Akhir-akhir ini kata "samin" menjadi terkenal lagi, terlebih setelah ada video Samin vs Semen beredar luas di Youtube sebagai bahan menarik dukungan masyarakat sehubungan dengan gugatan WALHI dan beberapa warga di Rembang yang meminta ijin lingkungan PT Semen Indonesia dicabut.
Disclaimer: Tulisan ini tidak dalam posisi mengkomentari/menganalisa kebenaran video Samin vs Semen atau benar tidaknya putusan PTUN yang telah dikeluarkan tanggal 16 April 2015, tidak juga dalam kaitan pihak yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung. Analisa ini lebih pada semacam sebuah studi atau pemikiran, mengapa di Rembang tidak ada Samin (berdasarkan artikel-artikel di Wikipedia ataupun tulisan para blogger, media online dll). Jika opini kemudian ada "yang merasa" diuntungkan ataupun dirugikan, maka tidak ada maksud penulis membuat opini seperti itu.
Jadi dari berbagai tulisan tersebut, maka selanjutnya penulis mencoba menganalisa mengapa di Rembang tidak ada masyarakat Samin serta dikaitkan dengan pemanfaatan SDA yang tidak hanya memperhatikan faktor lingkungan (kelestarian) tetapi juga faktor sosial (kehidupan masyarakat yang bergantung pada alam (baca : tidak mau kehidupan modern))
Fakta 1 : https://saminist.wordpress.com/
Pada zaman itu, kata mereka, orang Samin sangat menderita. Mereka dipaksa membayar pajak. Mereka dipaksa ikut blandhongan, melakukan kerja rodi atau kerja paksa sebagai penebang dan pengangkut kayu di hutan jati. Kalau menolak, mereka akan didatangi pamong desa atau pelpulisi, polisi pemerinah Hindia Belanda. Mereka ditangkap dan disiksa. Banyak tanah pertanian mereka dirampas untuk ditanami jati.
Perlakuan kejam itu mengakibatkan mereka mengalami kekurangan pangan. Badan mereka kurus-kurus. Mereka tak punya keberanian melawan, karena tak punya semangat dan senjata. Padahal, tanah yang mereka miliki rata-rata juga tak begitu layak untuk bertani.
Tapelan, misalnya, adalah desa yang “tandus. Bila musim hujan, air yang tercurah dari langit tidak meresap ke dalam tanah, tapi terus mengalir ke… kali kecil di sekitarnya, dan kemudian bermuara di Bengawan Sålå. Hal ini disebabkan oleh… struktur tanah desa… terdiri… tiga lapis… atas… tanah liat, pasir, dan sedikit kapur… tengah… tanah padas… bawah… batu-batuan. Struktur tanah yang demikian ini tentu saja tidak menguntungkan pertanian,” tulis Profesor Suripan.
Karena itu, tidak salah apa yang disimpulkan oleh Dr. C.L.M. Penders bahwa “Tampak jelas Gerakan Samin terutama berakar pada kekecewaan ekonomi. Kawasan tempat kebanyakan orang Samin tinggal, tanah kapur liat tak teririgasi di Bojonegoro dan Blora, demikian miskin.”
Fakta 2 : http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin
Tersebar pertama kali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890 pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan, atau di sekitar perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.[8]
Fakta 3 : http://wongsamins.weebly.com/sejarah-samin.html
Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial. Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.