Ada riset yang menarik dari Foopanichpruk dan Pathranarakul (2021) di Thailand yang menyebut bahwa distribusi pendapatan dari pembangunan pariwisata kepada masyarakat lokal terbilang kecil. Disebutkan pula bahwa aktivitas pariwisata telah menyebabkan perubahan sosial di komunitas, terutama pada cara hidup dan budaya tradisional setempat. Dan sayangnya hal itu juga terkait dengan perubahan lingkungan. Kita sebenarnya punya profil bagus di Bali perihal pariwisata yang bersisian bagus dengan masyarakat sekitar. Hanya saja, ketika dilihat riwayatnya memang Bali itu sudah lekat dengan pariwisata sejak lama sekali.
I Nyoman Darma Putra dan Syamsul Alam Paturusi dalam buku Metamorfosis Pariwisata Bali (2017) menulis bahwa pariwisata di Bali itu sudah dirintis sejak 1902-1913. Belum industri pariwisata, sih, tapi sudah ada konsep kepariwisataannya. Nah, adanya pengalaman itu tentu bermakna kita nggak perlu waktu lama untuk belajar. Toh sudah ada pengalamannya. Artinya, untuk mengembangkan pariwisata yang saling menguntungkan itu harus dapat dilakukan berbasis pembelajaran dari berbagai daerah selama ini. Seiring meningkatkan kualitas daerah melalui penambahan infrastruktur termasuk jalan dan komunikasi, hendaknya kualitas masyarakat juga meningkat, mulai dari pendidikan hingga tentu saja kesejahteraan.
Pariwisata Memang Butuh Tempat, Tapi Esensi Lokal Jangan Hilang
Ini tantangan berat wisata alam. Sederhananya, yang dijual kan alam, maka hendaknya alam itu harus dijaga sebaik-baiknya. Tapi kan dalam kerangka industri pariwisata butuh tempat, entah itu untuk membangun hotel atau untuk membuat destinasi baru. Ada contoh di Mandalika ketika sebuah sirkuit dibangun sebagai destinasi baru untuk menjadi daya tarik.
Nah, harapannya tentu saja esensi lokal Likupang tidak hilang seiring statusnya sebagai KEK Pariwisata dan juga DSP bersama 4 tempat lainnya. Pada sisi ini, kita bisa berharap karena menurut RDTR-nya, peruntukan terluas untuk Likupang adalah perkebunan (40,37%). Pariwisata memang menduduk tempat kedua dengan persentase 9,57% alias cukup kecil. Lagipula, sejumlah peruntukan lain cukup nyambung dengan industri pariwisata yakni hutan lindung (8,05%) dan eksositem mangrove (2,04%).
Semoga elemen ini tetap dipertahankan. Bagaimanapun padang rumput kalau dikasih tempat berteduh memang cukup bikin nyaman, cuma kalau dipikir-pikir lagi bakalan aneh kan ya?
Keamanan Pangan
Salah satu yang bikin saya nyaman dengan Manado dan sekitarnya tentu saja kuliner. Dulu sempat heran kok bisa nasi kuning saja bisa jadi makanan khas. Eh, ternyata memang beda. Belum lagi kalau ke kantor yang di Manado, hampir pasti disuguhi Pisang Goroho plus Sambel Roa yang bikin tidak bsia berhenti. Oh, tentu saja Bubur Tinutuan tidak bisa dilupakan. Ada masa ketika saya sarapan di hotel pakai Tinutuan, makan siang order Tinutuan lagi, sebelum menutup hari dengan seafood Manado yang menurut seorang pejabat yang pernah saya dampingi:Â
"ikannya cuma mati sekali, kalau di tempat kita ikannya sudah mati berkali-kali".Â
Yah, sekadar hendak menggambarkan betapa fresh-nya ikan yang ada di Sulawesi Utara ini.
Ada concern menarik dari Afrika seperti ditulis E. Mankhomwa et al. (2020) dalam Food, Tourism, Destination Branding, and Marketing. Tulisan tersebut mengangkat konteks Afrika tapi cukup berhubungan dengan Indonesia. Pariwisata di Afrika, seperti misalnya Gambia, mulai fokus pada kebijakan terkait pengendalian mutu, termasuk peningkatan kualitas higiene makanan berikut standar sanitasinya. Bagaimanapun, makanan itu inti dari pariwisata, selain destinasi. Jadi, sebisa mungkin rantai pasokannya hendaknya memberdayakan kelimpahan setempat dengan kualitas yang dijaga.