Mohon tunggu...
Muhammad Ariefianto
Muhammad Ariefianto Mohon Tunggu... Guru - Guru di Sekolah Mutiara Bunda Bandung

Makhluk Allah yang terlahir dengan senyum bahagia kedua orangtua, dan bercita-cita kembali kepada Allah diiringi senyum bahagia karena mampu mengoptimalkan tugas hidupnya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PISA dan Dilema Kualitas Pendidikan Indonesia

25 Juli 2019   14:07 Diperbarui: 25 Juli 2019   14:14 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

PISA: Usaha Mengukur Kualitas Diri dengan Standar Internasional

Indonesia dengan hampir 45 juta siswa usia sekolah dari level TK sampai SMA (Kemendikbud, 2018) dari ujung barat pulau Sumatera di Aceh sampai ujung timur di Papua, dari ujung selatan pulau Rote sampai ujung utara pulau Talaud sungguh memiliki tantangan yang sangat besar untuk dinilai seberapa tinggi kualitas pendidikannya. Apalagi jika ingin dibandingkan dengan dunia internasional, tentu lebih rumit lagi. 

Selain itu disparitas (perbedaan) struktur pengelola pendidikan di masing-masing daerah yang secara otonomi memiliki peran yang kuat menambah rumit penilaian kualitas yang dimaksud. Namun berbagai hambatan melakukan berbagai penilaian itu bukan berarti sama sekali meniadakan kesempatan tuk menilai diri, setidaknya ada PISA atau Programme International Student Assessment. 

PISA adalah survei internasional tiga tahunan yang diselenggarakan oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang bertujuan untuk mengevaluasi sistem pendidikan di seluruh dunia dengan menguji keterampilan dan pengetahuan siswa berusia 15 tahun yang mendekati akhir dari pendidikan wajib yang harus diselesaikannya.

Direktur Pendidikan OECD, Andreas Schleicher, sebagai lembaga yang mengadakan PISA dalam salah satu paparannya mengatakan bahwa PISA lebih memperhatikan aspek kognitif serta keterampilan sosio-emosional apa yang dibutuhkan kaum muda untuk menjadi sukses. "Alasan mengapa semakin banyak negara tertarik adalah untuk mengambil bagian dalam PISA yaitu tentang apa yang seharusnya kita ajarkan dan bagaimana kita dapat mengajarkannya dengan cara terbaik,". 

Dijelaskan Andreas, PISA telah melihat lebih dari sekedar perubahan keanggotaan dalam beberapa tahun terakhir. "Tes ini juga telah berkembang untuk mengukur serangkaian keterampilan dan kompetensi yang lebih luas di luar standar literasi, matematika, dan sains. Tidak lupa juga ketika membuat kurikulum harus berorientasi kepada pelajar dan apa yang mereka butuhkan,". 

PISA menilai seberapa baik mereka dapat menerapkan apa yang mereka pelajari di sekolah untuk situasi kehidupan nyata. Lebih dari 90 negara telah berpartisipasi dalam penilaian yang dimulai sejak tahun 2000 ini. Setiap tiga tahun siswa diuji dalam mata pelajaran utama, yakni literasi, matematika dan sains. Standar yang dikeluarkan oleh PISA menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan pendidikan yang dipakai oleh berbagai negara.

Dengan metode yang dirancang tersebut hipotesis bahwa PISA menjadi acuan untuk mengukur kualitas pendidikan suatu Negara secara internasional mendapatkan legitimasinya dari sisi waktu yang sudah diujicoba selama 19 tahun juga konten yang tidak hanya berisi tes kemampuan kognitif saja melainkan juga keterampilan hidup di abad 21 saat ini.

Dilema Kualitas Pendidikan di Indonesia

Merunut tentang sejarah pendidikan di Indonesia tentu kita harus melihat dari zaman pra kemerdekaan, dimana saat itu pendidikan direncanakan oleh penjajah Belanda sengaja bertujuan untuk membuat negeri berikut penduduk yang dijajahnya terus abadi merasa terjajah. 

Hal ini membuat sistem pendidikan berkasta-kasta dengan sekolah berkualitas tinggi standar Eropa hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan sedikit untuk keluarga ningrat keraton yang berkongsi serta mendukung Belanda di wilayahnya. 

Selain itu kualitas rendah bagi warga secara umum dengan menitik beratkan kepada pengetahuan saja tanpa ada unsur keterampilan apalagi proses pengembangan diri juga kesadaran berbangsa dan bernegara. Hal ini dianggap tabu dan membahayakan keberlangsung penjajahan Belanda di Indonesia saat itu.

Ketimpangan dan diskriminasi pendidikan ini yang meresahkan para tokoh pejuang pendidikan di Indonesia untuk berbuat sesuatu bagi saudara sebangsanya. Tokoh seperti Ki Hajar Dewantara dan K.H Ahmad Dahlan yang beruntung mendapatkan pendidikan berkualitas karena tergolong keluarga ningrat keraton dan putra saudagar saat itu resah.

Mereka bertekad untuk mencerdaskan bangsa dengan kualitas pendidikan unggul untuk menjadikan Sumber Daya Manusia Indonesia yang lebih berkualitas. Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya menekankan selain pengetahuan juga keterampilan dalam suasana belajar yang menyenangkan sehingga suasana belajar di kelas-kelas itu layaknya berada di Taman, menyenangkan dan membuat semua orang bahagia dan ingin terus merasakan suasananya. 

Taman Siswa terus berkembang dan eksis sampai saat ini dengan sebuah pertanyaan, sudahkah cita-cita pendirinya ingin membuat sekolah dengan suasana belajar seperti di taman-taman itu benar-benar terwujud saat ini? 

Kita harus menyiapkan banyak waktu tuk mengukurnya. Pejuang pendidikan lainnya adalah K.H Ahmad Dahlan pendiri organisasi masyarakat Muhammadiyyah yang sangat peduli dengan rasa berbangsa dan bernegara warga Indonesia tuk lebih sadar bahwa penjajahan harus diakhiri, kesadaran itu bisa dibangun dari sisi pendidikan, sehingga sekolah di Muhammadiyyah tidak hanya pengetahuan yang dibangun melainkan mental juga kesadaran berbangsa dengan program Hizbul Wathonnya yang senafas dengan Scout yang digagas oleh Lord Baden Powel di daratan eropa saat itu. 

Gerakan K.H Ahmad Dahlan ini sangat fenomenal dan revolusioner di masa itu di jalur pendidikan yang bisa menjadi jalan perjuangan. Muhammadiyyah pun eksis sampai hari ini juga tergolong organisasi yang independen serta militan untuk berjuang dari sisi pendidikan, kesehatan juga kesejahteraan masyarakat, semua berawal dari tekad kuat bapak pejuang pendidikan yaitu K.H Ahmad Dahlan.

Selepas kemerdekaan maka arah pendidikan Indonesia jadi kurang terarah dan cenderung tidak mendapat porsi yang utama. Hal ini bisa dianggap wajar saat itu dikarenakan suasana berbangsa yang walaupun sudah merdeka namun tetap belum sepenuhnya damai dan membangun semua aspeknya. 

Pihak Belanda selaku penjajah yang tidak rela begitu saja kehilangan wilayah jajahannya terus merongrong bangsa Indonesia dengan berbagai serangan militernya, hal ini berdampak pada pembangunan fisik bangsa Indonesia terbengkalai apalagi pembangunan Sumber Daya Manusianya berupa pendidikan. 

Ironisnya pasca suasana yang lebih damai dengan pengakuan kedaulatan Indonesia dari dunia internasional dan ditandatanganinya perjanjian damai, arah dan tujuan bahkan kualitas pendidikan Indonesia juga tidak berubah, tidak tau hendak kemana yang akan dituju, semua serba gamang dan tidak tetap. Semua ditentukan oleh sang pejabat yang mengurusi bidang pendidikannya, sang pejabat berubah kebijakan pun akhirnya berubah pula. 

Tidak ada suatu kesinambungan program maupun tujuan pendidikan nasional seperti para pendahulu di masa penjajahan yang serba sulit. Dilema ini yang selalu menyertai pendidikan di Indonesia sampai saat ini. 

Tentu saja hal ini harus dicari ujung pangkalnya dan segera ditemukan solusinya agar pendidikan di Indonesia terarah pada pokok masalah yang ingin dijawabnya, menjadikan SDM bangsa Indonesia yang berkualitas dunia menjawab semua permasalahan bangsa yang ada dengan dasar ketaqwaan juga akhlak mulia, itu saja cukup rasanya menurut saya dijadikan tujuan dan arah pendidikan nasional, namun entah menurut anda.

Pendidikan Indonesia Berkualitas Prima

Kalau kita mau meluangkan waktu sejenak saja meresapi seluruh cita-cita para pendiri bangsa ini khususnya di bidang pendidikan maka tergambar jelas sejatinya bagaimana pendidikan Indonesia itu seharusnya. 

Gabungan dari berbagai cita-cita para tokoh pejuang pendidikan bangsa akan membuat sebuah mozaik besar itu berwujud yaitu SDM bangsa Indonesia yang berkualitas prima, baik diukur dari dirinya, lingkungan masyarakatnya, negaranya bahkan sampai diluar negaranya, semua mengakui kalau dirinya berkualitas. Dengan mulai membongkar kembali mozaik dimaksud maka akan jelas pula gambaran dari masing-masing potongan gambar yang menyusunnya.

Kualitas diri diukur dari sehat mental juga pola pikirnya, selalu positif serta meluaskan cara pandang ketika menghadapi permasalahan sehingga senantiasa menjawab berbagai masalah dengan opsi saling menang dengan prinsip win-win solution, semua pihak diuntungkan tanpa terkecuali. 

Kemampuan ini tidak bisa diajarkan dalam bentuk kognitif, melainkan dengan berbagai kasus dan permasalahan yang harus diselesaikan di setiap fasenya, berbentuk keterampilan hidup. Setiap sekolah harus mampu menciptakan program ini dalam intergrasi dengan berbagai mata pelajaran maupun diluar mata pelajaran untuk mewujudkan poin kualitas diri dimaksud.

Setelah kualitas diri terwujud maka berikutnya adalah kualitasnya dinilai oleh lingkungan tempat tinggalnya. Setiap siswa diharuskan memiliki kepekaan sosial yang tinggi tuk minimal meresapi apa saja permasalahan lingkungan yang dihadapi masyarakat di sekelilingnya. 

Lebih optimal lagi jika setelah mengidentifikasi, siswa tersebut mampu merumuskan berbagai opsi solusi dari permasalahan yang ada menggunakan berbagai disiplin ilmu yang dipelajarinya di sekolah. 

Mewujudkan kemampuan dimaksud tentu tidak bisa dengan tatap muka lalu berteori di kelas, melainkan harus dibuat program riil siswa yang langsung bersentuhan dengan permasalahan yang dialami masyarakat ataupun program mengasah kepekaan sosial siswa. Hal ini merupakan syarat mutlak tuk bisa mewujudkan rasa empati yang dimiliki siswa.

Berikutnya adalah kualitasnya dinilai secara nasional, dimana kemampuan yang dimiliki siswa berkaitan dengan kurikulum nasional. Secara kognitif maupun psikomotorik memenuhi semua tuntutan kurikulum yang diamanahkan oleh pemerintah.

Untuk mewujudkan hal ini perlu diiringi dengan proses pembelajaran yang nyaman, atraktif serta memberi ruang yang leluasa bagi siswa untuk mengembangkan dirinya, menyelesaikan berbagai persoalan dengan berbagai opsi cara tidak hanya satu langkah saja.

Terakhir siswa mampu berkiprah dalam pergaulan internasional dengan rekan-rekannya dari berbagai Negara. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan suatu program khusus yang melatih kemampuan secara global yaitu bagaimana eksis dalam dunia pergaulan internasional yang memiliki berbagai perbedaan budaya, bahasa serta adat istiadat juga norma kesopanan. 

Selain itu, meningkatkan intensitas bergaul secara internasional juga merupakan syarat mutlak bagi siswa tuk mampu berkiprah di dunia internasional. Setiap sekolah harus meluangkan fokus menangani hal ini sebagai prasyarat utama di zaman globalisasi saat ini.

Sebagai penutup tulisan ringan ini, untuk mewujudkan SDM bangsa Indonesia yang berkualitas prima maka transfer ilmu akademik saja tidak cukup, perlu adanya pengembangan diri juga tanggungjawab terhadap lingkungan sosial tempat tinggalnya dibalut dengan berbagai keterampilan hidup yang dibutuhkan di abad 21. Semua hal tersebut akan melengkapi setiap siswa dan generasi bangsa Indonesia menjadi generasi yang siap mewarnai abad 21 dan sesudahnya.

Wassalam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun