Mohon tunggu...
Arief Santoso
Arief Santoso Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pekerja Lepas

Peserta BPJS tanpa Ketenagakerjaan, sebab semu dengan status pekerjaan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

(Lagi-lagi) Persepsi Literasi Belum Well-literated

4 Agustus 2024   21:20 Diperbarui: 4 Agustus 2024   21:29 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Literasi yang kita anggap sebagai jalan untuk hidup tidak sepenuhnya demikian, melainkan bagaimana kita cakap dan ramah pikir dalam menentukan apa yang akan kita jalani." -- Faisal Rahman, sobat penggagas Mari-Maca

Ungkapan di atas menyajikan betapa kurangnya informasi terkait literasi, meskipun gerakannya sudah terus menjalar, namun banyak orang belum memahami apa dan kenapa harus memahami 'literasi.'

Awal bahasan mengapa literasi perlu dipahami adalah pengalaman masyarakat terkait pentingnya mencatat dan membagikan gagasan, dimana sayangnya di dunia akademik masih belum komplit bahkan jarang sekali.

Hal ini akhirnya berdampak pada minat riset, minat menggali, minat eksplorasi dan eksperimen antar bidang ilmu dan lahirnya keangkuhan antar program studi dan fakultas berselimut kompetisi akreditasi.

Masyarakat awam yang mengetahui dunia pendidikan adalah kolektif membangun paradigma baru yang simpel dan mudah dipahami, justru berbalik dengan berbagai konsep yang agak rumit. Mengapa demikian? Apakah kurang asupan bahasa? Atau kurangnya pasokan buku-buku di perpustakaan? Atau memang sudah kadung kalah dengan media teknologi?

Kenapa Getol Bicara Literasi?

Seringkali notifikasi ponsel menyajikan demikian, dan jawabannya karena kecakapan dasar memang harus dimiliki semua orang, dan berhak mendapatkan ruang eksplorasi untuk berkembang.

Kalau hal ini dipadamkan, dan kemudian muncul warta riset palsu, abal-abal, atau menggunakan berbagai cara cepat untuk mengelabui banyak orang, maka untuk apa kehadiran akal, jiwa dan nurani?

Kalau akses dan ruangnya tidak berdampak atau bahkan sepi peminat, bagaimana fase selanjutnya yang memiliki visi kemajuan dan kesehatan pendidikan? Dua tanya saja cukup menjadi trigger untuk menentukan mau kemana arah didikan dan misi perwujudannya.

Memantik budaya riset berarti membangun paradigma baru dalam memahami curiosity seseorang akan sesuatu yang dipahami, dipikirkan, atau dirasakan.

Riset sendiri bergerak dan membangun, bersifat ada tujuannya, ada manfaatnya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjadi keresahan masyarakat banyak. Itu yang masih miss di beberapa Perti dan sekolah yang mengadakan pengabdian masyarakat atau kuliah lapangan.

Tidak cukup sebatas penerbitan karya, pembuatan inovasi terkini, kemudian membentuk community development, tapi apa yang mendasari itu kemudian dipantulkan menjadi gather movement.

Gerakan itu nantinya didasarkan pada kesadaran, kecakapan dan kemampuan dasar; we can have agreement for phrase _'kemampuan dasar'_ is a literacy.

Ibarat motor, literasi berada di dalam mesin utama, memposisikan diri sebagai roda pemutar pertama utk menjalankan rasa ingin tahu, kemauan mencari tahu, kemudian menggali potensi dasar sampai pada akhirnya tahu sesuatu, kemudian memahaminya dan membagikan dengan kapabilitasnya.

Jadi, bangunan literasi ini di dalamnya ada kesadaran, curiosity, dan penggerak or motivation. Dari mana asalnya mereka itu? Coba kita gali ke diri masing-masing; pernahkah kamu bertanya kenapa aku bisa melihat pemandangan, kenapa bisa begitu indah, kenapa begitu teratur, dan sampai aku menemukan keindahan itu adalah pengetahuan yang aku alami dari panca indera sampai kerja otak yang terus diasah, dipupuk dan dikembangkan menjadi pengetahuan (geologi, geografi, biologi, dan pengetahuan lainnya).

Otomatis? Iya. Datang sendiri? Bagi yang merasakan.

Kalau kata Mas Sabrang dalam sebuah podcast pernah mengatakan:

...manusia itu curious, dia akan terus bergerak mencari, mencari dan mencari sampai menemukan peluang dan kesadarannya akan eksistensi dan kebermanfaatan.

Merawat Literasi Dasar Mulai dari Rumah

Makanya kenapa pertanyaan dasar dari anak harus dapat di-counter dengan pengetahuan dan pendidikan dari orangtua? Mengapa rasa penasaran anak harus terjaga dan didorong untuk bekerjasama menggali jawabannya?
Nah, kalo pemenuhan literasi ini diperlukan untuk mengejar budaya meneliti atau budaya pengembangan ilmu, apakah fase-fasenya sudah dipenuhi, salah satunya lingkungan belajar yang nyaman?

Lagi-lagi di Indonesia, kita dihadapkan dengan kekurangnyamanan dalam mengembangkan studi, atau contoh kecilnya membaca buku di ruang publik. Bagi awam, anggapannya ada beberapa asumsi; orang cerdas, orang ambisius, orang skeptis, orang apatis, bahkan antisosial. Why they have assumtion are?

Disebut bermalas-malasan sebab hanya berkutat dengan buku, studi lapangan, ngobrol kesana kemari, mencari informasi lewat internet, belum dihargai secara luwes. Artinya, budaya baca buku ini belum terpenuhi sebab kebutuhan orang Indonesia yang tergeneralisasi adalah mencari kerja, mendapat uang, hidup tenang.

Sejarah panjang yang melahirkan budaya demikian; penjajahan Belanda dan Jepang. Bergantung pada pemerintahan, bergantung pada kekuatan eksternal, tanpa memerhatikan kebesaran diri bahwa kita bisa mandiri.

Sehingga asumsiku berkata kalau sejarah merawat konsepnya hingga sekarang, dimana akhirnya banyak penyangkalan dan penolakan sebab dua orientasi yang ditanamkan sejak dalam rumah.


Pertama, orientasinya mayoritas kepada profesi, pekerjaan, bisnis dan usaha. Maka, dengan pendidikan harapannya diterima dengan mudah di perusahaan yang dituju. But actually not easier than three decades ago.

Kedua, progres multidisipliner ilmu masih dianggap mengejar peningkatan akademik, bukan kesadaran bahwa pengembangan ilmu dibutuhkan terus-menerus seiring berkembangnya zaman. But, tabu ketika pembicaraan ilmu di Indonesia sebab sering ditabrakkan dengan relasi agama mutlak. Padahal, berpikir (memiliki banyak fase utk melahirkan manfaat) dianjurkan di berbagai agama supaya menghubungkan antara Wahyu Tuhan dengan kekuatan yang dititipkan-Nya kepada manusia sebagai oleh-oleh atau pertanggungjawaban saat pertemuan akbar.

Kebutuhan dasar akan terpenuhi jika memiliki kesadaran dan kecakapan untuk memenuhinya dengan langkah bijak. -- Mas Jati, pegiat pendidikan dasar dan sahabat Mari-Maca.

Mungkin kalimat itu dianggap ambigu, tetapi begitulah yang ada dalam pikiran saya. Seringkali mengalami buntu pikir atau asal asumsi ketika saya menggali penasaran. Perasaan sok tahu atau kesombongan kecil bisa mengganggu jalan pikiran hingga kehilangan fokus. Padahal, bukan merasa tahu ataupun ambisius terhadap rasa penasaran, itu alamiah manusia karena excited dengan hal-hal yang menurutnya bisa mengubah diri, menambah value, menguatkan daya pikir atau hal positif lainnya untuk pengembangan diri.

Nah, kalo itu di-cut dan diberangus dengan satu kata yang tadi, buat apa rasa penasaran ada? Buat apa pengetahuan ada? Buat apa perasaan dan pikiran diciptakan?

And the best part of this opinion, kadang-kadang kita menemukan sesuatu yang janggal tetapi kita bisa untuk handle hal-hal itu. Misalnya negative things or words suka seliweran, bahkan vibes-nya, tapi secara otomatis dari pembiasaan yang kebangun kesadarannya, itu gampang banget buat dileburin bahkan nggak bisa berpengaruh ke kita.

Mungkin ada baiknya untuk kelola diri ketika mendapat hawa atau semangat belajar ke dalam. Mungkin juga perlu arahan dan bimbingan pada orang dan lingkungan yang tepat. Atau jangan-jangan, semangat tadi justru memantik api-api kecil yang mencari bahan bakar kolektif. Heuheuheu, bisa jadi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun