"Bu, kita tidak baik-baik saja. Ini tidak normal! Ada yang diculik dan dibunuh karena bersuara apakah normal? Kerusuhan, krisis ekonomi apa normal? Kenapa hanya kita yang susah sementara presiden, keluarganya, dan para pejabat itu tetap kaya? Kenapa aparat membunuh rakyat sipil dan mahasiswa? Ini tidak normal! Ini salah!"
Setelah itu, manusia yang disebut 'Nak' tidak pernah mendatangiku lagi. Televisi yang tak pernah dimatikan itu memberitakan hal-hal menyeramkan: gerakan mahasiswa, kerusuhan, tewasnya pendemo, hingga hilangnya aktivis. Malam harinya, manusia yang disebut Ayah menghampiriku dengan mata sembab, tubuhnya kurus-layu, rambutnya tak tersisir, pakaiannya compang-camping penuh tanah merah, bau badannya pun menusuk. Ia sendirian dan menangis, entah berapa lama. Acara-acara di televisi dipenuhi berita demonstrasi dan keriuhan akibat krisis dan keanarkisan alat-alat negara.
Aku melihat wajah-wajah yang biasanya menghampiriku di televisi. Harusnya aku bahagia, karena orang-orang yang tampil di televisi itu kan terkenal, artis, keren. Namun, manusia yang disebut pembaca berita itu menatapku dan Ayah dengan wajah tegang.Â
"Pemirsa, aksi demo mahasiswa dan masyarakat sipil yang menolak Soeharto sebagai presiden serta mendesak terjadinya reformasi berakhir ricuh. Aparat yang terdiri dari polisi dan tentara melakukan pengepungan terhadap demonstran serta mengisolir jalan-jalan maupun tempat-tempat sekitar area demo.Â
Seorang mahasiswa demonstran bernama Musa ditemukan tewas tertembak dan diyakini aparat sebagai pelaku. Hal ini menyebabkan demonstran semakin marah, seorang perempuan bernama berinisial Y yang merupakan ibu dari korban nekat menerobos barikade polisi dan menewaskan seorang polisi.Â
Sesuai SOP aparat, seharusnya Y Â diamankan, Â tetapi insiden naas terjadi. Y tewas di tempat..."
"Anakku... Istriku... Maaf... aku tak bisa melindungi kalian..." Manusia itu meraung sebelum akhirnya mematikan televisi. Dalam hari-hari yang kelabu, bahkan tanpa sinar matahari masuk ke rumah itu lagi, manusia Ayah pernah mencoba membakar tempat tinggalku ini. Namun, manusia-manusia lain yang asing keluar masuk menyelamatkannya. Aku bahkan sempat terkena jalar api dan sebagian tubuhku rusak. Â
Tidak ada lagi manusia 'Nak', manusia 'Ibu'. Tidak ada energi bahagia yang menjalar dan bisa kunikmati dari mereka. Manusia Ayah pun dibawa manusia-manusia pergi meninggalkanku, meninggalkan tempat ini. Perlahan, aku pun usang.
***
Aku kembali menyaksikan sebuah siaran televisi, ini tahun 2024, 26 tahun sejak aku ditinggalkan dan menjadi rongsok. Seorang manusia tua datang menyelamatkanku yang dipenuhi debu, menambalku beberapa hari lalu meski aku tak pernah bisa seperti dahulu lagi. Manusia tua itu... manusia Ayah yang juga menjadi tua.Â
Pagi ini, ia berada di atasku, memegang nasi tumpeng, menonton layar televisi yang memberitakan Peringatan Darurat atas demokrasi. Di sela-sela menonton, ia memandang nasi tumpeng dan khusyuk mengucapkan kata-kata yang teramat kurindukan.