Padahal, semua minyak goreng bakal berdampak buruk jika digunakan BERKALI-KALI. Biarpun bahan bakunya diambil dari tanaman paling sehat sekalipun, semua konsumsi yang berlebihan tidak baik untuk kesehatan.
Narasi ajakan gaya hidup sehat dengan mengganti minyak goreng pun tak jauh berbeda. Olive oil diklaim menyehatkan dan tidak bikin badan melar. Padahal kalau dilihat di bagian belakang kemasan, tertera informasi gizi yang menyebutkan besaran kalori dalam satu sendok olive oil dan minyak goreng kelapa sawit sama-sama seribuan kalori. Lantas kenapa olive oil tidak dimusuhi?
Karena itulah tujuan kampanye hitam yang digencarkan Uni Eropa. Menjatuhkan citra minyak kelapa sawit agar penjualannya menurun secara bertahap. Jangan salah, stigma yang melekat di benak konsumen itu tak bakal hilang dalam sekejap, lho. Apalagi jika ada legitimasi dari para pakar medis, biarpun patut diragukan pula keabsahannya. Generasi berikutnya bakal diajarkan untuk tidak menggunakan minyak kelapa sawit, dan menggantinya dengan minyak nabati lain.
Kampanye hitam ini dibarengi dengan penerbitan regulasi yang menghambat ekspor CPO. Lagi-lagi Uni Eropa, adalah salah satu yang paling getol. Alasannya macam-macam. Ada yang bilang demi kelangsungan kelestarian alam, lantas menuntut produsen CPO agar mengikuti sertifikat yang dibuat oleh beberapa pihak. Namun sedikit yang berani terang-terangan mengakui bahwa impor CPO bakal berimbas pada penjualan minyak rapeseed produksi dalam negeri.
Terkait isu lingkungan hidup, kita tak perlu menyangkal. Memang ada beberapa perusahaan terkena masalah pengolahan lahan. Siapa pun yang sengaja membakar lahan gambut demi membuka perkebunan memang harus dihukum setimpal. Pembukaan lahan harus dilakukan dengan pengawasan ketat.
Demikian pula dengan jumlah luasan lahan yang boleh dibuka. Pemerintah daerah harus tega mematok batasan sampai seluas apa hutan boleh dibabat. Sekaligus menentukan jenis hutan mana yang boleh dialihfungsikan menjadi perkebunan. Jangan keburu silau membayangkan keuntungan. Pemerintah pusat pun harus berani menindak kepala daerah yang tak peduli lingkungan.
Namun ini dimanfaatkan untuk memperburuk citra perkebunan kelapa sawit. NGO internasional ikut ambil alih menyebarkan laporan komprehensif ihwal deforestasi Indonesia. Seraya gencar menyebarkan narasi ancaman terhadap satwa langka dilindungi: orang utan.
Padahal jika dihitung, deforestasi terparah terjadi di negara-negara produsen minyak kedelai. Untuk produksi 1 ton, kelapa sawit membuka lahan seluas 0,26 Ha. Sedangkan 1 ton rapeseed membutuhkan lahan 1,25 Ha, dan 1 ton kedelai membutuhkan 2 Ha. Hingga 2016, perluasan lahan sawit hanya sekitar 20,23 juta Ha, sedangkan lahan kedelai mencapai 121 juta Ha. Bukankah seharusnya pemilik lahan kedelai dilabeli penjahat lingkuhan?
INDONESIA MELAWAN
Tentu saja Indonesia tidak diam saja usai diperlakukan seenaknya oleh Uni Eropa. Meskipun tengah menjajaki kerja sama komprehensif, pemerintah tetap melayangkan protes sebagai bentuk perlawanan. Bahkan mengancam balik akan menyetop impor beberapa produk yang didatangkan dari negara mitra (yang menghambat ekspor CPO).
Perlawanan ini dilakukan di semua lini, melibatkan banyak menteri. Dari sisi perdagangan, Mendag Enggartiasto Lukita terang-terangan mengancam akan menghentikan impor ikan salmon dari Norwegia, yang beberapa waktu lalu melayangkan wacana pelarangan pengadaan biodiesel berbahan dasar kelapa sawit melalui parlemen. Ancaman serupa juga dilayangkan langsung kepada Uni Eropa secara keseluruhan. Subjek yang menjadi sumber ancaman kali ini adalah Airbus, pesawat yang diproduksi Eropa.