Masyarakat yang lebih sering menyalahkan pihak perempuan karena tak bisa menjaga diri sehingga katanya wajar jika dilecehkan, hukum di Indonesia yang memerlukan minimal dua orang saksi yang melihat kejadian pelecehan atau kekerasan, padahal kejadian tersebut selalu dilakukan tertutup.Â
Mana mungkin pelaku kekerasan seksual melancarkan aksinya di depan orang-orang?
Tak bijak rasanya tak menaruh empati kepada mereka para korban kekerasan seksual. Sekali lagi terlepas dari benar atau tidaknya kasus ini.
Mari kita biarkan persidangan mengumpulkan pembelaan dan bukti-bukti dari masing-masing pihak. Jika memang tak pernah mengalami pelecehan atau kekerasan memang sulit rasanya untuk percaya.Â
Terlebih saya sendiri sebagai orang yang sering kali skeptis atau meragukan hingga menyangsikan kebenaran suatu hal dengan mempertanyakan.
Hingga sekarang pun melalui video podcast yang sudah mulai banyak bertebaran, memang belum ada satupun bukti yang dibawa korban yang cukup dapat diandalkan.
Jika saya memposisikan diri saya sebagai hakim persidangan, saya pun akan bertanya-tanya apakah kejadian ini benar nyata adanya.Â
Namun, berempati terhadap apa yang sejauh ini korban bisa tuturkan adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan. Jika pun tak dapat menaruh empati, lebih baik diam dengan tidak menghakimi apa yang orang lain rasakan.
Perlu diketahui bahwa setiap orang memiliki respons yang berbeda-beda atas trauma yang dialaminya.Â
Ada beberapa orang yang akan menunjukkan rasa traumanya dengan menunjukkan kesedihan, gelisah, mudah marah, kurang percaya terhadap orang lain, tak nafsu makan, hingga ada beberapa orang yang tak menunjukan respons-respons yang demikian alias mampu menyembunyikan perasaan.Â
Mereka mungkin berpikir dengan menunjukkan kesedihan justru akan membuatnya semakin terpuruk dan kemudian justru membuatnya akan menjadi "terlihat" oleh orang lain.