Setiap isu perkebunan kelapa sawit menyeruak ke permukaan, hampir semua orang berpendapat sama: bahwa sektor tersebut adalah perusak hutan, sekaligus penghancur paru-paru dunia. Pelaku usahanya adalah penjahat alam terkeji, urutan kedua setelah pemilik pertambangan batu bara.
Stigma itu tumbuh kian subur beberapa tahun belakangan, dan puncak kesahihan atasnya muncul ketika Indonesia diselimuti kabut asap akibat kebakaran lahan dan hutan. Ingat, kan, bagaimana penduduk Sumatera dan sekitarnya nyaris tak melihat sinar terik matahari selama beberapa minggu? Cuaca seakan mendung, namun dengan hawa panas.
Pandangan negatif tersebut tidak sepenuhnya salah, namun juga tak sepenuhnya benar. Mari menelaah sektor perkebunan sawit secara objektif. Kita amati satu per satu apa nilai lebih dan kurangnya.
SALAH SATU KOMODITAS EKSPOR ANDALAN
Minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil) adalah salah satu komoditas yang paling banyak diekspor. Maka wajar saja CPO dilabeli sebagai produk andalan. Artinya jika dihitung secara nasional, kontribusi nilai dan volume pengirimannya sangat diandalkan untuk menjaga, bahkan meningkatkan laju pertumbuhan ekspor.
Dengan demikian, CPO punya kontribusi besar dalam perolehan devisa negara. Pada Mei 2019, BPS mencatat peningkatan ekspor produk industri pengolahan sebesar 12,40%, disumbang oleh peningkatan ekspor CPO. Nilai ekspor produk kategori lemak dan minyak hewani/nabati pun meningkat US$178 juta secara month to month, atau setara 14,97%.
Selain menopang neraca perdagangan, perkebunan kelapa sawit pun berkontribusi pada tingkat kesejahteraan masyarakat setempat. Tidak percaya? Begini, sampai akhir 2018 Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian mencatat luasan kebun sawit mencapai 14,3 juta Ha. Terdiri dari perkebunan rakyat seluas 5,8 juta Ha, Perkebunan Besar Swasta (PBS) seluas 7,78 juta Ha, dan Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 713.121 Ha.
Perkebunan rakyat terbagi dalam dua kategori, yakni kebun milik petani mandiri dan petani plasma yang luasnya sekitar 617.000 Ha. Melalui Permentan No. 26/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, PBN dan PBS wajib membangun kebun plasma sekitar 20% dari total konsesi yang dimiliki.
Dalam hal ini, pemilik konsesi perkebunan harus membangun kebun milik masyarakat. Mengelola kebun-kebun tersebut hingga menghasilkan tandan buah segar. Mulai dari menyediakan bibit, pekerja, bahkan membina para petani. Kemudian ketika panen, hasilnya wajib dibeli oleh PBN dan PBS.
Bagaimana dengan biaya pengembangan kebun plasma? PBS dan PBN menyediakan skema kredit, petani dapat mengganti seluruh biaya pengembangan dengan mencicil hingga lunas. Dengan demikian tak ada yang dirugikan. Baik PBS/PBN dan petani plasma sama-sama diuntungkan.
Kenapa bukan PBS/PBN saja yang menanggung semua biaya pengembangan kebun plasma, tanpa mengharuskan petani mengganti? Ya, bisa saja sebetulnya. Tapi apakah adil bagi semua pihak? Skema kemitraan, kan, tidak boleh merugikan salah satu pihak. Lagipula, program ini memang bertujuan untuk membina agar petani dapat mengelola kebunnya secara mandiri.
MINYAK NABATI PALING LARIS DI DUNIA
Minyak goreng berbahan dasar kelapa sawit bukanlah satu-satunya minyak nabati yang dikonsumsi penduduk dunia. Ada minyak kedelai, rapeseed, bunga matahari, kacang, biji kapas, kelapa, zaitun, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, manakah yang paling banyak dikonsumsi?
Tentu saja minyak kelapa sawit!
Pada 2017-2018, tingkat konsumsi minyak kelapa sawit dunia mencapai 65,15 juta metrik ton. Urutan kedua ditempati minyak kedelai sebanyak 54,59 juta metrik ton, disusul oleh minyak rapeseed sebanyak 28,65 juta metrik ton. Prediksi angka tingkat konsumsi pada 2018-2019 pun tidak beda jauh dengan periode sebelumnya. Malah diperkirakan bakal meningkat.
Lalu negara mana saja yang memproduksi minyak nabati?
Untuk kelapa sawit, pada periode 2017-2018 Indonesia adalah produsen terbesar di dunia dengan jumlah produksi 39,50 juta metrik ton (US$497,78/ton). Disusul Malaysia sebanyak 19,68 juta metrik ton, lalu Thailand sebanyak 2,70 juta metrik ton.
Sedangkan untuk minyak kedelai, produsen terbesar adalah Brasil dengan jumlah 120,80 juta metrik ton (US$772,28/ton), disusul Amerika Serikat sebanyak 120,07 juta metrik ton, Argentina 37,80 juta metrik ton, dan China 15,20 juta metrik ton.
Minyak nabati terlaris urutan ketiga, rapeseed, diproduksi paling banyak di Uni Eropa dengan jumlah 22,15 juta metrik ton (US$830,44/ton). Disusul Kanada sebanyak 21,33 juta metrik ton dan China 13,27 juta metrik ton.
Dari angka-angka di atas, kita boleh menarik kesimpulan bahwa minyak kelapa sawit paling banyak dikonsumsi karena harganya yang murah. Harga minyak rapeseed dibanderol nyaris dua kali lipat dari harga minyak kelapa sawit. Sehingga wajar saja jika tingkat konsumsi rapeseed tak sampai separuh dari total konsumsi minyak kelapa sawit.
Nah, sudah berapa kali kita membaca berita-berita negatif tentang minyak kelapa sawit yang dilaporkan oleh media massa dalam dan luar negeri? Tak terhingga. Dengan angle bervariasi pula. Mulai dari isu lingkungan hidup, konflik sosial, hingga kesehatan.
Pasti sering, kan, membaca dampak negatif konsumsi makanan berminyak dalam jangka panjang? Saat membaca ulasan medis ihwal ini, satu hal yang pasti terjadi adalah: konsumen mengganti minyak goreng kelapa sawit dengan olive oil atau mengurangi konsumsi makanan berminyak.
Padahal, semua minyak goreng bakal berdampak buruk jika digunakan BERKALI-KALI. Biarpun bahan bakunya diambil dari tanaman paling sehat sekalipun, semua konsumsi yang berlebihan tidak baik untuk kesehatan.
Narasi ajakan gaya hidup sehat dengan mengganti minyak goreng pun tak jauh berbeda. Olive oil diklaim menyehatkan dan tidak bikin badan melar. Padahal kalau dilihat di bagian belakang kemasan, tertera informasi gizi yang menyebutkan besaran kalori dalam satu sendok olive oil dan minyak goreng kelapa sawit sama-sama seribuan kalori. Lantas kenapa olive oil tidak dimusuhi?
Karena itulah tujuan kampanye hitam yang digencarkan Uni Eropa. Menjatuhkan citra minyak kelapa sawit agar penjualannya menurun secara bertahap. Jangan salah, stigma yang melekat di benak konsumen itu tak bakal hilang dalam sekejap, lho. Apalagi jika ada legitimasi dari para pakar medis, biarpun patut diragukan pula keabsahannya. Generasi berikutnya bakal diajarkan untuk tidak menggunakan minyak kelapa sawit, dan menggantinya dengan minyak nabati lain.
Kampanye hitam ini dibarengi dengan penerbitan regulasi yang menghambat ekspor CPO. Lagi-lagi Uni Eropa, adalah salah satu yang paling getol. Alasannya macam-macam. Ada yang bilang demi kelangsungan kelestarian alam, lantas menuntut produsen CPO agar mengikuti sertifikat yang dibuat oleh beberapa pihak. Namun sedikit yang berani terang-terangan mengakui bahwa impor CPO bakal berimbas pada penjualan minyak rapeseed produksi dalam negeri.
Terkait isu lingkungan hidup, kita tak perlu menyangkal. Memang ada beberapa perusahaan terkena masalah pengolahan lahan. Siapa pun yang sengaja membakar lahan gambut demi membuka perkebunan memang harus dihukum setimpal. Pembukaan lahan harus dilakukan dengan pengawasan ketat.
Demikian pula dengan jumlah luasan lahan yang boleh dibuka. Pemerintah daerah harus tega mematok batasan sampai seluas apa hutan boleh dibabat. Sekaligus menentukan jenis hutan mana yang boleh dialihfungsikan menjadi perkebunan. Jangan keburu silau membayangkan keuntungan. Pemerintah pusat pun harus berani menindak kepala daerah yang tak peduli lingkungan.
Namun ini dimanfaatkan untuk memperburuk citra perkebunan kelapa sawit. NGO internasional ikut ambil alih menyebarkan laporan komprehensif ihwal deforestasi Indonesia. Seraya gencar menyebarkan narasi ancaman terhadap satwa langka dilindungi: orang utan.
Padahal jika dihitung, deforestasi terparah terjadi di negara-negara produsen minyak kedelai. Untuk produksi 1 ton, kelapa sawit membuka lahan seluas 0,26 Ha. Sedangkan 1 ton rapeseed membutuhkan lahan 1,25 Ha, dan 1 ton kedelai membutuhkan 2 Ha. Hingga 2016, perluasan lahan sawit hanya sekitar 20,23 juta Ha, sedangkan lahan kedelai mencapai 121 juta Ha. Bukankah seharusnya pemilik lahan kedelai dilabeli penjahat lingkuhan?
INDONESIA MELAWAN
Tentu saja Indonesia tidak diam saja usai diperlakukan seenaknya oleh Uni Eropa. Meskipun tengah menjajaki kerja sama komprehensif, pemerintah tetap melayangkan protes sebagai bentuk perlawanan. Bahkan mengancam balik akan menyetop impor beberapa produk yang didatangkan dari negara mitra (yang menghambat ekspor CPO).
Perlawanan ini dilakukan di semua lini, melibatkan banyak menteri. Dari sisi perdagangan, Mendag Enggartiasto Lukita terang-terangan mengancam akan menghentikan impor ikan salmon dari Norwegia, yang beberapa waktu lalu melayangkan wacana pelarangan pengadaan biodiesel berbahan dasar kelapa sawit melalui parlemen. Ancaman serupa juga dilayangkan langsung kepada Uni Eropa secara keseluruhan. Subjek yang menjadi sumber ancaman kali ini adalah Airbus, pesawat yang diproduksi Eropa.
"Saya juga bisa bilang naik Airbus bikin sakit. Tinggal saya cari-cari saja celahnya untuk dilakukan penelitian. Nanti silakan mereka membuktikan bahwa pesawatnya aman, seperti kita membuktikan minyak kelapa sawit tidak berbahaya bagi kesehatan," kira-kira begitu ucapan Enggar.
Tak cukup dengan ancaman boikot, Indonesia juga menempuh jalur diplomasi secara bilateral maupun multilateral. Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengusulkan uji ilmiah komprehensif dengan adil. Sudah jadi rahasia umum, penelitian yang menyebutkan dampak negatif minyak kelapa sawit dilakukan oleh negara-negara Eropa. Tidak mengherankan jika minyak rapeseed dan kedelai diklaim lebih sehat.
"Jadi pemerintah menolak apa yang sedang mau dilegalkan melalui delegated itu, karena menurut kita itu adalah tindakan yang diskriminatif. Kalau mau diuji ya mari kita uji secara keseluruhan," demikian kata Darmin.
Indonesia pun bakal membawa perkara diskriminasi ini ke hadapan WTO. Delegasi akan menuntut keadilan sikap, mengapa minyak kedelai dianggap low risk sedangkan minyak kelapa sawit high risk? Padahal dari sisi pengrusakan lingkungan, perkebunan kedelai memakan lahan lebih luas dibanding kelapa sawit.
Langkah lain yang mungkin bakal adalah menunda kemitraan dengan Uni Eropa. Saat ini, Indonesia-EU CEPA tengah dirundingkan secara intensif. Bila perkara kampanye hitam ini tak juga mencapai titik temu, hubungan kedua pihak terancam kian memanas. Apalagi Uni Eropa bersikukuh bakal menurunkan penggunaan bahan bakar berbasis CPO.
Membingungkan sekali, ya? Digunakan untuk minyak goreng, salah. Sudah dialihfungsikan sebagai bahan bakar energi terbarukan pun, tetap salah jua.
Pastinya, Indonesia tak bakal tinggal diam. Perkebunan kelapa sawit bukan industri kecil. Jika digabungkan dalam satu rantai pasokan besar, jutaan orang terlibat di dalamnya sebagai pekerja. Jutaan lainnya bergantung secara tidak langsung pada rantai pasokan tersebut sebagai sumber penghidupan.
Maka wajar saja pemerintah selalu marah-marah saat membahas kampanye hitam kelapa sawit. Sebab berkaitan langsung dengan kesejahteraan hidup orang banyak. Juga keamanan sumber perolehan devisa negara.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H