Selain itu kualitas rendah bagi warga secara umum dengan menitik beratkan kepada pengetahuan saja tanpa ada unsur keterampilan apalagi proses pengembangan diri juga kesadaran berbangsa dan bernegara. Hal ini dianggap tabu dan membahayakan keberlangsung penjajahan Belanda di Indonesia saat itu.
Ketimpangan dan diskriminasi pendidikan ini yang meresahkan para tokoh pejuang pendidikan di Indonesia untuk berbuat sesuatu bagi saudara sebangsanya. Tokoh seperti Ki Hajar Dewantara dan K.H Ahmad Dahlan yang beruntung mendapatkan pendidikan berkualitas karena tergolong keluarga ningrat keraton dan putra saudagar saat itu resah.
Mereka bertekad untuk mencerdaskan bangsa dengan kualitas pendidikan unggul untuk menjadikan Sumber Daya Manusia Indonesia yang lebih berkualitas. Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya menekankan selain pengetahuan juga keterampilan dalam suasana belajar yang menyenangkan sehingga suasana belajar di kelas-kelas itu layaknya berada di Taman, menyenangkan dan membuat semua orang bahagia dan ingin terus merasakan suasananya.Â
Taman Siswa terus berkembang dan eksis sampai saat ini dengan sebuah pertanyaan, sudahkah cita-cita pendirinya ingin membuat sekolah dengan suasana belajar seperti di taman-taman itu benar-benar terwujud saat ini?Â
Kita harus menyiapkan banyak waktu tuk mengukurnya. Pejuang pendidikan lainnya adalah K.H Ahmad Dahlan pendiri organisasi masyarakat Muhammadiyyah yang sangat peduli dengan rasa berbangsa dan bernegara warga Indonesia tuk lebih sadar bahwa penjajahan harus diakhiri, kesadaran itu bisa dibangun dari sisi pendidikan, sehingga sekolah di Muhammadiyyah tidak hanya pengetahuan yang dibangun melainkan mental juga kesadaran berbangsa dengan program Hizbul Wathonnya yang senafas dengan Scout yang digagas oleh Lord Baden Powel di daratan eropa saat itu.Â
Gerakan K.H Ahmad Dahlan ini sangat fenomenal dan revolusioner di masa itu di jalur pendidikan yang bisa menjadi jalan perjuangan. Muhammadiyyah pun eksis sampai hari ini juga tergolong organisasi yang independen serta militan untuk berjuang dari sisi pendidikan, kesehatan juga kesejahteraan masyarakat, semua berawal dari tekad kuat bapak pejuang pendidikan yaitu K.H Ahmad Dahlan.
Selepas kemerdekaan maka arah pendidikan Indonesia jadi kurang terarah dan cenderung tidak mendapat porsi yang utama. Hal ini bisa dianggap wajar saat itu dikarenakan suasana berbangsa yang walaupun sudah merdeka namun tetap belum sepenuhnya damai dan membangun semua aspeknya.Â
Pihak Belanda selaku penjajah yang tidak rela begitu saja kehilangan wilayah jajahannya terus merongrong bangsa Indonesia dengan berbagai serangan militernya, hal ini berdampak pada pembangunan fisik bangsa Indonesia terbengkalai apalagi pembangunan Sumber Daya Manusianya berupa pendidikan.Â
Ironisnya pasca suasana yang lebih damai dengan pengakuan kedaulatan Indonesia dari dunia internasional dan ditandatanganinya perjanjian damai, arah dan tujuan bahkan kualitas pendidikan Indonesia juga tidak berubah, tidak tau hendak kemana yang akan dituju, semua serba gamang dan tidak tetap. Semua ditentukan oleh sang pejabat yang mengurusi bidang pendidikannya, sang pejabat berubah kebijakan pun akhirnya berubah pula.Â
Tidak ada suatu kesinambungan program maupun tujuan pendidikan nasional seperti para pendahulu di masa penjajahan yang serba sulit. Dilema ini yang selalu menyertai pendidikan di Indonesia sampai saat ini.Â
Tentu saja hal ini harus dicari ujung pangkalnya dan segera ditemukan solusinya agar pendidikan di Indonesia terarah pada pokok masalah yang ingin dijawabnya, menjadikan SDM bangsa Indonesia yang berkualitas dunia menjawab semua permasalahan bangsa yang ada dengan dasar ketaqwaan juga akhlak mulia, itu saja cukup rasanya menurut saya dijadikan tujuan dan arah pendidikan nasional, namun entah menurut anda.