Sudah 2 tahun masyarakat Indonesia disuguhi drama dan telenovela hiruk pikuk pabrik semen di Rembang milik Semen Indonesia Group. Kasus ini bermula dari penolakan sebagian masyarakat lokal yang didukung oleh pentolan LSM dari Pati dan Walhi saat groundbreaking pabrik semen di Rembang pada sekitar bulan Juni 2014. Aksi penolakan menjadi tidak ada habisnya karena dari kubu penolak “mempermanenkan” aksinya dengan membuat tenda perjuangan, mengundang orang-orang Jakarta, bahkan menyatroni Dian Sastro saat syuting film Kartini, sehingga artis ini menjadi gelagapan salah tingkah dalam menentukan sikapnya. Bahkan mampu menempus istana dan diterima oleh Presiden Jokowi, bahkan aksi petani vs perusahaan sawit yang lebih besar tidak ada yang penolaknya diterima Presiden, termasuk ramainya kasus pembakaran hutan di Sumatera tahun lalu.
Keresahan warga penolak pabrik semen salah satunya dilandasi kekhawatiran akan rusaknya karst kendeng di sekitar lokasi tambang yang akan menyebabkan berkurangnya debit air dan berdampak negatif pada pertanian. Bahkan warga penolak pabrik semen Rembang sampai mengirimkan kultwit ke Sekjen PBB dan melaporkan terjadi #deforestation di Rembang karena berdirinya pabrik semen.
Pada sisi yang berbeda mayoritas warga Rembang menyambut suka cita hadirnya pabrik semen di Rembang karena memberikan harapan penghidupan yang lebih baik. Begitupula Pemerintah daerah Kabupaten Rembang memberikan apresiasi atas berdirinya pabrik semen milik Semen Indonesia. Sikap ini tentu wajar karena Kabupaten Rembang adalah kabupaten termiskin ke-3 di Jawa Tengah, dan kabupaten termiskin di Pati Raya (Pati, Rembang, Blora, Grobogan dan Jepara). Tentu sebagai daerah yang memiliki sejarah besar di masa lampau, yaitu tempat lahirnya Kartini sosok perempuan yang ingin agar kaumnya mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan agar mampu melahirkan dan mengajarkan pengetahuan bagi generasi penerus Rembang.
Kisah horor industri semen
Industri semen lekat dengan isu negatif lingkungan, antara lain bahan baku utama adalah kapur dan tanah liat yang merupakan bahan alam yang tidak dapat diperbaharui. Pegunungan kapur sendiri “memiliki peluang” sebagai tempat penyimpanan air tanah yang menjadi mata air untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari maupun pertanian. Industri semen diisukan membutuhkan air untuk produksinya sehingga akan bersaing dengan kebutuhan air untuk pertanian. Cerobong-cerobong pabrik semen akan menyemburkan asap dan debu yang menjadi pencemaran udara. Produk semen selain memiliki manfaat positif sebagai bahan bangunan, juga memiliki dampak negatif karena tanah yang tertutup semen maka akan menyumbat pori-pori tanah sehingga air akan run off tidak meresak di tanah dan berpeluang terjadi banjir karena saluran air tidak mampu menampung limpahan air yang tidak terserap tanah.
Berbagai penyakit yang berhubungan dengan pernapasan menjadi cerita, sebagai konsekuensi debu akibat berdirinya pabrik semen. Lahan pertanian juga terancam dengan tertutupnya daun oleh debu sehingga mengurangi produktivitas hasil pertanian atau bahkan membuat tanaman mati.
Industri semen era modern adalah solusi penyelamatan lingkungan
Jika ada yang berpendapat bahwa industri semen di era modern memiliki andil dalam menyelamatkan lingkungan, maka bisa jadi pendapat ini akan dianggap gila?. Tentu gila bagi bagi orang-orang yang tidak pernah mengikuti perkembangan jaman, bahwa dengan ilmu dan pengetahuan tidak ada kata yang tidak mungkin. Jaman dahulu proses membuat semen seperti proses membuat kertas, dibuat terlebih dahulu “bubur kertas” yang butuh banyak air lalu dibakar sampai airnya habis, baru kemudian dikeringkan dan digiling. Dapat dibayangkan jika kapasitas produksi industri semen di Indonesia menggunakan teknologi “JADUL”, maka dengan kapasitas 90 juta ton maka berapa milyar kubik air yang dibutuhan tiap tahun?. Berapa puluh ribu MW kebutuhan listik artinya berapa puluh juta ton batu bara setiap tahun dibutuhkan.
Saat ini industri semen tidak hanya semakin efisien sehingga mengkonsumsi energi jauh lebih sedikit karena proses pembuatan semen adalah proses kering tanpa air, namun dengan suhu pembakaran untuk membuat semen yang mencapai 1.400 derajat celcius maka pabrik semen ini bisa menjadi solusi lingkungan. Bahkan dengan kemajuan teknologi, industri semen menjadi solusi bagi limbah industri lain. Saat ini limbah B3 dan limbah industri dijadikan pabrik semen sebagai bahan baku untuk mengurangi penggunaan bahan baku alam.
Selain kapur dan tanah liat sebagai bahan baku utama, maka bahan baku semen antara lain membutuhkan silica, pasir besi, gypsum, limbah pemboran minyak dan lainnya. Salah satu fungsi gypsum adalah mengurangi kecepatan pengeringan kapur, sehingga tidak timbul retakan pada bangunan dan lain-lain. Beberapa industri semen (belum semua) menggunakan limbah sebagai bahan baku antara lain fly ash (limbah pembakaran batubara), paper sludge (limbah pabrik kertas), cupper slag (limbah pabrik besi-baja), dan lainnya.
Industri yang limbahnya dijadikan bahan baku semen akan sangat diuntungkan, pertama tentu saja tidak perlu repot-repot membuat instalasi pengolah limbah beserta biaya operasionalnya. Cukup berikan ke industri semen maka selesai persoalan limbahnya. Publik tidak ada yang jeli, salah satu pertimbangan PT Freeport membangun smelter di Gresik adalah pengolahan tembaga akan akan menghasilkan limbah, lalu jika PT Freeport membuat instalasi pengelolah limbah dapat dibayangkan berapa besar tambahan biaya investasi dan tentu saja biaya operasional serta potensi protes masyarakat jika suatu saat instalasi pengolah limbah “macet/mati”. Saat ini PT Smelting Gresik yang sahamnya mayoritas dimiliki PT Freeport dan telah ditunjuk untuk membangun dan mengoperasikan pabrik smelter di Gresik, limbah PT Smelting dikirim ke pabrik semen di Tuban milik PT Semen Indonesia.
Dapat dibayangkan berapa banyak limbah fly ash setahun seiring dengan selesainya proyek pembangkit listrik 35.000 MW yang berbasis batubara. Jika ditambah 10.000 MW proyek tahap 1 era SBY, maka 45.000 MW akan membakar sekitar 300 juta ton batubara setahun dan menghasilkan sekitar limbah fly ash sekitar 13 juta ton setahun atau setara dengan 1,3 juta truk tronton berkapasitas 10 ton yang berjejer. Jika 1 truk tronton panjangnya 15 m, maka dibutuhkan jalan sepanjang 19,5 km atau jika PLTU beroperasi 100 tahun maka dibutuhkan jalan sepanjang 1.950 km untuk menampung limbah fly ash.
Industri semen di Indonesia dengan kapasitas 90 juta ton/th, memiliki potensi untuk mengolah 30% limbah sebagai bahan baku semen menggantikan bahan alam, maka ada potensi 27 juta ton limbah industri lain yang dapat dioleh industri semen, artinya semua limbah fly ash di Indonesia akan “habis dimakan industri semen”, ada dua keuntungan sekaligus, pertama : industri yang menghasilkan limbah tersebut akan menjadi lebih efisien dan persoalan limbah sudah ada solusinya, kedua : industri semen akan menghemat bahan baku alam yang artinya keberadaan industri semen dapat diwariskan manfaatnya ke anak cucu.
Maka di negara Eropa, industri semen sudah dimasukkan sebagai kategori industri yang dapat menyelamatkan lingkungan. Kajian konsultan bisnis terbesar di dunia “The Boston Consulting Group” bahkan mengatakan “Industri Semen memberikan kontribusi strategis bagi kemajuan Eropa”. Berbicara mengenai kebutuhan manusia terkait pendidikan dan aktivitas lainnya yang membutuhkan kertas, membutuhkan energi berbasis fossil untuk berbagai penopang kehidupan termasuk BBM untuk transportasi dan lainnya, industri elektronik dan gadget sangat membutuhkan olahan bahan mineral seperti tembaga dan lainnya. Kesemua industri tersebut akan menghasilkan “Limbah B3” dan berpotensi menjadi masalah baru. Industri semen yang suhu pembakaran Kiln (proses utama membuat semen) minimal 1.400 oC atau lebih tinggi dibandingkan incenerator sampah/rumah sakit yang suhunya maksimal 1.200 oC, maka daya lenyap industri semen terhadap limbah berbahaya melebihi kemampuan incenerator yang dianggap sudah menjadi solusi melenyapkan limbah berbahaya semisal limbah medis.
Bahkan dengan inovasi dan teknologi terbaru, pabrik semen di Eropa mulai menerapkan sistem Waste Heat Recovery Power Generation (WHRPG) yaitu mengubah panas gas buang pembakaran semen sebagai pembangkit listrik. Indonesia tidak mau kalah dan ada 2 pabrik semen yang bisa membuat WHRP yaitu PT Semen Padang dengan kapasitas 8 MW dan sedang dalam proses membangun di pabrik semen Tuban milik PT Semen Indonesia dengan kapasitas 26 MW. Ada efisiensi sampai Rp 100 miliar perbulan di pabrik semen Tuban jika WHRPG bisa beroperasi karena total kebutuhan listrik di pabrik semen Tuban mencapai 85 MW, atau kontribuasi WHRP adalah 26 MW atau sekitar 30%. Artinya apa? Mengurangi beban PLN dalam menyediakan listrik, artinya mengurangi pembakaran batubara sebagai sumber utama pembangkit listrik milik PLN.
Link dibawah ini menunjukkan betapa industri semen sudah menjadi solusi lingkungan di Eropa. Sehingga keberadaan industri semen adalah “sangat diharapkan” keberadaannya
Ini penelitian lain di dunia, termasuk Amerika Serikat yang sudah menempatkan industri semen sebagai industri strategis penopang Pemerintah dalam mengurangi dampak pencemaran lingkungan.
Pemerintah atur penggunaan SDA untuk industri
Peran Pemerintah menjadi penting selaku regulator bagaimana mengatur pemanfaat sumber daya alam untuk industri. Indonesia sebagai negara yang memiliki keberagaman SDA terbanyak didunia tentu patut disyukuri, karena SDA ini adalah karuni Tuhan untuk dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat. Tentu pemanfaatan yang memperhatikan aspek ingkungan, karena jika tidak dilakukan bukan manfaat tetapi bencana yang akan terjadi.
Seperti pengaturan hutan yang antara lain ada hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi dan lainnya, maka menempatkan hutan bukanlah sebagai sumber daya yang “sama sekali” tidak boleh dimanfaatkan. Keberadaan hutan lindung dan hutan konservasi adalah sebagai penjaga keseimbangan dan kecukupan masyarakat di Indonesia akan daya dukung hutan sebagai penampung dan menahan air hujan agar meresap ke tanah, kebutuhan oksigen, maupun kebutuhan pangan dan obat yang berbasis hutan. Di karst atau pegunungan kapur juga sama, Pemerintah melalui Kementerian ESDM mengatur mana kawasan karst yang menjadi lindung gelologi dan mana yang bisa ditambang. Sudah banyak kawasan karst yang “lampu merah” bagi penambangan karena ditetapkan sebagai kawasan lindung geologi.
Di karst kendeng utara atau dalam klasifikasi Pemerintah adalah Karst Sukolilo, sesuai penelitian yang ada ada area yang masuk kawasan karst lindung dan ada karst budidaya. Melalui Kepmen ESDM nomor......telah ditetapkan Pati, Blora dan Grobogan adalah kawasan karst yang tidak boleh ditambang. Artinya karst yang di Rembang boleh di tambang, yang tentunya penambangan yang dikendalikan agar tidak merusak alam, melalui AMDAL penambangan.
Karena terkesima dengan melodrama Tolak Pabrik Semen Rembang, maka publik tidak dapat informasi bahwa tanpa adanya pabrik semen, maka karst di Rembang juga akan habis. Kenapa? Karena sudah sejak tahun 1970 dilakukan penambangan kapur di Rembang atau sudah berusia 46 tahun batu kapur Rembang di keruk. Saat ini sudah ada 10.250 hektar area karst/batu kapur yang ijin penambangannya sudah dikeluarkan Pemda Rembang. Dibandingkan dengan ijin untuk PT Semen Indonesia yang hanya 520 hektar, maka area tambang PT Semen Indonesia menjadi tidak signifikan karena hanya 5% dari total area tambang di Rembang. Sayangnya masyarakat yang getol Tolak Pabrik Semen tidak pernah mengadakan aksi “Tolak Penambangan Kapur di Rembang”. Artinya dengan total 95% para penambang existing akan dengan cepat “habisi” gunung kendeng di Rembang. Gambar citra satelit menunjukkan karst Rembang sudah “botak-botak” karena ditambang secara serampangan tanpa ada upaya reklamasi.
Haruskah pabrik semen paling ramah lingkungan ditutup?
Pabrik semen di Rembang yang didirikan PT Semen Indonesia “jika jadi” terlaksana (gara-gara putusan MA bisa saja pabrik semen Rembang jika salah ambil langkah dari Pemerintah akan tutup), maka akan ciptakan 2 rekor sekaligus. Pertama, adalah pabrik semen yang dibangun oleh 100% tenaga kerja Indonesia. Ditengah maraknya pemberitaan di media bahwa Indonesia sedang diserbu tenaga kerja asing dari China yang memicu sentimen dan gesekan negatif di masyarakat, ada pabrik semen yang 100% dibangun putra-putri Indonesia, artinya “SDM Indonesia mampu”. Kedua, pabrik semen di Rembang menggunakan teknologi terbaru dari Eropa dan akan menjadi pabrik semen paling ramah lingkungan di Indonesia. Bahkan akan menjadi pabrik semen pertama yang menghasilkan energi dari proses kinetik pengiriman bahan baku dari lokasi tambang ke pabrik yang menggunakan “long belt conveyor” sepanjang 5 km. Menjadi menarik pula karena ada satu titik yang ketinggian tiang penyangga “long belt conveyor” tingginya 30 m atau diatas pohon. Kenapa? Karena melewati pohon langka di hutan milik Perhutani, maka untuk menjaga fungsi dari pohon tersebut maka mengorbankan banyak dana untuk membangun menara penyangga belt conveyor yang tingginya 30 m.
Teknologi semen tanpa air dalam proses produksi, itu sudah kuno bagi para enginer putra-putri Indonesia yang membangun pabrik semen Rembang. Pabrik ini aga sepenuhnya menggunakan air hujan untuk proses utilisasi pendukung pabrik dengan mengolah air hujan menjadi air layak konsumsi, serta menggunakan “Main Bag Filter” yang dikombinasikan dengan “Elektrostatic Precipicator” (penangkap debu) sehigga jika suatu saat pabrik mati pendadak karena pasokan listrik dari PLN terganggu atau sebab lain, maka tidak akan ada debu yang lolos menjadi pencemaran udara.
Seperti trend kota yang menjadi kota hijau dengan sediakan 30% area sebagai area terbuka hijau (meskipun sulit kota bisa mencapainya, karena biaya membebaskan lahan untuk dijadikan RTH sangat mahal), maka pabrik semen di Rembang akan menjadikan 30% area pabrik menjadi area terbuka hijau. Sehingga jika nantinya berkunjung ke pabrik tersebut, tidak akan menyangka berada di pabrik semen, mungkin serasa perkantoran yang penuh dengan taman-taman yang indah dan nyaman dipandang.
Ada kegilaan lain yang menyebabkan PT Semen Indonesia berani membangun pabrik semen ramah lingkungan dengan biaya pembangunan perton yang lebih mahal dibandingkan pabrik semen milik kompetitor yang baru dibangun. Bahkan jika dibandingkan dengan pabrik semen milik China seperti semen conch di Kalimantan Selatan, biaya membangun pabrik semen di Rembang bisa 2 kali lipat lebih mahal untuk kapasitas yang sama. Kegilaan itu adalah merelakan sekitar Rp 100 miliar untuk menjadi “green belt”. Ya, indusri semen diwajibkan membangun green belt sepanjang 10 m melingkari area tambang gunanya untuk menyerap polusi sehingga tidak mengganggu penduduk sekitar serta menjadi salah satu sumber O2. Namun, pabrik semen di Rembang milik PT Semen Indonesia membuat green belt selebar 50 m melingkari area tambang. Total 80 hektar lahan “diwakafkan” untuk area green belt, yang artinya jika 1 ha lahan senilai sekitar Rp 1,25 miliar maka Rp 100 miliar diikhlaskan demi menciptakan lingkungan yang sangat memadai.
Sebuah fakta bahwa penambangan kapur (karst ) di Rembang sudah berlangsung sejak tahun 1970 atau 46 tahun, dan di Rembang saat ini ada 10.250 ha ijin penambangan kapur, dari luas tersebut PT Semen Indonesia melalui pabrik semen di Rembang mendapatkan ijin 520 ha atau 5% dari total ijin tambang kapur. Artinya masalah lingkungan di area penambangan, tidak fair jika "hanya dibebankan ke pabrik semen" karena masak 5% harus bertanggung jawab terhadap ulah 95%. Saat ini, tambang kapur sudah ditambang dan diperkirakan juga akan habis dan menyisakan kerusakan alam, karena penambang saat ini tidak menggunakan kaidah lingkungan dalam menambang. Citra satelit menunjukkan kawasan pegunungan kendeng di Kecamatan Gunem sudah "botak-botak.
Tentu menjadi keputusan gila pula, jika sampai pabrik semen di Rembang ditutup hanya karena ulah kegilaan segelintir masyarakat dan LSM yang hanya mengejar nafsu pribadi semata. Jika Indonesia sekarang kelebihan pasokan semen, mengapa yang disalahkan adalah BUMN yang sedang membangun pabrik semen dan BUMN semen ini dminta mengalah dengan menutup pabriknya. Kenapa tidak pabrik semen milik asing, termasuk milik China di Kaimantan Selatan yang dicurigai tidak hanya berfungsi sebagai pabrik semen semata tetapi ada aktivitas lain yang tidak dilaporkan. Pemberitaan media tentang ditolaknya petugas dari Disnaker yang didampingi TNI untuk mendata aktivitas dan jumlah tenaga kerja asing di pabrik semen Conch milik China tersebut, mestinya menjadi pertanyaan kita semua. Haruskan anak sendiri kita suruh pergi dari rumah, sedangkan kemudian anak orang lain atau bisa jadi anak tidak jelas karena ditemukan di jalan yang akan mendiami rumah kita.
Jadi menempatkan industri semen, sama halnya dengan kepemilikan senjata nuklir. Apakah senjata tersebut akan dipakai untuk mengintimidasi/menyerang negara lain atau digunakan untuk mengingatkan negara lain agar tidak coba-coba berbuat onar. Sehingga benar pepatah "Man Behind The Gun". Dalam konteks pabrik Semen Rembang, terlihat Pemerintah gagap dalam menempatkan posisi industri ini, jika di Eropa sudah dimasukkan dalam klasifikasi industri lingkungan (karena berfungsi salah satunya adalah menyelamatkan lingkungan) sedangkan di Indonesia masih diposisikan sebagai industri ekstraktif yang mengolah SDA.
Akibatnya ketika ada industri semen yang mencoba maju secara teknologi dengan salah satunya menjadikan emisi debu dibawah 20 mg/Nm3 atau sesuai standar baru di Eropa, maka dianggap sama saja tidak ada insentif ataupun perhatian dari Pemerintah dan dianggap sama dengan industri semen teknologi 1980an yang emisi debu diatur 80 mg/Nm3. Belum lagi parameter lain seperti efisiensi energi sesuai amanat PP No 70 Tahun 2009 tentang konservasi energi bagi industri yang menggunakan energi setara dengan 6.000 ton minyak setahun atau seluruh industri semen di Indonesia minimal berkapsitas 300 ribu ton/th terkena aturan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H