Mark menunjuk pada kebijakan yang membedakan tiga kelompok ras: Eropa - termasuk Belanda - Orang Timur Asing dan Pribumi. Kelompok pertama berada di puncak tangga kolonial, yang terakhir di bawah. Orang Indo-Belanda keturunan campuran yang dianggap cukup beradab berhak atas status Eropa.
Akibatnya, mereka seringkali tidak mau tahu tentang kerabat Indonesia mereka di kampung-kampung. "Kebijakan rasial ini menciptakan banyak permusuhan di koloni," kata Mark. "Tidak diragukan lagi, Jepang telah melakukan yang terbaik untuk mengingatkan penduduk Indonesia tentang ketidakadilan yang dilakukan Belanda. Ketakutan akan rekolonisasi juga berperan.Â
Sejarawan Kanada Su Lin Lewis mengatakan bahwa Sukarno adalah seorang pemimpin revolusioner, seperti yang terjadi di Afrika dan Asia pada 1940-an dan 1950-an. "Dia benar-benar termasuk dalam jajaran Presiden Mesir Nassar dan Perdana Menteri India Nehru," kata Lewis, yang meneliti jaringan Afrika-Asia pada 1950-an.
"Selama periode itu banyak terjadi kontak antar pemimpin dari dua benua ini. Puncaknya adalah Konferensi Bandung 1955. Para kepala negara yang berkumpul di sini memberontak melawan kekuasaan kolonial. Dengan konferensi ini mereka menunjukkan bahwa batang warna yang masih kaku di bawah pemerintahan kolonial kini telah dipatahkan. Momen istimewa, dengan tuan rumah Soekarno sebagai pusatnya. "
Pekerjaan Sukarno belum selesai walaupun sudah mendapat pengakuan Belanda di akhir tahun 1949. Karena Sukarno melihat Belanda masih memiliki Papua. Dalam gagasan Sukarno tentang persatuan nasional, daerah ini juga milik Indonesia. Pada awal 1950-an, klaim ini diperkuat melalui jalur diplomatik, kemudian tekanan meningkat dan bahkan konfrontasi militer.Â
 Atas desakan AS khususnya, Belanda akhirnya menyerahkan Papua pada tahun 1962 kepada Indonesia. Negara ini resmi membentang dari Sabang, di ujung paling barat laut Sumatera, hingga Merauke, di tenggara Papua. Sukarno telah mencapai tujuan akhirnya.
Bagi orang Belanda Sukarno menekan dan menjajah Orang Papua, juga tidak melihatnya sebagai pembebas. Dan hal ini semakin membuatnya tidak disukai. Perasaan permusuhan terhadap Sukarno mungkin bisa dijelaskan dengan perlunya kambing hitam. Sebuah personifikasi dari musuh - musuh yang harus membenarkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda dalam dua aksi militer di Indonesia pada periode 1945-1950.
Banyak pemuda Belanda yang terpancing berperang untuk membebaskan Hindia Belanda dari Jepang yang fasis. Tetapi ketika mereka tiba, tidak ada satu orang Jepang pun yang menghalangi jalan mereka. Sebaliknya, yang ada orang Indonesia yang nasionalis yang meradang oleh pidato Soekarno.
Pemerintah Belanda menutup mata terhadap perkembangan politik yang telah terjadi di luar pendudukan Jepang. Jepang disejajarkan dengan Nazi di Eropa - keduanya kalah perang. Namun bagi para pemimpin gerakan kemerdekaan di Indonesia, termasuk Sukarno, hilangnya Jepang merupakan kesempatan untuk mendirikan negara merdeka, bebas dari penjajahan oleh negara lain, termasuk Belanda.
Sementara itu, pemerintah Belanda berharap dapat mengembalikan kekuasaannya di Hindia Belanda seperti sebelum pendudukan Jepang. Kita semua tahu bahwa upaya naif untuk rekolonisasi ini sia-sia.Â
Dimulai pada saat proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dan berakhir pada penyerahan Papua pada 1962. Belanda menarik diri dari Indonesia dengan beban sejarah yang tak tertahankan di pundaknya. Sukarno, menjadi wajah dari beban itu. Semua gara-gara Sukarno.