Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Feminisasi Sektor Kesehatan, Ketidaksetaraan Gender, dan Objektifikasi Perempuan

14 Juli 2022   21:05 Diperbarui: 20 Juli 2022   14:15 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dokter perempuan. (sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com) 

Pagi ini saya berdiri di lapangan Puskesmas yang terletak di depan bangunan rawat jalan kami untuk seperti biasa mengikuti apel pagi. 

Tak seperti hari hari yang lalu dimana saya selalu dapat menaruh fokus terhadap arahan apa yang secara rutin disampaikan oleh Kepala Puskesmas kami untuk kegiatan pelayanan kami di hari itu.

Hari ini saya terdistraksi oleh pikiran saya yang tiba-tiba melayang kepada baris pertama hingga baris ke lima barisan upacara yang isinya seluruhnya adalah perempuan. Dan barisan keenam alias baris terakhir diisi oleh laki-laki. 

Ya kira-kira jika dihitung mungkin mendekati empat per lima dari total pegawai di Puskesmas ini adalah perempuan. Bahkan, teman-teman seangkatan saya pada program dokter internship di Puskesmas ini pun keempatnya adalah perempuan.

Teringat 5 tahun yang lalu saat saya diamanahi sebagai seorang National Officer on Medical Education di organisasi mahasiswa kedokteran bernama Center for Indonesian Medical Students' Association atau CIMSA. 

Awal sekali menjabat posisi tersebut saya memulainya dengan belajar memahami terkait topik-topik apa saja yang kental di dunia pendidikan kedokteran. 

Untuk belajar memahami topik-topik itu, tak lama setelah saya dilantik pada posisi tersebut, saya membuat janji untuk bertemu Wakil Dekan saya di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada yakni Prof. dr. Gandes Retno Rahayu, M.Med.Ed., Ph.D untuk berguru dari beliau yang merupakan seorang ahli pendidikan kedokteran. 

Begitu banyak ilmu yang saat itu beliau bagikan kepada saya sebagai bekal saya menjabat selama setahun di organisasi mahasiswa kedokteran tingkat nasional itu. 

Satu yang paling saya ingat adalah saat beliau menyebutkan ilmu dan istilah yang baru pertama kali saya dengar, yakni feminisasi kedokteran. 

Saat itu beliau memulainya dengan memantik pertanyaan yakni berapa jumlah mahasiswa kedokteran di kelas saya dan berapa jumlah mahasiswi kedokteran. 

Saya menjawab dengan lugas bahwa mahasiswi kedokteran memang jauh lebih banyak dibandingkan mahasiswa kedokteran alias peserta didik laki-laki berjumlah lebih sedikit daripada mereka yang perempuan. 

Saat itu saya pun sambil mencoba mengingat perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan pada program studi lain di Fakultas Kedokteran kami selain program studi Pendidikan Dokter. Ada program studi Keperawatan dan Gizi Kesehatan. 

Keduanya bahkan menunjukkan jumlah laki-laki dan perempuan yang jauh lebih timpang dibanding program studi Pendidikan Dokter. Namun saat itu kami fokus membahas terkait program studi dimana saya berkuliah. 

Beliau menjelaskan bahwa feminisasi kedokteran tak dapat disangkal merupakan sebuah ancaman terhadap distribusi tenaga kesehatan dalam hal ini dokter, yang sampai sekarang masih belum merata persebarannya pada seluruh wilayah di Indonesia. 

Feminisasi kedokteran atau jika kita tarik ke dalam lingkup yang lebih luas lagi yakni feminisasi profesi kesehatan atau di beberapa literatur akan disebut sebagai feminisasi sektor kesehatan adalah suatu keadaan dimana tenaga kesehatan makin didominasi oleh perempuan. 

Berdasar laporan World Health Organization (WHO) pada dokumen Gender equity in the health workforce: Analysis of 104 countries yang terbit pada bulan Maret tahun 2019 lalu menyatakan dua per tiga sumber daya manusia di sektor kesehatan secara global adalah perempuan. 

Saat membaca dokumen ini yang pertama kali terbersit dalam pikiran adalah dominasi dan representasi perempuan di bidang kesehatan yang sudah tak dapat lagi diragukan dan tentu saja membanggakan. Namun, seperti yang Prof sampaikan kepada saya, hal tersebut dapat pula menjadi sebuah ancaman. 

Persepsi dan stereotip gender yang selama ini menghantui perempuan mengarah kepada ketidaksetaraan gender, mengingat adanya peran gender yang selama ini masih terus digerogoti oleh budaya patriarki. 

Kemudian, perempuan tidak bebas untuk memilih apa jenjang karier mereka selanjutnya atau hendak bekerja dimana semisal memilih untuk bekerja di daerah terpencil. 

Selain belenggu budaya patriarki, masalah kesejahteraan dan keamanan perempuan menjadi faktor yang juga tak dapat dilewatkan. 

Kurangnya ruang-ruang yang aman bagi perempuan alias rawannya kejahatan di daerah-daerah terpencil untuk perempuan turut menyumbang lemahnya pemerataan distribusi tenaga kesehatan ke daerah-daerah terpencil di saat sektor kesehatan didominasi oleh perempuan. 

Jika ketidaksetaraan gender dan objektifikasi perempuan terus berlanjut, saat sektor kesehatan terus didominasi oleh perempuan, jangan berharap akan tercapai pemerataan sumber daya manusia kesehatan. 

Oleh karena itu, melalui tulisan ini, penulis berharap agar kita sama-sama dapat memerangi persepsi dan stereotip gender yang telah menjadi norma dan budaya. 

Setiap dari kita, siapapun baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk membuat keputusan ataupun pilihan untuk kehidupan. 

Selain itu, menciptakan ruang yang aman untuk perempuan dengan tidak melakukan objektifikasi kepada perempuan. Mari menciptakan relasi dan ruang publik yang nyaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun