Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Siapa Kita hingga Merasa Berhak Menghakimi Rasa Trauma Orang Lain?

16 Juli 2022   20:32 Diperbarui: 26 Juli 2022   17:43 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi trauma. (sumber: ake1150sb via kompas.com) 

Jika biasanya saya menuliskan pengalaman bertemu pasien entah di poli atau instalasi gawat darurat (IGD) Puskesmas.

Hari ini saya ingin sekali menulis tentang perasaan sedih saya, setelah saya selesai menyimak sebuah video podcast di kanal Youtube dua influencer Indonesia yang mengundang korban-korban dan teman-teman korban yang terlibat pada salah satu kasus pelecehan hingga kekerasan seksual di salah satu sekolah di Indonesia. 

Pada menit ke 27 di video podcast yang mengundang teman-teman dari korban kekerasan seksual, salah satu dari mereka mempertanyakan bagaimana bisa korban mengatakan bahwa ia trauma atas kekerasan seksual yang dialaminya.

Kemudian, saat di mana setelah kejadian dari tahun 2012 hingga 2021 korban memiliki pacar dan bahkan akan menikah. 

Terlepas dari benar ataupun salah atas aduan korban-korban yang mengaku mengalami kekerasan seksual, menghakimi rasa trauma orang lain tentu bukanlah hak kita. Seolah-olah orang yang mengalami rasa trauma tidak boleh bahagia seumur hidupnya. 

Tidak boleh memiliki pacar, tidak boleh menikah, dan tidak boleh melanjutkan hidupnya. Seolah-olah hal yang diperbolehkan bagi orang dengan trauma hanyalah berdiam dan mengurung diri di kamar dan harus selalu menunjukkan raut muka sedihnya. 

Korban-korban pada kasus pelecehan seksual sering kali enggan untuk langsung melaporkan kasusnya kepada pihak berwenang. 

Diperlukan waktu yang berbeda-beda oleh setiap korban untuk memupuk mental dan keberanian yang kuat untuk mengakui bahwa mereka adalah korban. 

Berbagai faktor berkontribusi sebagai alasan mengapa korban kekerasan seksual tak langsung melapor tepat setelah kejadian. 

Faktor seperti hukum di Indonesia yang sering kali dianggap cenderung tak memihak korban, tekanan sosial yang dapat saja diperoleh oleh korban setelah memberi laporan.

Masyarakat yang lebih sering menyalahkan pihak perempuan karena tak bisa menjaga diri sehingga katanya wajar jika dilecehkan, hukum di Indonesia yang memerlukan minimal dua orang saksi yang melihat kejadian pelecehan atau kekerasan, padahal kejadian tersebut selalu dilakukan tertutup. 

Mana mungkin pelaku kekerasan seksual melancarkan aksinya di depan orang-orang?

Tak bijak rasanya tak menaruh empati kepada mereka para korban kekerasan seksual. Sekali lagi terlepas dari benar atau tidaknya kasus ini.

Mari kita biarkan persidangan mengumpulkan pembelaan dan bukti-bukti dari masing-masing pihak. Jika memang tak pernah mengalami pelecehan atau kekerasan memang sulit rasanya untuk percaya. 

Terlebih saya sendiri sebagai orang yang sering kali skeptis atau meragukan hingga menyangsikan kebenaran suatu hal dengan mempertanyakan.

Hingga sekarang pun melalui video podcast yang sudah mulai banyak bertebaran, memang belum ada satupun bukti yang dibawa korban yang cukup dapat diandalkan.

Jika saya memposisikan diri saya sebagai hakim persidangan, saya pun akan bertanya-tanya apakah kejadian ini benar nyata adanya. 

Namun, berempati terhadap apa yang sejauh ini korban bisa tuturkan adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan. Jika pun tak dapat menaruh empati, lebih baik diam dengan tidak menghakimi apa yang orang lain rasakan.

Perlu diketahui bahwa setiap orang memiliki respons yang berbeda-beda atas trauma yang dialaminya. 

Ada beberapa orang yang akan menunjukkan rasa traumanya dengan menunjukkan kesedihan, gelisah, mudah marah, kurang percaya terhadap orang lain, tak nafsu makan, hingga ada beberapa orang yang tak menunjukan respons-respons yang demikian alias mampu menyembunyikan perasaan. 

Mereka mungkin berpikir dengan menunjukkan kesedihan justru akan membuatnya semakin terpuruk dan kemudian justru membuatnya akan menjadi "terlihat" oleh orang lain.

Padahal bagi seorang korban pelecehan seksual, kejadian tersebut adalah aib yang rasanya ingin mereka tutup rapat-rapat karena konteks sosial di Indonesia yang lebih sering berat timbangannya pada menyalahkan korban. 

Jadi, siapa kita hingga berhak menghakimi rasa trauma orang lain?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun