Sekitar sebulan yang lalu, saya ditugaskan untuk berangkat bersama penanggung jawab program kesehatan jiwa Puskesmas saya ke salah satu desa yang masih merupakan cakupan wilayah pelayanan Puskesmas kami untuk melakukan pendampingan pada salah satu orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di sana.Â
Rumah yang kami kunjungi terletak di dalam gang yang begitu kecil sehingga kami harus memarkir motor-motor kami di depan gang dan lalu mencapai ke rumah pasien dengan berjalan kaki beberapa ratus meter.
Keseluruhan rumahnya terbuat dari kayu dengan seng sebagai atapnya. Ventilasi yang minim adalah kesan selanjutnya yang saya dapatkan. Kemudian kami mengetuk pintu dan mengucapkan salam.Â
Pasien yang kami ingin temui hari itulah yang ternyata membuka pintu. Dikatakan perawat yang berangkat bersama saya di hari itu bahwa pasien sudah sangat jauh lebih tenang dibanding bulan-bulan awal saat pertama didiagnosa dengan skizofrenia. Sudah berlangsung kira-kira 5 bulan pengobatannya.Â
Dikatakan awalnya ia melempari tenaga kesehatan yang datang dengan berbagai barang yang ada di dekatnya. Senang sekali di hari saya datang pasien sudah menunjukan banyak sekali perbaikan.Â
Begitu kami memasuki rumah, bau asap rokok menyeruak di seluruh ruangan rumah yang minim ventilasi menembus masker yang telah sedikit paling tidak menjadi salah satu bala bantuan bagi saya, walau akhirnya baunya tetap tercium juga.Â
Kami memulai kunjungan dengan menanyakan kabar pasien, apakah ia sudah makan, apakah sudah mandi, dan berbagai pertanyaan seputar kegiatan sehari-harinya yang kami harapkan dapat berangsur-angsur normal seperti semula.
Ia menjawab bahwa ia sudah makan dan seperti biasa mie instan adalah menunya. Ia mengatakan bahwa ia belum mandi dan berencana akan segera mandi setelah kami pulang dari rumahnya.Â
Sambil mengobrol dengan kami, pasien sambil sesekali meletakkan rokok di piring berukuran kecil berwarna bening sebagai asbak untuk menyetor abu-abu puntung rokoknya.Â
Kami bertanya berapa banyak rokok yang ia habiskan per hari. Ia menjawab tak pasti mengingat rokok tersebut ia dapatkan secara cuma-cuma dari tetangga-tetangganya karena ia tak memiliki uang untuk membeli rokok.Â