"Selamat hari lahir, Nak! Terima kasih pernah terlahir ke dunia. Semoga hari-hari lalumu bahagia! Doa-doamu sudah terkabulkan! Terima kasih juga, Istriku... kamu sudah berjuang untuk melahirkan dan membesarkan buah hati kita. Kalian berdua adalah cahaya hidup Ayah. Terima kasih telah pernah hidup dan bersama Ayah..."
Manusia Ayah tua itu terisak dan memakan sesuap demi sesuap nasi tumpeng sebelum akhirnya terdengar riuh teriakkan, lolongan minta tolong di luar. Manusia Ayah tergopoh dan aku menunggunya penuh rindu.
Namun, berita di televisi yang menyala seolah memberiku kabar dari neraka. Manusia Ayah tua itu muncul di layar dengan wajah bonyok berlumur darah. Ia tersenyum dalam sakitnya, "Korban tumbang berlipat ganda, tetapi juga melahirkan pejuang yang jauh lebih deras dari air hujan.Â
Saya bahagia menutup kisah saya sebagai pelindung dari para korban... karena sebelumnya saya tidak mampu melakukannya pada almarhum anak dan istri saya. Semoga ini terakhir kalinya ada korban untuk menegakkan keadilan dan demokrasi." Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H