Mohon tunggu...
ARI ISWAHYUDI
ARI ISWAHYUDI Mohon Tunggu... Guru - INFULANCER PSIKOLOGI, EDUCATOR, TEACHER OF SPECIAL NEED STUDENT, AND PARENTING

PSIKOLOGI, EDUCATION,RELIGION,CHILD, LIFE, PARENTING, TRAVELER

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Anak Autis dan Penangganannya

10 September 2024   13:22 Diperbarui: 10 September 2024   13:53 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak dengan gangguan spektrum Autis / Sumber Gambar  : www.bethesda.or.id

Autis merupakan suatu gangguan perkembangan secara menyeluruh yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam kemampuan sosial, komunikasi, dan perilaku (Rahayu, S. M. 2014). 

Kementerian Kesehatan mendefinisikan Autism Spectrum Disorder (ASD) atau yang lebih sering disebut autisme adalah sebuah gangguan yang terjadi pada sistem  saraf. Dimana gangguan tersebut mempengaruhi perkembangan bahasa dan kemampuan seorang anak untuk berkomunikasi, berinteraksi, serta berperilaku. 

(Wardany dan Apriyanti : 2021) menyatakan  autis merupakan gangguan pada neurologis anak yang terjadi pada masa perkembangan. Gangguan ini yang mengakibatkan anak akan memiliki hambatan pada interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku seperti memiliki respon  yang kaku, terbatas, dan berulang. 

Sementar menurut American Psychiatric Association (2013) dalam DSM-V menyebut gangguan spektrum autis sebagai spektrum gangguan yang dikarakteristikan dengan defisit secara menetap pada komunikasi sosial dan interaksi sosial dalam berbagai konteks kehidupan. 

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa autis merupakan sebuah gangguan perkembangan yang terjadi karena terdapat hambatan pada sistem saraf atau neurologis yang mengakibatkan terjadinya kesulitan anak dalam berkomunikasi, berinteraksi, bersosialisasi dan berperilaku. 

Jumlah anak dengan gangguan autis pun setiap tahun juga semakin meningkat. Merujuk data yang disampaikan oleh Wakil Menteri Kesehatan RI, dr Dante Saksono Harbuwono, pada laman health.detik.com, menyebutkan bahwa saat ini sekitar 2,4 juta anak Indonesia mengalami gangguan spektrum autisme. 

Sementara itu masih pada laman yang sama, dokter spesialis anak dr Bernie Endyarni Medise, SpA(K), MPH memperkirakan angka kelahiran anak di Indonesia mencapai 4,5 juta per tahun. Dari angka tersebut, 1 di antara 100 anak mengidap autism spectrum disorder (ASD).

Peningkatan jumlah anak dengan gangguan spektrum autis tiap tahunnya ini merupakan sebuah tantangan yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. 

Selain itu yang menjadi hal yang tidak kalah penting adalah tentang bagaimana penanganan yang dilakukan pada anak dengan gangguan spektrum autis. 

Apakah autis bisa sembuh ? 

Yang perlu difahami adalah autis bukanlah sebuah penyakit seperti batuk yang ketika diminumi obat akan hilang. 

Autis merupakan sebuah gangguan yang menyertai pada diri anak, dimana sampai anak dewasa pun gangguan spektrum autis akan tetap menyertainya, hanya saja dengan penanganan yang tepat gangguan spektrum autis ini dapat diminimalisir dan dimodifikasi sehingga sedikit banyak menjadikan anak dengan spektrum autis dapat berperilaku secara baik. 

Penangan anak autis ini perlu dilakukan sejak dini sehingga perkembangan-perkembangan yang mengalami keterlambatan dapat segera diatasi dan dicarikan solusinya

Untuk itu deteksi, intervensi dini dan penegakan diagnosa harus dilakukan sejak anak mulai menampakkan gejala-gejala yang tidak semestinya atau berbeda dengan anak pada usianya. 

Hal ini penting karena pemberian penanganan sejak anak usia dini akan lebih memudahkan karena perkembangan otak pada masa balita yang masih plastis dan berkembang secara pesat, serta belum muncul banyak gangguan-gangguan penyerta yang lebih banyak pada diri anak. 

Penanganan yang dilakukan pada anak dengan gangguan spektrum autis sering disebut terapi. 

Oleh karena gejala yang nampak pada anak-anak dengan gangguan autis ini sangat bervariasi, maka terapi yang dilakukan juga bermacam-macam tergantung dari tingkat hambatan yang terdapat pada individu. Tentu terapi yang dilakukan harus oleh tim ahli di bidangnya seperti terapis, psikolog atau juga psikiater. 

Beberapa terapi untuk anak-anak dengan gangguan spektrum autis diantaranya 

1. Terapi wicara. 

Terapi wicara merupakan sebuah bentuk terapi yang bertujuan untuk memperbaiki hambatan pada fungsi wicara. 

Terapi wicara penting diberikan karena beberapa anak dengan spektrum autis memiliki hambatan pada fungsi wicaranya, seperti belum mampu bersuara, meracau, membeo, babbling, ekolalia, artikulasi pengucapan yang belum jelas, susunan pengucapan yang terbolak-balik dan lain-lain.

 Sehingga anak-anak dengan hambatan wicara penting untuk diberikan terapi wicara. Biasanya terapis wicara akan memberikan sebuah program wicara seperti melakukan pijatan di sekitar area wicara dan wajah yang berguna untuk merespon sinap-sinap dan otot-otot pada area mulut agar tidak kaku. 

Selain itu biasanya terapis juga memberikan sikat oral pada anak dengan hambatan wicara hal ini digunakan untuk merangsang area dalam mulut seperti lidah, area langit-langit mulut, dan bagian dalam pipi. 

Terapis juga biasanya melatihkan wicara anak dengan media flashcard yaitu anak diminta mengucapkan nama dari gambar yang terdapat pada flashcard.

 Selain itu anak juga biasanya dilatih untuk menjawab pertanyaan sederhana, sehingga pengenalan dalam berinteraksi juga diajarkan pada terapi wicara.

2. Terapi Biomedik. 

(Rahayu,S.M:2024) menjelaskan bahwa terapi biomedik merupakan penanganan biomedis terhadap anak dengan spektrum autis dengan cara memperbaiki kondisi tubuh anak agar terlepas dari zat-zat perusak seperti keracunan logam berat, allergen dan lain-lain. 

Untuk prakteknya yaitu dengan melakukan pemeriksaan laboratorium terlebih dahulu pada tubuh anak biasanya meliputi pemeriksaan urin, darah,rambut dan fases. 

Fungsinya adalah untuk mencari zat-zat yang dapat mengganggu sistem saraf pusat, harapannya adalah sistem saraf pusat bisa bekerja dengan baik sehingga gejala-gejala yang nampak pada anak dengan spektrum autis dapat berkurang. 

Untuk itu biasanya beberapa kasus pada anak-anak dengan spektrum autis tidak diperbolehkan memakai peralatan makan dari yang berbahan logam, karena zat-zat logam yang terdapat pada peralatan makannya dapat masuk kedalam tubuh dan menyebabkan gangguan pada sistem saraf pusat anak.

3. Terapi makanan. 

Beberapa kasus menjelaskan bahwa pada sistem pencernaan anak dengan spektrum autis berbeda dengan anak pada umumnya.  Biasanya sistem pencernaan mereka belum mampu mencerna beberapa zat yang terkandung dalam makanan. 

Untuk itu terapi makanan ini dilakukan untuk menghindarkan anak spektrum autis dalam mengkonsumsi makanan yang dapat memperparah gejala-gejala yang nampak pada anak dengan spektrum autis. 

Dalam praktik dalam terapi makan biasanya dikenal dengan istilah diet. 

Tentu diet ini berbeda dengan diet pada umumnya. Pada anak dengan spektrum autis maka biasanya akan mempraktekkan beberapa diet, diantaranya adalah

  • Diet gluten dan kasein. 

Gluten adalah protein yang terdapat dalam tumbuhan, seperti gandum dan havermut. Biasanya kandungan gluten ini terdapat pada tepung terigu, oat,mie, roti,kue,biskuit,makaroni,nugget dan makanan olahan lainnya.

 Sedangkan kasein adalah protein yang berasal dari susu sapi. Makanan olahan yang mengandung kasein diantaranya susu,es krim,keju,mentega,yogurt dan makanan yang mengandung susu. 

Diet ini dilakukan dikarenakan pada sistem pencernaan anak dengan spektrum autis tidak dapat mencerna kandungan protein tersebut dengan sempurna. Idealnya pada anak reguler, protein yang dikonsumsi oleh tubuh akan dipecah menjadi asam amino yang dapat dimanfaatkan pada sistem metabolisme tubuh, 

namun pada anak dengan spektrum autis protein tidak tercerna dengan baik sehingga terjadi rangkaian protein pendek yang terdiri dari dua asam amino yang disebut  peptid.

 Peptid ini akan diserap oleh darah dan dilanjutkan ke otak yang akan berubah menjadi morfin  yang dapat mempengaruhi sistem saraf pusat. Sehingga dapat menyebabkan gangguan emosi yang tidak stabil dan perilaku hiperaktif pada anak. 

Bahkan pada beberapa penelitian dapat menimbulkan gangguan tidur pada anak (Kusumayanti:2011). Penerapan diet gluten dan kasein ini tidak langsung menyetop semua produk olahan gluten dan kasein namun pengonsumsiannya dikurangi secara bertahap.  Untuk lebih jelasnya tentang diet gluten dan kasein ini akan kami jelaskan pada artikel berikutnya.

  • Diet anti yeast/ragi/jamur.

 Diet makan ini diberikan pada anak yang memiliki gangguan infeksi jamur pada sistem pencernaannya. Makanan yang perlu dihindari seperti makanan olahan yaitu sosis,hotdog,roti.

 Olahan saus seperti saus tomat, mayonnaise, cuka. Dan olahan ragi lainnya. Tentu tidak semua anak autis harus mempraktikkan diet ini namun orang tua perlu mengecek kondisi anaknya terlebih dahulu apakah memang memiliki gangguan infeksi jamur atau tidak. 

  • Diet makanan yang menyebabkan alergi pada tubuh anak autis. 

Sepatutnya sebagai orang tua,kita perlu memahami dan mengerti makanan yang dapat menyebabkan alergi pada anak dengan spektrum autis, misalkan udang,seafood,susu,coklat dll. 

Hal ini perlu dilakukan karena ketika anak dengan spektrum autis mempunyai alergi makanan namun tetap mengkonsumsi makanan tersebut maka akan membuat ketidaknyamanan pada diri anak, sehingga perilaku dan ketidakstabilan emosi anak akan terpengaruh.

4. Terapi perilaku. 

Terapi perilaku diberikan untuk mengurangi perilaku-perilaku anak yang tidak sesuai norma sosial yang berlaku dan mengganti dengan perilaku yang sesuai. 

Memang perilaku yang ditampakkan pada anak dengan spektrum autis memiliki berbagai macam seperti, tidak berkontak mata saat melihat, merebut makanan, mencakar, perilaku stimming, perilaku manipulatif dan lain-lain. 

Sehingga diperlukan usaha untuk mengurangi hambatan perilaku tersebut. Pada praktiknya biasanya seorang terapis perilaku akan memberikan reinforcement positif setiap kali anak merespon dengan benar instruksi yang diberikan. 

Dalam metodenya seorang terapis berbeda-beda ada yang menggunakan metode ABA ada pula yang menggunakan metode ABC(attendance,behaviour,consequence ) yang keseluruhannya berfokus pada untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak kepada aturan. 

Terapi ini akan mendapatkan hasil yang signifikan jika dilakukan secara intensif, teratur dan konsisten. Penanganan perilaku anak sejak dini akan memudahkan untuk mendapatkan hasil yang signifikan dibandingkan pada anak autis yang sudah remaja.

5. Terapi Okupasi. 

Terapi ini diberikan pada anak dengan spektrum autis dengan tujuan untuk melatih sistem gerak dan kemandirian anak. 

Pada praktiknya biasanya melibatkan berbagai macam metode seperti latihan gerak fisik anak (motorik kasar dan halus), latihan sensori integrasi yang berkaitan dengan kemampuan mengintegrasikan sistem indra pada anak yang dimodifikasikan dalam kegiatan sehari-hari anak untuk melatih kemandiriannya sperti mengancing baju, menjepit pompom, meronce, dan lain-lain. 

Penanganan pada anak dengan spektrum memang sangat kompleks, karena antara satu anak autis dengan anak autis lainnya bisa jadi memiliki hambatan dan kebutuhan yang berbeda. 

Untuk itu diperlukan ketelatenan dan kesabaran untuk mendampingi setiap progres perkembangan pada anak dengan spektrum autis. 

Daftar Rujukan 

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.). Arlington, VA: APA

Della Monica Stefanni. (13 mei 2024). Wamenkes Ungkap 2,4 Juta Anak di Indonesia Idap Autisme. Diakses pada 9 sepetember 2024 melalui laman https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7336606/wamenkes-ungkap-2-4-juta-anak-di-indonesia-idap-autisme.

Kusumayanti, G. A. D. (2011). Pentingnya pengaturan makanan bagi anak autis. Jurnal ilmu gizi, 2(1), 1-8.

Rahayu, S. M. (2014). Deteksi dan intervensi dini pada anak autis. Jurnal Pendidikan Anak, 3(1).

Wardani F.O, Apriyanti Mita (2011). Buku Panduan Guru Pendidikan Khusus Bagi Peserta Didik Autis Disertai Hambatan Intelektual.Jakarta: Pusat Perbukuan Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun