Mohon tunggu...
Arie Putra
Arie Putra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Membaca, menulis, travelling, semuanya direnungkan

Saya tinggal di Labuan Bajo. Mengurus website www.komodooneclick.com yang menyediakan tour di wilayah Taman National Komodo dan Pulau Flores.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sikat Gigi Pacarku

21 Mei 2019   06:29 Diperbarui: 21 Mei 2019   06:57 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia selalu bilang bahwa alat yang menggosok giginya setiap pagi itu adalah sikat gigi. Karena model dan rupanya yang tidak biasa, aku memperdebatkannya.

"Itu bukan sikat gigi!" pekikku suatu pagi

"Ya sudah, kalau ini bukan sikat gigi, kita putus saja!"

Ancaman itulah yang mengubah pemahamanku tentang sikat giginya. Aku tidak ingin menyudahi hubungan yang telah terjalin bertahun-tahun hanya akibat perdebatan sikat gigi dan bukan sikat gigi. Cintaku lebih dalam dari argumentasi sebenar apa pun yang membuatnya salah tentang sikat giginya.

Semenjak tiga tahun terakhir De tinggal di kota R. Selain tempat menyelesaikan pendidikan, kota ini baginya telah menjadi tempat menemukan kebebasan. Seperti embun pagi katanya, begitu pagi datang ia akan menguap bebas ke angkasa. Itulah konsep kebebasan miliknya. Seperti biasa, aku tidak ingin memperdebatkan konsep-konsep hidupnya yang kadang tidak biasa bagi orang biasa sepertiku.

Aku tinggal di kota L. Berjarak sekitar 80km dari kota R. Kota tempat tinggalku sangat terkenal karena keberadaan hewan langka Komodo. Wisatawan dari berbagai belahan bumi mengunjungi kota ini untuk melihat dari dekat kehidupan satwa liar ini. Berbeda dengan De yang tinggal di kota R, pekerjaan membuatku tidak sempat menelurkan konsep-konsep kehidupan.

****

Ada sebuah taman di kota R yang lokasinya dekat sebuah perpustakaan. Sore itu De mengajakku menghabiskan sore terakhir kami di sana. Kota ini kota hujan. Sejak kami tiba, gerimis menyebar pelan dari langit.

Tubuh itu begitu cantik di dalam balutan jacket hitam. Syal bermotif songket meliliti lehernya yang jenjang. Kami tidak menghiraukan gerimis.

"De, boleh saya tanya sesuatu?" aku membuka percakapan yang biasanya tidak canggung. De memberi isyarat anggukan. Sebenarnya, ini tentang sikat gigi. Tetapi aku tidak ingin memperburuk suasana. "Kapan kita bisa menikah?" tanyaku. "Aku tahu apa itu menikah beserta segala konsekuensinya. Tetapi haruskah kita menikah?" ia menjawab panjang. "Menurutmu?" sergapku. Ia memindahkan tatapannya pada ujung pohon cemara.

Topik ini lebih berat dari percakapan sikat gigi miliknya. Aku tidak ingin meneruskan percakapan yang tidak menelurkan kesimpulan. Lalu kami berbincang tentang berapa jumlah telur seekor komodo betina sambil tertawa melihat dua ekor burung yang berkejaran lalu menabrak kaca jendela gedung perpustakaan. Setiap kali ada jeda, aku mencium keningnya. Ini telah menjadi isyarat untuk mengisi diam yang tidak berkata-kata.

Pemerintah telah menghias pohon beringin di tengah kota dengan lampu natal. Dari taman tempat kami berbincang, kelap-kelip lampu itu begitu indah. Lagu-lagu natal pun diputar di mana-mana. De tampak sangat terkesima dengan cahaya lampu natal memancar di balik butir gerimis. Lama ia tidak memindahkan tatapannya dari sana.

"Indah ya De?" Ia menjawab dengan anggukan. "Pemerintah memang baik, mereka peduli terhadap perasaan indah masyarakat," tambahku sedikit melucu. Ia mengajakku pulang setelah butir gerimis yang tak lagi kecil mengencingi kota.

Ada banyak hal yang kami saksikan dalam perjalanan pulang ini. Keramaian kota yang pelan-pelan bubar, suara kompor gas dari penjual gorengan di sisi kiri jalan, dan banyak hal lain yang sulit direkam ingatan. Dingin membuat De merekatkan pelukannya padaku.

Selalu ada ampas dari setiap kenangan. Ia bisa berupa rasa pedih atau pun perasaan yang mampu mengubah kelesuan. De, dengan segala keunikan yang dimilikinya, membuatku yakin bahwa ada hal-hal tak biasa yang perlu diterima akal yang waras. Hal-hal tak biasa itu dimulai dari sikat giginya.

***

"Ini tidak semata-mata soal apakah ini sikat gigi atau bukan. Ini perantara sebuah kenangan. Kadang-kadang kita perlu yakin terhadap simbol," jelas De.

"Walaupun dengan benda yang tidak sejajar?" tanggapku setengah bertanya.

"Setiap orang bebas memilih jembatan untuk menambatkan ingatannya tentang masa lalu. Ini berkaitan dengan keyakinan!"

"Sebenarnya apa yang terjadi di balik sikat gigimu ini, sayang?" aku berani bertanya.

           Ada jeda setelah suara tanyaku berakhir. Seperti ada yang menyambar, De menangis sesenggukan. Hangat air matanya terasa di balik bahuku. Aku menyesal telah mengorek soal itu lagi. "Kamu benar-benar mau tahu cerita sikat gigiku itu?"

"Kalau kamu tidak keberatan untuk bercerita, tentu saja aku mau."

           Pelan ia melepaskan kepalanya dari bahuku lalu membersihkan sisa air mata di pipi, dan mulai menyusun ceritanya. "Apakah ini perlu ditulis?" tawarku. "Bila ada gunanya untuk orang lain, tuliskan saja. Tapi siapa yang akan membacanya?" De bertanya lagi sebelum memulai kisah yang sesungguhnya.

"Hapus judul di atas, ganti dengan judul ini: Sikat Gigi Ayah De."

"Mengapa harus ganti, De?"

"Ini sikat gigi ayahku. Dia meninggalkannya hanya untukku. Itu pesannya dulu pada ibu sebelum beliau meninggalkan kami," jawab De sambil menahan air matanya.

"Tolong ganti kalimat pertama di atas menjadi: Ayah selalu bilang bahwa alat yang menggosok giginya setiap pagi itu adalah sikat gigi, dan seterusnya." perintah De lagi.

           Belum diketahui riwayat cerita ini setelah dikirim ke Koran. Aku dan De kerap berziarah ke makam ayahnya untuk membawa kembali benda yang diyakini sebagai sikat gigi itu.*

Labuan Bajo, Mei 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun