Kami melanjutkan dengan memeriksa tanda-tanda vital pasien lalu menyuntikkan obat injeksi antipsikotik untuk mengurangi gejala-gejala skizofrenianya.Â
Setelah itu tentu kami melanjutkan kembali percakapan kami dan menutup dengan edukasi agar terus patuh meminum obat.Â
Terakhir, perawat kami memberikan sedikit uang untuk ia membeli makanan. Perawat kami berpesan agar ia tak membelikan uangnya untuk rokok, tapi untuk makanan yang dapat mengenyangkannya.Â
Sepulang dari kunjungan, seperti biasa, setiap bertemu pasien, begitu banyak hal yang berkecamuk di pikiran saya.Â
Oleh karena itulah salah satunya mengapa saya menuliskan ini semua di Kompasiana, tak lain tak bukan agar tak hanya saya yang menanggung beban pikiran ini semua.Â
Memang susah terlahir menjadi seorang pemikir. Setiap apa apa saja selalu dipikirkan hingga kadang saya tak bisa tidur jika mengingatnya dan memikirkan bagaimana solusinya. Solusi terhadap lingkaran setan dari skizofrenia dan kemiskinan, sebagaimana judul tulisan saya.Â
Sebelum saya melakukan kunjungan di hari itu, sebagai seorang dokter internship yang baru beradaptasi di lingkungan ini tentu mengharuskan saya mengenali pasien yang akan dikunjungi selama 6 bulan ke depan.Â
Saya memulai kunjungan dengan bertanya kepada perawat salah satunya terkait apa faktor risiko yang berhubungan dengan keadaan pasien tersebut.Â
Beliau mengatakan kondisi ekonomi yang sulit yang salah satunya diduga mencetuskannya. Pasien hidup sebatang kara dan tak memiliki keluarga maupun teman untuk diajak bercerita sepanjang hidupnya.Â
Sekitar kurang lebih 6 bulan yang lalu pasien didiagnosis sebagai pengidap skizofrenia. Ia sering mengamuk hingga menghancurkan rumah-rumah warga.Â
Sebelumnya pasien adalah seorang pedagang di suatu tempat yang agak jauh dari rumahnya. Namun, usahanya lalu bangkrut dan akhirnya ia mulai menunjukkan beberapa gejala.