"Eh...tapi pernah ding! Ada pejabat yang masuk ke sana!", jawaban saya membuatnya antusias.
"Oh ya? Sinten punika, bu?!" (bahasa Jawa: Siapa itu?)
"SBY!"
"SBY..???", ekspresi tanyanya ragu campur kagum.
"Inggih...SBY..waktu itu beliau baru kabar-kabar konflik dengan bu Mega. Kami kebetulan sedang ada event pertemuan seluruh Badan Pembudaya Nilai-nilai Kejuangan Bangsa se Jatim. Saya ingat, saya sendiri yang membuat proposal untuk kehadiran beliau di gedung. Saya sendiri yang jadi MC dalam acara itu..."
"Wuuaah...ibu hebat!", kedengarannya memuji.
"Saya ndak nyangka proposal saya itu 'laku' dan ndak nyangka pula bahwa Jenderal itu mau datang memenuhi undangan kami. Rasanyaa...campur aduk...! Seneng, bangga… wis ndak tahulah pak, rasanya nda bisa diceritakan…", ceritaku mendramatisir perasaanku yang aslinya biasa saja.
"Waah.....ck..ck...ck...", decak pak taksi makin kagum.
"Tapii...ada satu hal yang sampai sekarang kalau saya ingat, saya masih merasa menyesal..."
"Punapa punika, bu?", tanyanya penasaran. (Apa itu, bu?)
"Pak Basyir...saya kelupaan memanggil beliau untuk memimpin doa akhir. Padahal beliau sudah sangat siap. Saking penuhnya Gedung Juang waktu itu, saya dan teman-teman panitia tidak bisa mengendalikan. Begitu banyak wartawan masuk untuk meliput. Semuanya tidak sabar menunggu acara berakhir. Sebenarnya setelah SBY pidato, harusnya kembali duduk ke tempat dan masih ada beberapa acara lain termasuk doa...tapi tidak bisa terealisasi. Para wartawan itu..langsung menyerbu ke bawah panggung dan mewawancarai SBY. Diluar dugaan kami, para wartawan itu seperti tawon, mencecar SBY soal pencalonan presiden...yaa..akhirnya acara berakhir tanpa penutupan resmi...Saya nyeselnya minta ampuuun...pasti pak Basyir sudah siap banget memimpin doanya...tapi yaa..mau gimana...".