Pagi ini saya berdiri di lapangan Puskesmas yang terletak di depan bangunan rawat jalan kami untuk seperti biasa mengikuti apel pagi.Â
Tak seperti hari hari yang lalu dimana saya selalu dapat menaruh fokus terhadap arahan apa yang secara rutin disampaikan oleh Kepala Puskesmas kami untuk kegiatan pelayanan kami di hari itu.
Hari ini saya terdistraksi oleh pikiran saya yang tiba-tiba melayang kepada baris pertama hingga baris ke lima barisan upacara yang isinya seluruhnya adalah perempuan. Dan barisan keenam alias baris terakhir diisi oleh laki-laki.Â
Ya kira-kira jika dihitung mungkin mendekati empat per lima dari total pegawai di Puskesmas ini adalah perempuan. Bahkan, teman-teman seangkatan saya pada program dokter internship di Puskesmas ini pun keempatnya adalah perempuan.
Teringat 5 tahun yang lalu saat saya diamanahi sebagai seorang National Officer on Medical Education di organisasi mahasiswa kedokteran bernama Center for Indonesian Medical Students' Association atau CIMSA.Â
Awal sekali menjabat posisi tersebut saya memulainya dengan belajar memahami terkait topik-topik apa saja yang kental di dunia pendidikan kedokteran.Â
Untuk belajar memahami topik-topik itu, tak lama setelah saya dilantik pada posisi tersebut, saya membuat janji untuk bertemu Wakil Dekan saya di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada yakni Prof. dr. Gandes Retno Rahayu, M.Med.Ed., Ph.D untuk berguru dari beliau yang merupakan seorang ahli pendidikan kedokteran.Â
Begitu banyak ilmu yang saat itu beliau bagikan kepada saya sebagai bekal saya menjabat selama setahun di organisasi mahasiswa kedokteran tingkat nasional itu.Â
Satu yang paling saya ingat adalah saat beliau menyebutkan ilmu dan istilah yang baru pertama kali saya dengar, yakni feminisasi kedokteran.Â
Saat itu beliau memulainya dengan memantik pertanyaan yakni berapa jumlah mahasiswa kedokteran di kelas saya dan berapa jumlah mahasiswi kedokteran.Â