Oleh: Ariansyah, Mahasiswa Magister Pendidikan Sains UNDIKMA.
Pendahuluan
Etnosains, berasal dari bahasa Yunani "ethnos" yang berarti "bangsa" dan "scientia" yang berarti "pengetahuan," adalah studi tentang pengetahuan ilmiah lokal atau pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat tertentu. Pengetahuan ini dapat mencakup berbagai aspek lingkungan alam, seperti tumbuhan, hewan, dan fenomena alam, serta bagaimana pengetahuan ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Etnozoologi merupakan bagian dari etnosains yang mempelajari hubungan antara manusia dan hewan. Etnozoologi adalah bidang interdisipliner yang mempelajari hubungan antara manusia dan hewan, dengan fokus pada bagaimana hewan digunakan, dipahami, dan direpresentasikan dalam berbagai budaya. Etnozoologi memanfaatkan berbagai disiplin ilmu, termasuk antropologi, biologi, ekologi, linguistik, dan sosiologi, untuk mengeksplorasi cara-cara kompleks dan beragam dimana manusia berinteraksi dengan hewan.
Salah satu contoh kajian etnozoologi yang menarik adalah budaya pemeliharaan kuda di masyarakat kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Kuda Bima, yang dalam bahasa setempat disebut jara, adalah jenis kuda yang memiliki ciri khas tubuh yang kecil, kuat, tahan segala medan, dan mudah dijinakkan. Kuda Bima memiliki peran penting dalam sejarah, budaya, dan ekonomi masyarakat Bima.
Sejarah Kuda Bima
Kuda Bima sudah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit pada abad ke-12 Masehi. Kuda Bima dibeli dan dijadikan kuda perang dan kuda pekerja oleh berbagai wilayah kerajaan di Nusantara. Bahkan, pada zaman kekhalifahan Utsmaniyah, kuda Bima menjadi komoditas ekspor yang diperdagangkan sampai ke Istanbul, Turki, pusat khalifah Islam Utsmaniyah.
Kuda Bima juga berkaitan erat dengan penyebaran Islam di wilayah Bima. Para penyebar Islam datang ke daerah tersebut bersama pasukan berkuda pada abad ke-17 Masehi. Sejak itu, kuda menjadi simbol keagamaan dan kebudayaan bagi masyarakat Bima.
Pada zaman kolonial Belanda, kuda Bima mulai digunakan untuk pacuan kuda, yang disebut Pacoa Jara. Pacuan kuda ini pertama kali diadakan pada tahun 1927 untuk merayakan hari kelahiran Ratu Wilhelmina. Sejak itu, pacuan kuda menjadi tradisi dan hiburan bagi masyarakat Bima dan Sumbawa.
Budaya Seputar Kuda Bima
Masyarakat Bima memiliki budaya pemeliharaan kuda yang unik dan khas. Kuda Bima biasanya diternakkan liar di alam terbuka, namun untuk tujuan tertentu akan dikandangkan di bawah kolong rumah panggung atau halaman rumah.
Masyarakat Bima memelihara kuda di alam terbuka karena adanya pemahaman bahwa kuda bisa lebih sehat, kuat, dan punya daya tahan yang tinggi jika dibiarkan berkeliaran di alam bebas. Kuda yang diternakkan liar di alam terbuka biasanya akan digunakan untuk pacuan kuda, yang merupakan tradisi dan hiburan bagi masyarakat Bima. Kuda yang diternakkan liar di alam terbuka juga lebih mudah beradaptasi dengan berbagai medan dan cuaca.
Kebiasaan masyarakat Bima memelihara kuda di dalam kandang bertujuan untuk melindungi kuda dari ancaman penyakit, pencurian, atau perburuan. Kuda yang dikandangkan di bawah kolong rumah panggung atau halaman rumah biasanya digunakan untuk transportasi, hewan peliharaan, atau sumber susu. Kuda yang dikandangkan di dalam kandang juga lebih mudah dijinakkan, dirawat, dan diperah.
Masyarakat Bima juga mempunyai kebiasaan pemberian nama pada kuda. Kuda Bima biasa diberi nama-nama yang khas, seperti Nasi Monca, Raja Bolo, Sari Bunga, dan lain sebagainya. Memiliki kuda Bima merupakan simbol kemapanan dan kebanggaan bagi keluarga pemiliknya.
Pemanfaatan Kuda Bima
Kuda Bima juga memiliki peran sosial dan ekonomis bagi masyarakat Bima. Kuda Bima digunakan sebagai sarana transportasi, baik untuk menarik gerobak barang, hasil pertanian, maupun manusia. Kuda Bima juga dijadikan sebagai hewan peliharaan, kuda tunggangan, dan kuda pacuan. Bentuk lain dari pemanfaatan kuda bima adalah sebagai penghasil susu kuda bima.
Transportasi
Kuda Bima digunakan sebagai alat transportasi tradisional yang dapat menarik gerobak barang, hasil pertanian, maupun manusia. Kuda Bima memiliki keunggulan dibandingkan kendaraan bermotor, yaitu lebih hemat biaya, lebih ramah lingkungan, dan lebih mudah melintasi medan yang sulit. Kuda Bima juga menjadi salah satu daya tarik wisata bagi para pengunjung yang ingin merasakan sensasi berkendara dengan kuda.
Salah satu alat transportasi lokal yang menggunakan kuda Bima sebagai tenaga penarik adalah Benhur (baca: Benhu). Benhur juga dapat dijadikan sebagai alat rekreasi, baik untuk berkeliling desa/kota, maupun untuk mengunjungi tempat wisata.
Pacuan Kuda
Masyarakat Bima memiliki ajang budaya pacuan kuda yang unik dan khas. Pacuan kuda umumnya diadakan dalam rangka hari-hari besar, seperti Idul Fitri, Idul Adha,Maulid Nabi, atau dalam rangka memperingati hari-hari bersejarah lainnya. Pacuan kuda menjadi ajang silaturahmi dan persaudaraan, serta mengandung makna filosofi yang tinggi bagi derajat kedudukan sosial seseorang di tengah masyarakat Bima seperti simbol keberanian, kehormatan, dan kewibawaan.
Pacuan kuda di Bima juga memiliki ciri khas yaitu joki atau penunggang kuda biasanya merupakan anak-anak dengan usia 6-10 tahun tanpa menggunakan pelana. Joki cilik ini dipilih karena dianggap lebih ringan dan lebih gesit dalam mengendalikan kuda. Joki cilik ini juga mendapatkan pelatihan dan bimbingan dari orang tua atau kerabatnya yang berpengalaman dalam berkuda. Joki cilik ini juga mendapatkan imbalan berupa uang, hadiah, atau prestise dari pemilik kuda.
Pacuan kuda di Bima juga telah diakui sebagai salah satu warisan budaya tak-benda Indonesia sejak tahun 2016. Pacuan kuda di Bima telah menjadi salah satu daya tarik wisata dan sumber pendapatan bagi masyarakat Bima. Disamping itu pacuan kuda merupakan upaya untuk melestarikan budaya yang merupakan salah satu warisan budaya leluhur Dana Mbojo.
Upacara Adat
Upacara adat Hanta Ua Pua masyarakat Bima adalah upacara adat yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Upacara ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 2017.
Dalam konteks penggunaan kuda, upacara adat Hanta Ua Pua memiliki beberapa hal yang menarik untuk dibahas:
- Kuda digunakan sebagai alat transportasi dalam iring-iringan Uma Lige. Uma Lige adalah sebuah miniatur rumah adat Bima yang terbuat dari kayu dan anyaman bambu. Uma Lige diusung oleh 44 orang pria yang mewakili 44 suku di Bima. Iring-iringan Uma Lige diiringi oleh tabuhan musik tradisional Bima, seperti gendang, gong, dan serunai. Kuda yang digunakan dalam iring-iringan Uma Lige biasanya adalah kuda-kuda yang kuat dan tangguh. Kuda-kuda ini dihiasi dengan pernak-pernik dan hiasan tradisional Bima. Iring-iringan Uma Lige yang dihiasi dengan kuda-kuda ini menjadi salah satu daya tarik utama dari upacara adat Hanta Ua Pua.
- Kuda digunakan sebagai sarana penyampaian pesan dalam upacara adat Hanta Ua Pua. Dalam upacara ini, kuda-kuda akan dihiasi dengan bendera-bendera dan simbol-simbol keagamaan. Bendera-bendera dan simbol-simbol keagamaan ini melambangkan pesan perdamaian dan persatuan yang ingin disampaikan oleh masyarakat Bima.
- Kuda memiliki makna simbolis yang penting dalam upacara adat Hanta Ua Pua. Kuda melambangkan kekuatan, kesetiaan, dan keberanian. Kuda juga melambangkan simbol perjuangan dan persatuan masyarakat Bima.
Susu Kuda
Selain sebagai hewan ternak dan pacuan, kuda Bima juga dimanfaatkan sebagai sumber susu yang kaya akan nutrisi. Susu kuda Bima, yang dalam bahasa setempat disebut susu jara, adalah susu yang berasal dari induk kuda yang baru melahirkan dengan umur anaknya yang satu bulan. Susu kuda Bima memiliki tampilan yang lebih putih dan rasa yang (sedikit) lebih manis daripada susu sapi. Susu kuda Bima juga memiliki zat antimikroba alami yang membuatnya tahan di suhu ruangan selama berbulan-bulan.
Susu kuda Bima diyakini secara turun-temurun memiliki berbagai manfaat bagi kesehatan tubuh, antara lain:
- Menggantikan susu sapi bagi orang yang alergi terhadap kasein, karena susu kuda Bima mengandung lebih banyak albumin yang ukurannya lebih kecil dari kasein dan jarang menimbulkan alergi. Susu kuda Bima juga memiliki kandungan protein whey dan asam amino yang lebih tinggi daripada susu sapi.
- Mengandung nutrisi yang mirip dengan ASI, karena susu kuda Bima secara kimia paling mendekati ASI. Kandungan protein pada susu kuda Bima hampir setara dengan ASI. Oleh karena itu, susu kuda Bima juga bisa dijadikan sebagai pilihan susu pengganti ASI.
- Melancarkan pencernaan, karena susu kuda Bima memiliki kadar air yang cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari susu sapi. Susu kuda Bima secara tradisional dikonsumsi oleh masyarakat Bima untuk mengobati gangguan pencernaan, seperti sembelit.
- Meningkatkan daya tahan tubuh, karena susu kuda Bima mengandung beta karoten, vitamin B2, vitamin B3, serta zat yang bersifat antibakteri dan antivirus. Susu kuda Bima juga membantu mengobati berbagai penyakit, seperti stroke, rematik, maag, diabetes, asam urat, tekanan darah tinggi, demam berdarah, paru-paru basah, asma, kanker, tipes, alergi makanan, TBC, anemia, migrain, tumor, kolesterol, pegal-pegal, dan lainnya.
Tantangan Ekologis Kuda Bima
Meskipun kuda Bima memiliki nilai sejarah, budaya, pemanfaatan, dan ekonomi yang tinggi, kuda Bima juga menghadapi berbagai tantangan yang mengancam keberadaannya. Salah satu tantangan utama adalah penurunan populasi kuda Bima yang signifikan. Data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Bima mencatat, pada tahun 2015 jumlah populasi kuda Bima adalah 5.464 ekor, sementara pada tahun 2018 populasi kuda Bima tinggal 3.474 ekor.
Penurunan populasi kuda Bima disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Tergesernya peran kuda Bima sebagai sarana transportasi oleh kendaraan bermotor yang lebih modern dan praktis.
- Berkurangnya lahan dan pakan yang tersedia untuk kuda Bima akibat pertumbuhan penduduk dan perubahan gaya hidup masyarakat.
- Menurunnya minat generasi muda untuk memelihara kuda Bima karena dianggap tidak menguntungkan dan merepotkan.
- Meningkatnya permintaan kuda Bima untuk dijadikan daging atau bahan baku industri kosmetik dan farmasi, baik dari dalam maupun luar negeri.
- Terjadinya penyakit dan wabah yang menyerang kuda Bima, seperti antraks, tetanus, atau rabies, yang mengakibatkan kematian atau cacat pada kuda Bima.
- Terjadinya persilangan antara kuda Bima dengan kuda luar yang mengurangi kemurnian genetik dan ciri khas kuda Bima.
Kesimpulan
- Kajian etnozoologi kuda Bima adalah kajian yang menarik dan penting untuk memahami hubungan antara manusia dan kuda Bima dalam konteks budaya, sejarah, dan lingkungan.Â
- Kuda Bima memiliki peran penting dalam sejarah, budaya, dan ekonomi masyarakat Bima. Kuda Bima digunakan sebagai alat transportasi, kuda pacuan, upacara adat, dan sumber susu yang kaya akan nutrisi.Â
- Kuda Bima menghadapi berbagai tantangan yang mengancam keberadaannya, seperti penurunan populasi, tergesernya peran, kurangnya minat generasi muda, meningkatnya permintaan daging, penyakit dan wabah, serta persilangan dengan kuda luar.Â
- Diperlukan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan para pemangku kepentingan lainnya untuk melindungi, melestarikan, dan mengembangkan kuda Bima sebagai warisan budaya dan keanekaragaman hayati Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H