Wonderful Indonesia pada dasarnya adalah realita yang tidak bisa dibantah. Pekerjaan yang kerap membawa saya berpindah-pindah lokasi di Indonesia telah menjustifikasi hal itu. Pernah suatu waktu saya berlibur ke pantai-pantai di Bangka. Dua hari kemudian saya pergi ke Kupang dalam rangka tugas dan menginap di hotel yang sangat dekat dengan pantai. Tidak lama sesudah itu, saya ke Sulawesi Utara dan juga menginap di hotel yang tidak jauh-jauh dari pantai.
Yah, namanya juga kerja maka ke pantai itu sebisanya saja. Di pagi-pagi sebelum berangkat atau sore hari sembari kembali ke hotel tempat menginap. Dari yang sekelumit itu saja saya sudah mendapatkan keindahannya.
Dari sejumlah daerah yang telah saya datangi, sejatinya Sulawesi Utara menyimpan pesona tersendiri. Pertama-tama tentu saja ada Bunaken. Yah, walaupun saya belum pernah ke sana, tapi kata teman-teman Bunaken itu indah sekali. Kalau mau yang adem sedikit, ada Danau Linow atau Air Terjun Tunan. Khusus yang terakhir ini, saya bahkan menyambanginya karena ada penundaan penerbangan dari jam 5 subuh ke jam 2 siang. Daripada gabut, saya dan rombongan mencari destinasi yang nggak jauh dari bandara dan malah nemu Air Terjun Tunan yang merupakan salah satu air terjun tertinggi di Indonesia.
Di Sulawesi Utara pula, pemerintah telah menetapkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Likupang melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2019. Sebagaimana dikutip dari Kumalatina et al. (2022), KEK Likupang terletak di Desa Pulisan, Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Likupang sendiri boleh dibilang terletak berdekatan dengan Bandara Internasional Sam Ratulangi dan Pelabuhan Bitung sehingga memiliki keunggulan secara akses.
Kementerian Parisawata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bahkan menetapkan Likupang sebagai salah satu dari lima Destinasi Super Prioritas di Indonesia. Pilihan ini sebenarnya menarik karena 4 DSP selain Likupang telah punya nama cukup besar yakni Danau Toba, Candi Borobudur, Labuan Bajo, dan Mandalika.
Merujuk pada situs Kemenparekraf, Likupang berjarak sekitar 48 kilometer dari Kota Manado. Kalau dari bandara malah sedikit lebih dekat. Artinya, kalau turun di bandara Sam Ratulangi, bisa langsung menuju Likupang. Posisi Likupang sendiri kurang lebih di ujung sebelah atas dari Pulau Sulawesi.
Destinasi andalan di Likupang adalah kombinasi wisata perbukitan dan wisata laut serta pantai. Ada Bukit Pulisan hingga Bukit Larata yang memadukan hamparan padang rumput luas dengan pemandangan biru laut yang jernih dan indah. Sesudah melihat dari ketinggian, kita bisa beranjak ke Pantai Paal hingga Pantai Pulisan yang menawarkan pemandangan eksotis serta air laut dengan warna gradasi biru tosca yang ciamik. Pada akhirnya, kita bisa nyemplung ke laut melalui destinasi di Pulau Lihaga dan Pulau Gangga. Air di sini sangat tenang dan cocok untuk snorkeling sambil menikmati indah dan menakjubkannya pemandangan bawah laut.
Pokoknya, Likupang fix dapat disebut sebagian salah satu hidden paradise-nya Indonesia. Dan untuk itu, kita sebagai wisatawan dan calon wisatawan memiliki harapan pada destinasi seindah Likupang.
Berkontribusi Pada Lingkungan Sekitar
Ada riset yang menarik dari Foopanichpruk dan Pathranarakul (2021) di Thailand yang menyebut bahwa distribusi pendapatan dari pembangunan pariwisata kepada masyarakat lokal terbilang kecil. Disebutkan pula bahwa aktivitas pariwisata telah menyebabkan perubahan sosial di komunitas, terutama pada cara hidup dan budaya tradisional setempat. Dan sayangnya hal itu juga terkait dengan perubahan lingkungan. Kita sebenarnya punya profil bagus di Bali perihal pariwisata yang bersisian bagus dengan masyarakat sekitar. Hanya saja, ketika dilihat riwayatnya memang Bali itu sudah lekat dengan pariwisata sejak lama sekali.
I Nyoman Darma Putra dan Syamsul Alam Paturusi dalam buku Metamorfosis Pariwisata Bali (2017) menulis bahwa pariwisata di Bali itu sudah dirintis sejak 1902-1913. Belum industri pariwisata, sih, tapi sudah ada konsep kepariwisataannya. Nah, adanya pengalaman itu tentu bermakna kita nggak perlu waktu lama untuk belajar. Toh sudah ada pengalamannya. Artinya, untuk mengembangkan pariwisata yang saling menguntungkan itu harus dapat dilakukan berbasis pembelajaran dari berbagai daerah selama ini. Seiring meningkatkan kualitas daerah melalui penambahan infrastruktur termasuk jalan dan komunikasi, hendaknya kualitas masyarakat juga meningkat, mulai dari pendidikan hingga tentu saja kesejahteraan.
Pariwisata Memang Butuh Tempat, Tapi Esensi Lokal Jangan Hilang
Ini tantangan berat wisata alam. Sederhananya, yang dijual kan alam, maka hendaknya alam itu harus dijaga sebaik-baiknya. Tapi kan dalam kerangka industri pariwisata butuh tempat, entah itu untuk membangun hotel atau untuk membuat destinasi baru. Ada contoh di Mandalika ketika sebuah sirkuit dibangun sebagai destinasi baru untuk menjadi daya tarik.
Nah, harapannya tentu saja esensi lokal Likupang tidak hilang seiring statusnya sebagai KEK Pariwisata dan juga DSP bersama 4 tempat lainnya. Pada sisi ini, kita bisa berharap karena menurut RDTR-nya, peruntukan terluas untuk Likupang adalah perkebunan (40,37%). Pariwisata memang menduduk tempat kedua dengan persentase 9,57% alias cukup kecil. Lagipula, sejumlah peruntukan lain cukup nyambung dengan industri pariwisata yakni hutan lindung (8,05%) dan eksositem mangrove (2,04%).
Semoga elemen ini tetap dipertahankan. Bagaimanapun padang rumput kalau dikasih tempat berteduh memang cukup bikin nyaman, cuma kalau dipikir-pikir lagi bakalan aneh kan ya?
Keamanan Pangan
Salah satu yang bikin saya nyaman dengan Manado dan sekitarnya tentu saja kuliner. Dulu sempat heran kok bisa nasi kuning saja bisa jadi makanan khas. Eh, ternyata memang beda. Belum lagi kalau ke kantor yang di Manado, hampir pasti disuguhi Pisang Goroho plus Sambel Roa yang bikin tidak bsia berhenti. Oh, tentu saja Bubur Tinutuan tidak bisa dilupakan. Ada masa ketika saya sarapan di hotel pakai Tinutuan, makan siang order Tinutuan lagi, sebelum menutup hari dengan seafood Manado yang menurut seorang pejabat yang pernah saya dampingi:Â
"ikannya cuma mati sekali, kalau di tempat kita ikannya sudah mati berkali-kali".Â
Yah, sekadar hendak menggambarkan betapa fresh-nya ikan yang ada di Sulawesi Utara ini.
Ada concern menarik dari Afrika seperti ditulis E. Mankhomwa et al. (2020) dalam Food, Tourism, Destination Branding, and Marketing. Tulisan tersebut mengangkat konteks Afrika tapi cukup berhubungan dengan Indonesia. Pariwisata di Afrika, seperti misalnya Gambia, mulai fokus pada kebijakan terkait pengendalian mutu, termasuk peningkatan kualitas higiene makanan berikut standar sanitasinya. Bagaimanapun, makanan itu inti dari pariwisata, selain destinasi. Jadi, sebisa mungkin rantai pasokannya hendaknya memberdayakan kelimpahan setempat dengan kualitas yang dijaga.
Apalagi tidak terlalu jauh dari Likupang, ada Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan juga. Judulnya sih BBPOM di Manado tetapi lokasinya di Kecamatan Pineleng Kabupaten Minahasa. Dengan area pengawasan di Sulawesi Utara, BBPOM di Manado juga memiliki tugas untuk menjamin keamanan pangan, termasuk juga peningkatan kualitas penyedia produk pangan di sekitar Likupang. Bagaimanapun, makanan enak itu hanya akan enak bila tidak ada efek sesudahnya. Kalau mules sesudah menikmati makanan enak, yang diingat mulesnya, bukan enaknya. Maka, jika Gambia saja bisa, tentunya North Sulawesi juga dong.
Memanfaatkan Kelimpahan Setempat
Ada framework menarik tentang pariwisata. Sejatinya pengeluaran turis akan memberikan dampak langsung pada sektor pariwisata dan memberikan dampak tidak langsung pada sektor lain seperti makanan dan minuman. Sektor pariwisata juga memberikan multipliers effect pada gaji dan turut menginduksi dampak pada sektor-sektor lain tersebut. Sayangnya, ketika ada impor atau sesuatu yang sejatinya bukan merupakan kearifan lokal, maka hal itu menjadi kebocoran yang hendaknya dinihilkan. Diharapkan kalaupun ada bahan-bahan yang dibutuhkan dan harus didatangkan dari luar Sulawesi Utara apalagi dari luar Indonesia, proporsinya tidak banyak-banyak banget sehingga uangnya tetap bisa beredar di situ-situ saja dan bisa meningkatkan taraf hidup setempat.
Ada Filmnya!
Gul Erkol Bayram dari Sinop Unversity dalam paparannya bertajuk Setting a Brand Image through Film Tourism menyebut bahwa film tourism tipe pariwisata yang menggugah calon wisatawan untuk berkunjung ke suatu tempat yang dia lihat di layar, entah layar bioskop atau bahkan layar HP di platform-platform kekinian. Contohnya sudah jelas dan akrab dengan kita: Cappadocia! Ya, it's my dream, Mas! Not her! Dari serial Layangan Putus, kita bisa melihat sendiri orang-orang Indonesia berbondong-bondong ke Cappadocia.
Kita juga pernah punya contoh promosi daerah Sumba melalui film Susah Sinyal. Rhency (2020) menyebut bahwa film tersebut sukses mengkomunikasikan pariwisata di daerah Sumba yang aslinya sebenarnya sudah cukup kondang sebagai tempat wisata premium-nya. Kalau lebih banyak lagi filmnya, tentu liburan tidak usah jauh-jauh ke luar negeri, di Indonesia aja cukup. Tentunya kalau film harus premium dengan aktor terbaik, cerita yang yahud, serta perencanaan promosi yang prima. Film tapi sembarangan justru bakal kontraproduktif bagi suatu destinasi.
Demikianlah harapan saya dan tentunya kita semua sebagai calon pengunjung DSP Likupang. Di Indonesia, saya pernah punya beberapa pengalaman buruk soal tempat wisata. Tempatnya mungkin oke, tapi kalau lingkungannya tidak prima, impresinya malah sedih. Untuk itulah, semoga harapan-harapan ini dapat difasilitasi oleh pemangku kepentingan terkait guna mendukung suksesnya Likupang sebagai Destinasi Super Prioritas yang betul-betul menjadi hidden paradise yang menyenangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H