Mohon tunggu...
Nabilah Rosyadah
Nabilah Rosyadah Mohon Tunggu... Editor - Penulis - Editor

If you wanna see me. You can see me on my arts.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merayakan Kelahiran

29 Oktober 2024   08:53 Diperbarui: 29 Oktober 2024   09:12 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

@page { size: 8.27in 11.69in; margin: 0.79in } p { color: #000000; line-height: 115%; text-align: left; orphans: 2; widows: 2; margin-bottom: 0.1in; direction: ltr; background: transparent } p.western { font-family: "Liberation Serif", serif; font-size: 12pt; so-language: en-ID } p.cjk { font-family: "NSimSun"; font-size: 12pt; so-language: zh-CN } p.ctl { font-family: "Arial"; font-size: 12pt; so-language: hi-IN } 

Mei 1998

"Selamat hari lahir, Nak! Terima kasih telah terlahir ke dunia. Semoga hari-harimu bahagia! Doa-doamu terkabulkan! Terima kasih juga, Istriku... kamu sudah berjuang untuk melahirkan dan membesarkan buah hati kita. Kalian berdua adalah cahaya hidup Ayah. Terima kasih telah hidup dan bersama Ayah."

Aku adalah tempat tiga manusia menyandarkan pantat-pantatnya. Dengan bobot-bobot berbeda, tidak ada yang terlalu berat, malah cenderung ringan. Manusia-manusia itu saling melempar senyum, tawa, peluk, dan ucapan-ucapan penuh cinta. 

Mereka lantas berbagi nasi tumpeng yang mereka masak bersama sejak subuh pagi tadi. Di hari biasanya, mereka memang kerapkali berbicara, kisah bahagia, sedih, atau garing. 

Membahas keseharian mereka, siapa yang mereka temui, apa yang dilakukan, hingga berceloteh apa saja setelah menonton televisi berbentuk tabung di depanku. Sepertinya hari ini lebih spesial dari hari lainnya, merayakan manusia yang mereka sebut 'Nak'.

Ngomong-ngomong, aku senang sekali ketika mereka menghampiriku. Rasa hangat dari kasih sayang mereka menjalar padaku, memberiku kebahagiaan. Mereka bahagia menyaksikan Si Doel Anak Sekolah, Tersanjung, Jin dan Jun, hingga Gebyar BCA. 

Namun, akhir-akhir ini, mereka lebih sering memutar Dunia Dalam Berita. Sesungguhnya, menonton berita sangat tidak menyenangkan, semua yang diceritakan adalah kejadian nyata dan bisa jadi mengancam kehidupan para manusia. Ekspresi dan gestur tiga manusia ini pun berubah drastis, lebih sering muram dan waspada.

Setelah memakan nasi tumpeng tadi misalnya, salah satu dari mereka bahkan berkata, "Nak, lebih baik tidak ikut demo, ya. Belajar yang benar di kampus."

Namun, manusia 'Nak' menyanggah dengan gagah, "Tidak, Yah. Saya harus turun ke jalan dan menyuarakan kebenaran. Kita tuntut keadilan dan hak-hak kita. Kita tidak bisa terus-terusan diam  dan dibungkam. Kehidupan kita semuanya dipengaruhi politik, kita terlibat. Walau kita hanya orang kecil, suara kita kecil, kita masih punya martabat untuk kehidupan kita."

Manusia lainnya yang bersuara lembut menyahut, "Kami takut... banyak orang yang hilang diculik, yang tewas. Kita baik-baik saja seperti ini."

"Bu, kita tidak baik-baik saja. Ini tidak normal! Ada yang diculik dan dibunuh karena bersuara apakah normal? Kerusuhan, krisis ekonomi apa normal? Kenapa hanya kita yang susah sementara presiden, keluarganya, dan para pejabat itu tetap kaya? Kenapa aparat membunuh rakyat sipil dan mahasiswa? Ini tidak normal! Ini salah!"

Setelah itu, manusia yang disebut 'Nak' tidak pernah mendatangiku lagi. Televisi yang tak pernah dimatikan itu memberitakan hal-hal menyeramkan: gerakan mahasiswa, kerusuhan, tewasnya pendemo, hingga hilangnya aktivis. Malam harinya, manusia yang disebut Ayah menghampiriku dengan mata sembab, tubuhnya kurus-layu, rambutnya tak tersisir, pakaiannya compang-camping penuh tanah merah, bau badannya pun menusuk. Ia sendirian dan menangis, entah berapa lama. Acara-acara di televisi dipenuhi berita demonstrasi dan keriuhan akibat krisis dan keanarkisan alat-alat negara.

Aku melihat wajah-wajah yang biasanya menghampiriku di televisi. Harusnya aku bahagia, karena orang-orang yang tampil di televisi itu kan terkenal, artis, keren. Namun, manusia yang disebut pembaca berita itu menatapku dan Ayah dengan wajah tegang. 

"Pemirsa, aksi demo mahasiswa dan masyarakat sipil yang menolak Soeharto sebagai presiden serta mendesak terjadinya reformasi berakhir ricuh. Aparat yang terdiri dari polisi dan tentara melakukan pengepungan terhadap demonstran serta mengisolir jalan-jalan maupun tempat-tempat sekitar area demo. 

Seorang mahasiswa demonstran bernama Musa ditemukan tewas tertembak dan diyakini aparat sebagai pelaku. Hal ini menyebabkan demonstran semakin marah, seorang perempuan bernama berinisial Y yang merupakan ibu dari korban nekat menerobos barikade polisi dan menewaskan seorang polisi. 

Sesuai SOP aparat, seharusnya Y  diamankan,  tetapi insiden naas terjadi. Y tewas di tempat..."

"Anakku... Istriku... Maaf... aku tak bisa melindungi kalian..." Manusia itu meraung sebelum akhirnya mematikan televisi. Dalam hari-hari yang kelabu, bahkan tanpa sinar matahari masuk ke rumah itu lagi, manusia Ayah pernah mencoba membakar tempat tinggalku ini. Namun, manusia-manusia lain yang asing keluar masuk menyelamatkannya. Aku bahkan sempat terkena jalar api dan sebagian tubuhku rusak.  

Tidak ada lagi manusia 'Nak', manusia 'Ibu'. Tidak ada energi bahagia yang menjalar dan bisa kunikmati dari mereka. Manusia Ayah pun dibawa manusia-manusia pergi meninggalkanku, meninggalkan tempat ini. Perlahan, aku pun usang.

***

Aku kembali menyaksikan sebuah siaran televisi, ini tahun 2024, 26 tahun sejak aku ditinggalkan dan menjadi rongsok. Seorang manusia tua datang menyelamatkanku yang dipenuhi debu, menambalku beberapa hari lalu meski aku tak pernah bisa seperti dahulu lagi. Manusia tua itu... manusia Ayah yang juga menjadi tua. 

Pagi ini, ia berada di atasku, memegang nasi tumpeng, menonton layar televisi yang memberitakan Peringatan Darurat atas demokrasi. Di sela-sela menonton, ia memandang nasi tumpeng dan khusyuk mengucapkan kata-kata yang teramat kurindukan.

"Selamat hari lahir, Nak! Terima kasih pernah terlahir ke dunia. Semoga hari-hari lalumu bahagia! Doa-doamu sudah terkabulkan! Terima kasih juga, Istriku... kamu sudah berjuang untuk melahirkan dan membesarkan buah hati kita. Kalian berdua adalah cahaya hidup Ayah. Terima kasih telah pernah hidup dan bersama Ayah..."

Manusia Ayah tua itu terisak dan memakan sesuap demi sesuap nasi tumpeng sebelum akhirnya terdengar riuh teriakkan, lolongan minta tolong di luar. Manusia Ayah tergopoh dan aku menunggunya penuh rindu.

Namun, berita di televisi yang menyala seolah memberiku kabar dari neraka. Manusia Ayah tua itu muncul di layar dengan wajah bonyok berlumur darah. Ia tersenyum dalam sakitnya, "Korban tumbang berlipat ganda, tetapi juga melahirkan pejuang yang jauh lebih deras dari air hujan. 

Saya bahagia menutup kisah saya sebagai pelindung dari para korban... karena sebelumnya saya tidak mampu melakukannya pada almarhum anak dan istri saya. Semoga ini terakhir kalinya ada korban untuk menegakkan keadilan dan demokrasi."   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun