Keheningan diperlukan untuk mengetahui apakah dalam pikiran saya ada sampah atau tidak. Â Tanda-tanda dari adanya sampah dalam pikiran saya adalah, adanya gap antara pikiran, kata-kata dan perbuatan saya. Artinya, apa yang saya pikirkan beda dengan apa yang saya katakan, dan apa yang saya katakan, beda lagi dengan apa yang saya lakukan. Inilah pertanda adanya sampah. Dari manakah datangnya sampah-sampah tersebut?
Sampah pikiran terdiri dari pikiran sia-sia dan pikiran negatif.Â
Pikiran sia-sia datang dari berbagai informasi tentang (a) peristiwa-peristiwa yang sudah tertadi dan saya tidak mampu "membubuh titik" atas itu. Saya terus menerus memikirkan dan membicarakannya hingga sekarang, dan (b) pikiran tentang masa depan yang saya tidak pernah tahu kejelasannya. Saya mencemaskan dan mengkhawatirkan masa depan. Sedangkan pikiran negatif datang dari kecurigaan dan prasangka jelek terhadap sesuatu, situasi atau jiwa lain.
Ini semua adalah sampah atau racun. Ini menghalangi ingatan saya kepada pesan  Tuhan. Sampah pikiran saya menggagalkan upaya saya untuk menjadi perwujudan dari firman Tuhan yang disampaikan dalam setiap kitab suci. Misalnya saja tentang pesan bahwa bahwa setiap jiwa adalah anak ruhani dari satu Ayah Ruhani dan oleh karenanya, semua jiwa adalah bersaudara. Pelajaran tentang persaudaraan ini merupakan pelajaran yang pokok dan tersulit.
Padahal zaman keemasan, zaman yang diimpi-impikan oleh setiap jiwa itu, adalah, zaman ketika jiwa-jiwa berada dalam satu daratan dan hidup dalam persaudaraan dan kekeluargaan yang tentram, damai dan bahagia. Itu adalah sistem di sana.
Bagaimana saya mau masuk/pulang kembali ke sana, tanpa terlebih dahulu belajar sistem kehidupan yang berlangsung di sana? Impossible.
Terimakasih sudah membaca. Salam hormat dan semoga seluruh dunia bergerak mencapai kedamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H