Pemerintah telah menghias pohon beringin di tengah kota dengan lampu natal. Dari taman tempat kami berbincang, kelap-kelip lampu itu begitu indah. Lagu-lagu natal pun diputar di mana-mana. De tampak sangat terkesima dengan cahaya lampu natal memancar di balik butir gerimis. Lama ia tidak memindahkan tatapannya dari sana.
"Indah ya De?" Ia menjawab dengan anggukan. "Pemerintah memang baik, mereka peduli terhadap perasaan indah masyarakat," tambahku sedikit melucu. Ia mengajakku pulang setelah butir gerimis yang tak lagi kecil mengencingi kota.
Ada banyak hal yang kami saksikan dalam perjalanan pulang ini. Keramaian kota yang pelan-pelan bubar, suara kompor gas dari penjual gorengan di sisi kiri jalan, dan banyak hal lain yang sulit direkam ingatan. Dingin membuat De merekatkan pelukannya padaku.
Selalu ada ampas dari setiap kenangan. Ia bisa berupa rasa pedih atau pun perasaan yang mampu mengubah kelesuan. De, dengan segala keunikan yang dimilikinya, membuatku yakin bahwa ada hal-hal tak biasa yang perlu diterima akal yang waras. Hal-hal tak biasa itu dimulai dari sikat giginya.
***
"Ini tidak semata-mata soal apakah ini sikat gigi atau bukan. Ini perantara sebuah kenangan. Kadang-kadang kita perlu yakin terhadap simbol," jelas De.
"Walaupun dengan benda yang tidak sejajar?" tanggapku setengah bertanya.
"Setiap orang bebas memilih jembatan untuk menambatkan ingatannya tentang masa lalu. Ini berkaitan dengan keyakinan!"
"Sebenarnya apa yang terjadi di balik sikat gigimu ini, sayang?" aku berani bertanya.
      Ada jeda setelah suara tanyaku berakhir. Seperti ada yang menyambar, De menangis sesenggukan. Hangat air matanya terasa di balik bahuku. Aku menyesal telah mengorek soal itu lagi. "Kamu benar-benar mau tahu cerita sikat gigiku itu?"
"Kalau kamu tidak keberatan untuk bercerita, tentu saja aku mau."