Mohon tunggu...
Arief
Arief Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Pernah nulis dibeberapa media seperti SINDO, Jurnas, Surabaya Post, Suara Indonesia (dulu dimasa reformasi), Majalah Explo dll. ( @arief_nggih )

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Industri Semen: Perusak Alam atau Penyelamat Lingkungan?

22 Desember 2016   07:41 Diperbarui: 18 Januari 2017   20:03 3875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshoot pribadi

Di karst kendeng utara atau dalam klasifikasi Pemerintah adalah Karst Sukolilo, sesuai penelitian yang ada ada area yang masuk kawasan karst lindung dan ada karst budidaya. Melalui Kepmen ESDM nomor......telah ditetapkan Pati, Blora dan Grobogan adalah kawasan karst yang tidak boleh ditambang. Artinya karst yang di Rembang boleh di tambang, yang tentunya penambangan yang dikendalikan agar tidak merusak alam, melalui AMDAL penambangan.

Karena terkesima dengan melodrama Tolak Pabrik Semen Rembang, maka publik tidak dapat informasi bahwa tanpa adanya pabrik semen, maka karst di Rembang juga akan habis. Kenapa? Karena sudah sejak tahun 1970 dilakukan penambangan kapur di Rembang atau sudah berusia 46 tahun batu kapur Rembang di keruk. Saat ini sudah ada 10.250 hektar area karst/batu kapur yang ijin penambangannya sudah dikeluarkan Pemda Rembang. Dibandingkan dengan ijin untuk PT Semen Indonesia yang hanya 520 hektar, maka area tambang PT Semen Indonesia menjadi tidak signifikan karena hanya 5% dari total area tambang di Rembang. Sayangnya masyarakat yang getol Tolak Pabrik Semen tidak pernah mengadakan aksi “Tolak Penambangan Kapur di Rembang”. Artinya dengan total 95% para penambang existing akan dengan cepat “habisi” gunung kendeng di Rembang. Gambar citra satelit menunjukkan karst Rembang sudah “botak-botak” karena ditambang secara serampangan tanpa ada upaya reklamasi.

Haruskah pabrik semen paling ramah lingkungan ditutup?

Pabrik semen di Rembang yang didirikan PT Semen Indonesia “jika jadi” terlaksana (gara-gara putusan MA bisa saja pabrik semen Rembang jika salah ambil langkah dari Pemerintah akan tutup), maka akan ciptakan 2 rekor sekaligus. Pertama, adalah pabrik semen yang dibangun oleh 100% tenaga kerja Indonesia. Ditengah maraknya pemberitaan di media bahwa Indonesia sedang diserbu tenaga kerja asing dari China yang memicu sentimen dan gesekan negatif di masyarakat, ada pabrik semen yang 100% dibangun putra-putri Indonesia, artinya “SDM Indonesia mampu”. Kedua, pabrik semen di Rembang menggunakan teknologi terbaru dari Eropa dan akan menjadi pabrik semen paling ramah lingkungan di Indonesia. Bahkan akan menjadi pabrik semen pertama yang menghasilkan energi dari proses kinetik pengiriman bahan baku dari lokasi tambang ke pabrik yang menggunakan “long belt conveyor” sepanjang 5 km. Menjadi menarik pula karena ada satu titik yang ketinggian tiang penyangga “long belt conveyor” tingginya 30 m atau diatas pohon. Kenapa? Karena melewati pohon langka di hutan milik Perhutani, maka untuk menjaga fungsi dari pohon tersebut maka mengorbankan banyak dana untuk membangun menara penyangga belt conveyor yang tingginya 30 m.

Teknologi semen tanpa air dalam proses produksi, itu sudah kuno bagi para enginer putra-putri Indonesia yang membangun pabrik semen Rembang. Pabrik ini aga sepenuhnya menggunakan air hujan untuk proses utilisasi pendukung pabrik dengan mengolah air hujan menjadi air layak konsumsi, serta menggunakan “Main Bag Filter” yang dikombinasikan dengan “Elektrostatic Precipicator” (penangkap debu) sehigga jika suatu saat pabrik mati pendadak karena pasokan listrik dari PLN terganggu atau sebab lain, maka tidak akan ada debu yang lolos menjadi pencemaran udara.

Seperti trend kota yang menjadi kota hijau dengan sediakan 30% area sebagai area terbuka hijau (meskipun sulit kota bisa mencapainya, karena biaya membebaskan lahan untuk dijadikan RTH sangat mahal), maka pabrik semen di Rembang akan menjadikan 30% area pabrik menjadi area terbuka hijau. Sehingga jika nantinya berkunjung ke pabrik tersebut, tidak akan menyangka berada di pabrik semen, mungkin serasa perkantoran yang penuh dengan taman-taman yang indah dan nyaman dipandang.

Ada kegilaan lain yang menyebabkan PT Semen Indonesia berani membangun pabrik semen ramah lingkungan dengan biaya pembangunan perton yang lebih mahal dibandingkan pabrik semen milik kompetitor yang baru dibangun. Bahkan jika dibandingkan dengan pabrik semen milik China seperti semen conch di Kalimantan Selatan, biaya membangun pabrik semen di Rembang bisa 2 kali lipat lebih mahal untuk kapasitas yang sama. Kegilaan itu adalah merelakan sekitar Rp 100 miliar untuk menjadi “green belt”. Ya, indusri semen diwajibkan membangun green belt sepanjang 10 m melingkari area tambang gunanya untuk menyerap polusi sehingga tidak mengganggu penduduk sekitar serta menjadi salah satu sumber O2. Namun, pabrik semen di Rembang milik PT Semen Indonesia membuat green belt selebar 50 m melingkari area tambang. Total 80 hektar lahan “diwakafkan” untuk area green belt, yang artinya jika 1 ha lahan senilai sekitar Rp 1,25 miliar maka Rp 100 miliar diikhlaskan demi menciptakan lingkungan yang sangat memadai.

Sebuah fakta bahwa penambangan kapur (karst ) di Rembang sudah berlangsung sejak tahun 1970 atau 46 tahun, dan di Rembang saat ini ada 10.250 ha ijin penambangan kapur, dari luas tersebut PT Semen Indonesia melalui pabrik semen di Rembang mendapatkan ijin 520 ha atau 5% dari total ijin tambang kapur. Artinya masalah lingkungan di area penambangan, tidak fair jika "hanya dibebankan ke pabrik semen" karena masak 5% harus bertanggung jawab terhadap ulah 95%. Saat ini, tambang kapur sudah ditambang dan diperkirakan juga akan habis dan menyisakan kerusakan alam, karena penambang saat ini tidak menggunakan kaidah lingkungan dalam menambang. Citra satelit menunjukkan kawasan pegunungan kendeng di Kecamatan Gunem sudah "botak-botak.

Tentu menjadi keputusan gila pula, jika sampai pabrik semen di Rembang ditutup hanya karena ulah kegilaan segelintir masyarakat dan LSM yang hanya mengejar nafsu pribadi semata. Jika Indonesia sekarang kelebihan pasokan semen, mengapa yang disalahkan adalah BUMN yang sedang membangun pabrik semen dan BUMN semen ini dminta mengalah dengan menutup pabriknya. Kenapa tidak pabrik semen milik asing, termasuk milik China di Kaimantan Selatan yang dicurigai tidak hanya berfungsi sebagai pabrik semen semata tetapi ada aktivitas lain yang tidak dilaporkan. Pemberitaan media tentang ditolaknya petugas dari Disnaker yang didampingi TNI untuk mendata aktivitas dan jumlah tenaga kerja asing di pabrik semen Conch milik China tersebut, mestinya menjadi pertanyaan kita semua. Haruskan anak sendiri kita suruh pergi dari rumah, sedangkan kemudian anak orang lain atau bisa jadi anak tidak jelas karena ditemukan di jalan yang akan mendiami rumah kita.

Jadi menempatkan industri semen, sama halnya dengan kepemilikan senjata nuklir. Apakah senjata tersebut akan dipakai untuk mengintimidasi/menyerang negara lain atau digunakan untuk mengingatkan negara lain agar tidak coba-coba berbuat onar. Sehingga benar pepatah "Man Behind The Gun". Dalam konteks pabrik Semen Rembang, terlihat Pemerintah gagap dalam menempatkan posisi industri ini, jika di Eropa sudah dimasukkan dalam klasifikasi industri lingkungan (karena berfungsi salah satunya adalah menyelamatkan lingkungan) sedangkan di Indonesia masih diposisikan sebagai industri ekstraktif yang mengolah SDA. 

Akibatnya ketika ada industri semen yang mencoba maju secara teknologi dengan salah satunya menjadikan emisi debu dibawah 20 mg/Nm3 atau sesuai standar baru di Eropa, maka dianggap sama saja tidak ada insentif ataupun perhatian dari Pemerintah dan dianggap sama dengan industri semen teknologi 1980an yang emisi debu diatur 80 mg/Nm3. Belum lagi parameter lain seperti efisiensi energi sesuai amanat PP No 70 Tahun 2009 tentang konservasi energi bagi industri yang menggunakan energi setara dengan 6.000 ton minyak setahun atau seluruh industri semen di Indonesia minimal berkapsitas 300 ribu ton/th terkena aturan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun