Tak kurang-kurang Bagong menerima ucapan terima kasih dari orang-orang yang sebelumnya 'punya telinga tapi budeg'. Bentuknya macam-macam mulai dari beras, pisang, kelapa hingga hewan ternak. Tapi sayangnya, tempat Bagong di dusun Pucang Sewu, sedang dilanda banjir bandang.
"Kamu kena karma Gong," kata Gareng dan Petruk yang bertandang ke Pucang Sewu Dusun. Bagong terheran heran dan bertanya pada dirinya "karma yang mana?"
"Dulu kamu sudah bagus-bagus punya usulan meneliti wakil rakyat yang bertelinga tetapi tak berpendengaran. Tetapi kamu keliru menyebut peristiwa merapi dan peristiwa alam lainnya itu sebagai bencana alam. Kamu sudah kurang ajar secara lisan kepada alam..." Gareng mulai menasihatinya.
"Alam tidak pernah bermaksud buruk kepada manusia...yang menganggap itu bencana ya manusia itu sendiri..."
"Lha, terus aku harus nyebut apa?"
"Sak karep-karepmu Gong." Petruk Nyamber.
 "Sing penting ojok nyebut bencana alam, ndak elok. Kurang ajar pada alam."
"Tapi kan semua orang, sarjana-sarjana sampai penyiar-penyiar televisi nyebutnya bencana alam." Bagong kembali ngotot
 "Gong, mbalik lagi sak karepmu kamu mau nyebut apa yang penting ojo nyebut bencana alam, tetanggaku ada yang usul kalau diganti 'peristiwa alam', 'ekpresi alam' atau 'sabda alam'."
Pertemuan kecil punakawan bertiga itu akhirnya berlanjut menjadi pertemuan yang besar dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda. Masyarakat berkumpul dengan tujuan meralat nama-nama instansi dari lembaga-lembaga seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Bagong kini berbalik justru aktif dalam kampanye pentingnya meralat lagi bahasa di Hari Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa.
"Nama Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mau diganti Badan Harmonisasi Sabda Alam."