemen. Ini sejalan dengan konsep good governance, di mana dalam proses penyelenggaran pemerintahan yang baik dibutuhkan adanya partisipasi subkultur kekuasaan (SKK), subkultur ekonomi (SKE) dan subkultur sosial (SKS).

Salah satu prinsip terpenting dalam pengelolaan pajak adalah adanya trust dari wajib pajak. Sebab, dengan adanya kepercayaan yang tinggi dari wajib pajak terhadap pemerintah otomatis akan meningkatkan penerimaan daerah daerah sektor pajak. Sangat wajar jika wajib pajak enggan menunaikan kewajibannya, karena mereka tidak mengetahui aliran setiap rupiah pajak yang dibayar dan dinilai belum transparannya pemerintah dalam melakukan pengelolaan pajak. Untuk mendorong trust publik dalam membayar pajak, selain dilakukan reformasi administrasi perpajakan, juga penting dilakukan peningkatan mutu dan pemahaman aparatur di bidang pengelolaan keuangan daerah, utamanya pada sektor perpajakan. Selain itu deregulasi perpajakan dan juga penerapan teknologi informasi dalam sistem perpajakan.

Kemudian masyarakat selaku wajib pajak mesti diberikan pemahaman terkait pentingnya membayar pajak. Membayar pajak harusnya tidak "di-framing" sebagai suatu kewajiban, namun harus menjadi kebutuhan setiap warga negara. Selama ini pajak terkesan dihindari, memberatkan, merugikan dan lain sebagainya yang memiliki makna kurang menyenangkan bagi masyarakat. Akhirnya masyarakat selalu merasa berat dan menghindar untuk membayar pajak. Padahal setiap rupiah uang pajak yang dibayarkan kepada pemerintah tentunya diharapkan akan kembali dalam bentuk public service yang berkeadilan.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun