Mohon tunggu...
Muhammad Fajrul Falakh
Muhammad Fajrul Falakh Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia dan Pergulatannya

Manusia tidak akan pernah benar-benar sendiri selama ia ditemani oleh prinsip-prinsip hidupnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketidakselarasan Frasa "Bencana Alam" Menurut Sujiwo Tejo

9 Oktober 2021   17:19 Diperbarui: 9 Oktober 2021   17:34 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.cnnindonesia.com

"Mari sopan kepada alam, mari tak menyebut erupsi gunung, banjir, longsor dan lainnya sebagai bencana. Itu toh cuma cara alam mencapai keseimbangan baru melalui proses fisika-kimia yang logis. Kenapa gak kita sebut sebagai sabda alam? Kenapa kok secara 'kurang ajar' kita sebut bencana alam!"

Itu merupakan salah satu gagasan yang dituliskannya di Twitter melalui akun Jack Separo Gendeng. Pernyataan itu membuka ruang diskursus bagi banyak kalangan. Banyak golongan yang mencoba menangkap fenomena alam dengan kacamatanya masing-masing. 

Ada sebagian orang yang tiba pada kesimpulan teologis bahwa setiap musibah dan bencana yang terjadi di suatu negara. Itu semua merupakan teguran dari Yang Maha Kuasa.

Ada yang beranggapan bahwa itu merupakan hukum kausalitas (sebab-akibat) dari apa yang diperbuat manusia kepada alam. Dan masih banyak pandangan lainnya.

Mbah Tejo begitulah sapaan banyak orang, memiliki pemikiran yang cukup nyentrik dan keluar dari cara berfikir mayoritas. Salah satu contohnya ketika ia mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB). 

Tak tanggung-tanggung, ia mengambil 2 jurusan yang tidak bisa dianggap ringan yaitu jurusan Teknik Sipil dan juga jurusan Matematika, namun diantara keduanya tidak ada yang ia tuntaskan dan membuahkan gelar sarjana.

Namun ketika Mbah Tejo diundang menjadi pembicara di sebuah acara TEDxBandung 'Math finding harmony in chaos'. Ia mengutarakan alasannya tidak menuntaskan pendidikannya, "Karna bagi saya, orang yang selesai kuliah itu orang yang meneruskan sejarah tapi orang yang DO (Drop Out) itu orang yang menjebol sejarah".      

Kembali pada penjelannya tentang 'sabda alam'. Mbah Tejo dalam tulisan Talijiwo yang diunggah Rubrik Jawa Pos menuliskan cerita perwayangan 'Durangpo Jawa', yang dipelopori oleh tokoh wayang seperti Petruk, Bagong dan kawan kawan. Cerita itu menjelaskan sebab-akibat dari menyebut istilah bencana alam.

Padepokan, di perbatasan Amarta-Astina geger. Terutama Jurusan Ketabibannya. Cikal bakal Universitas di berbagai dunia itu ribut karena tiba-tiba ada pasien muncul punya daun telinga, punya gendang telinga, punya saraf pendengaran yang lengkap, wah pokoke punya segala tetapi waladah kok budeg? 

Padahal, belum pernah ada penelitian soal itu. Yang sudah-sudah, penelitian dilakukan terhadap orang-orang yang menderita gangguan pendengaran tetapi organ pendengarannya memang terganggu. Obat-obatan termasuk alat sedot cairan telinga ditemukan dan dikembangkan dari penelitian itu. Kasus ini lain dari biasanya.

Untung bagong punya usul. "Teliti saja para anggota DPR. Mereka telinganya normal. Tapi, tidak punya pendengaran. Kurang bengak-bengok kaya apa lagi para kawula. Mbok di zaman prihatin begini jangan jalan-jalan dulu. Eh, masih saja ngotot plesiran ke Yunani, ke Itali..le..ah ndak tahu kemana lagi..."

Kakak Bagong, Petruk, bikin eling. "Nyebut Gon, tenang. Anggota parlemen mlaku-mlaku itu ada undangannya. Sah. Boleh. Kok cocotmu ribut ndak karu-karuan. Mereka boleh jalan-jalan ke mana saja yang mereka suka..." Sulung Panakawan, Gareng menimpali, "lagi pula, kalau anggota Dewan Cuma bisa mlaku-mlaku nang Tunjungan, apa bedanya mbarej Cak Mus Mulyadi?"

Petruk dan Gareng akhirnya kepukul telak ketika telak ketika si bungsu Bagong bawa-bawa Romo Semar. Kata Semar, "Bener belum tentu pener, bapak-bapak dan ibu-ibu DPR itu bener, tapi ndak pener. Pener itu masalah empan papan masalah situasional..." 

"Ck..ck..ck., bahasamu Gong..apa karna ini bulan Sumpah Pemuda, bulan Bahasa..?"

"Stt diem dulu situasinya lagi tidak memungkinkan ini."

 "Lagi ada bencana Merapi, bencana Mentawai, bencana Gunung Agung dan bencana alam lainnya...kok maksa berangkat. Nuwun sewu seandainya anggota DPR itu wedhus, pasti membatalkan diri berangkat karena segimbal-gimbalnya wedhus pasti masih punya perasaan..."

Sebet byar kataliko...

Karena Bagong sudah terlalu emosional, Gareng dan Petruk sepakat menghentikan obrolan. "Meski tidak mendengar, telinga anggota DPR toh masih ada gunanya, yaitu untuk cantolan kaca mata," kata Petruk. Mereka lalu ajak Bagong jalan-jalan ke sawah belakang posko Punokawan, Karangkadempel. Mata bagong diarahkan ke langit, ke layang-layang, ke mega dan awan-awan...

***

Omongan Bagong siang itu tidak sia-sia. Padepokan akhirnya meneliti struktur telinga para anggota Dewan. Kesimpulan mereka, untuk bisa mendengar manusia tidak hanya membutuhkan organ pendengaran yang lengkap. Lebih dari itu, manusia membutuhkan hati nurani. Eling pasien yang dulu dateng menderita gangguan pendengaran padahal telinganya normal. 

Akhirnya sekarang sudah bisa disembuhkan. Resepnya mereka diminta pergi ke para pemuka agama dan mereka diminta sering-sering bergaul dengan orang-orang yang sering lapar dan menangis di sudut-sudut pasar ataupun alun-alun.

Tak kurang-kurang Bagong menerima ucapan terima kasih dari orang-orang yang sebelumnya 'punya telinga tapi budeg'. Bentuknya macam-macam mulai dari beras, pisang, kelapa hingga hewan ternak. Tapi sayangnya, tempat Bagong di dusun Pucang Sewu, sedang dilanda banjir bandang.

"Kamu kena karma Gong," kata Gareng dan Petruk yang bertandang ke Pucang Sewu Dusun. Bagong terheran heran dan bertanya pada dirinya "karma yang mana?"

"Dulu kamu sudah bagus-bagus punya usulan meneliti wakil rakyat yang bertelinga tetapi tak berpendengaran. Tetapi kamu keliru menyebut peristiwa merapi dan peristiwa alam lainnya itu sebagai bencana alam. Kamu sudah kurang ajar secara lisan kepada alam..." Gareng mulai menasihatinya.

"Alam tidak pernah bermaksud buruk kepada manusia...yang menganggap itu bencana ya manusia itu sendiri..."

"Lha, terus aku harus nyebut apa?"

"Sak karep-karepmu Gong." Petruk Nyamber.

 "Sing penting ojok nyebut bencana alam, ndak elok. Kurang ajar pada alam."

"Tapi kan semua orang, sarjana-sarjana sampai penyiar-penyiar televisi nyebutnya bencana alam." Bagong kembali ngotot

 "Gong, mbalik lagi sak karepmu kamu mau nyebut apa yang penting ojo nyebut bencana alam, tetanggaku ada yang usul kalau diganti 'peristiwa alam', 'ekpresi alam' atau 'sabda alam'."

Pertemuan kecil punakawan bertiga itu akhirnya berlanjut menjadi pertemuan yang besar dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda. Masyarakat berkumpul dengan tujuan meralat nama-nama instansi dari lembaga-lembaga seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Bagong kini berbalik justru aktif dalam kampanye pentingnya meralat lagi bahasa di Hari Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa.

"Nama Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mau diganti Badan Harmonisasi Sabda Alam."

Akhirnya yang mereka bahas bukan hanya kata 'Bencana'. Kata 'Pemerintah' juga mereka perbincangkan. Menurut Limbuk dan Cangkik, Punokawan perempuan, 'Pemerintah' punya definisi 'Tukang Perintah' ini bertentangan dengan salah satu nilai yang terkandung dalam Pancasila, gotong royong dan kekeluargaan. Akhirnya ditetapkan kata 'Pemerintah' diganti menjadi 'Pamong Praja'.

***

Sembari Mbah Tejo menyodorkan pandangannya itu, ia juga menjelaskan bahwa dengan sebutan 'bencana'. kegiatan memindahkan manusia disebut sebagai mengungsikan dengan arti seolah-olah manusia pemilik ruang dan waktu. 

Namun, dengan sebutan 'sabda alam' kegiatan memindahkan manusia itu disebut mengembalikan ruang dan waktu kepada alam untuk setelahnya kita pinjam kembali. Yang dikerjakan oleh Badan Penanggulangan Bencana, 'mengungsikan manusia' seolah-olah manusia adalah pemilik. 

Beda pengertian dengan kalimat, yang dikerjakan Badan Penyelaras Sabda Alam 'mengembalikan ruang dan waktu kepada alam' untuk kelak kita manfaatkan kembali.

Memberi selimut, makanan, dan pekerjaan hilir yang lainnya tentu penting. Tapi sama pentingnya juga bekerja di hulu mencari cara berpikir yang lebih sopan dalam memperlakukan alam, agar alam dapat kembali menerima manusia diatas pangkuannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun