Dengan demikian ajaran Samin surosentiko bukanlah ajaran yang pesimitis, melainkan ajaran yang penuh kreatifitas dan keberanian. Samin Surosentiko yang hidup dari tahun 1859 sampai tahun 1914 ternyata telah memberi warna sejarah perjuangan bangsa, walaupun orang-orang di daerahnya, Blora yang bukan warga Samin mencemoohkannya, tapi sejarah telah mencatatnya, dia telah mampu menghimpun kekuatan yang luar biasa besarnya. Ajaran-ajarannya tidak hanya tersebar didaerah Blora saja, tetapi tersebar di beberapa daerah lainnya, seperti : Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Madiun, Jember, Banyuwangi, Purwodadi, Pati, Rembang, Kudus, Brebes, dan lain-lain.
Masyarakat Samin Tidak Berada Di Pusat Kekuasaan Belanda
Struktur Pemerintahan Belanda yang memiliki pewilayahan dalam bentuk Karisedenan, menjadikan daerah yang menjadi pusat Pemerintah akan memiliki pengaruh kekuasaan yang paling kuat. Pada jaman kolonialisme, Madiun dan Rembang adalah menjadi pusat Pemerintahan Belanda, lalu kaitannya dengan masyarakat Samin seperti apa?. Ajaran Samin yang menggelorakan perlawanan terhadap Belanda yang salah satunya dilandasi motif ekonomi yaitu "tidak mau membayar pajak" menjadi menarik perhatian saat itu, sehingga dengan cepat jumlah masyarakat Samin berkembang dari sekitar 722 orang di tahun 1903 menjadi sekitar 5.000 orang di tahun 1907. Kemiskinan selama penjajahan menjadikan ajaran Samin sangat menarik untuk diikuti, ini sama dengan berkembang pesatnya ajaran sosialis/komunis yang bahkan diawal kemerdekaan RI partai komunis pada pemilu 1955 mendapatkan kursi yang sangat besar. Setelah berjuang habis-habisan pada perang kemerdekaan, maka ekonomi Indonesia saat itu hancur lebur, yang ditandai pula pemberontakan di daerah yang juga faktornya sama yaitu ekonomi.
Pertanyaannya kemudian di daerah mana pada akhirnya masyarakat Samin berkembang?. Tentunya dengan berbagai ajaran Samin yang akan menjauh dari pusat kekuasaan bahkan menghindari perdagangan, karena perdagangan adalah pintu dari ketidakjujuran, maka seiring dengan sikap represif dari Penjajah Belanda, maka masyarakat Samin terkonsentrasi/berkonsolidasi pada daerah-daerah yang jauh dari kekuasaan. Fakta ini dibenarkan dengan adanya laporan bahwa pada tahun 1970, masyarakat Samin baru tahu jika penjajah Belanda sudah pergi (baca : Indonesia merdeka). Jadi bisa diterima akal pikiran jika kenapa masyarakat Samin tidak berdomisili di Rembang, ya...salah satu alasannya tentu daerah tersebut adalah kekuasan penjajah Belanda.
Dalam literatur modern, disebutkan saat ini, termasuk pengakuan beberapa masyarakat di daerah yang dulu ada masyarakat Samin, bahwa daerah yang masih ada masyarakat Samin adalah Bojonegoro, Blora dan Pati. Ini tentu wajar, mengingat saat terjadi represif terhadap masyarakat Samin di era penjajahan, masyarakat Samin terkonsolidasi pada wilayah tertentu. Seiring dengan kemajuan jaman dan mulai terbukanya masyarakat Samin mengikuti perkembangan, maka daerah-daerah yang bukan menjadi pusat konsentrasi masyarakat Samin lama kelamaan melakukan adaptasi dengan budaya modern, sehingga mereka mulai mensekolahkan anaknya, menggunakan listri dan peralatan listrik dsb. Jika di Banten maka perubahan ini identik dengan terciptanya masyarakat "Baduy Dalam dan Baduy Luar". Masyarakat yang mulai beradaptasi dengan budaya modern adalah Baduy Luar.
Penjajahan Menciptakan Pusat Perlawanan Rakyat, Era Modern Komunitas Tertentu Tempati Wilayah Tertentu
Dari analisa diatas dapat disimpulan bahwa era penjajahan Belanda yang berlangsung ratusan tahun (+/- 350 tahun) menciptakan kelompok/ajaran berbasis pada masyarakat tertentu, yang kemudian kelompok masyarakat tersebut pada akhirnya terkonsentrasi di daerah yang jauh dari kekuasaan. Struktur Pemerintahan Indonesia pasca Kemerdekaan yang masih mengikuti peninggalan Belanda, menjadikan pasca Kemerdekaan sampai Era Orde Baru struktur tersebut masih ada, yang artinya adalah menjadi pusat ekonomi. Di era Reformasi kemudian dihapuslah Polisi Wilayah, Karisidenan dll. Sehingga di aparat kepolisian hanya ada Polres yang berbasis di Kabupaten, dahulunya ada Polwil yang membawahi beberapa Kabupaten.
Petakan & Lindungi Kearifan Lokal, Agar Ekonomi Dapat di Bangun
Perubahan struktur pemerintahan dan era modern, maka dibutuhkan pemetaan/sensus masyarakat lokal/khas yang ada seperti Samin, Baduy, Suku Anak Dalam dll. Mengapa? karena seiring dengan perkembangan jumlah penduduk yang terus menyebar/bertambah serta seiring kebutuhan untuk mengelolah SDA, maka pada akhirnya akan terjadi irisan, dimana masyarakat akan berdomisili di area dekat lokasi SDA yang diolah (baca tambang). Bagi masyarakat modern, maka berpindah-pindah lokasi adalah hal yang biasa, tetapi bagi masyarakat khusus seperti masyarakat Samin, berpindah adalah hal yang "hampir tidak mustahil" karena mereka menganggap lokasi tempat hidup dan mencari penghidupan adalah bagian dari hidupnya. Meninggalkan lokasinya adalah hal yang tidak mungkin.
Konflik dengan masyarakat khusus ini, mungkin tidak terjadi karena dari sifat mereka yang selalu menyingkir menghindari kekerasan maka sebenarnya sudah mengurangi potensi konflik. Namun, yang harus diwaspadai adalah "pihak lain" (bisa oknum LSM, oknum aparat, oknum ormas dll)Â yang ingin memanfaatkan kondisi tersebut untuk kepentingannya dengan mencoba membenturkan masyarakat khusus tersebut dengan pihak lain.
Dalam konteks peraturan pemerintah yang mengatur daerah mana yang boleh ditambang ataupun tidak, hendaklah pula mengkaji aspek budaya. Apakah Kepmen ESDM no 2641 K/40/MEM/2014 menyatakan karst: Pati, Grobogan dan Blora tidak boleh ditambang. Kemudian era modern masyarakat Samin jika dicroscek adanya di Pati, Blora dan Bojonegoro.