Memang, acara prank itu niatnya hanya untuk lucu-lucuan. Tapi, bukankah sedari kecil kita diajarkan sebuah peribahasa "sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak akan percaya".
Kalau sudah sudah mendengar kata digital, kesan pertama pasti terasa keren, canggih, kekinian, dan lain sejenisnya. Berbagai perusahaan berlomba-lomba untuk melakukan digitalisasi bisnisnya untuk mendapat predikat perusahaan terkemuka, walaupun terkadang jumlah karyawan menjadi korban.Â
Demikian pula perubahan TV dari analog ke digital, pasti menghadirkan sesuatu yang lebih keren. Lebih bersih, lebih jernih, banyak channel-nya, tanpa biaya langganan pula.  Begitulah kurang lebih promosinya. Harga TV Digital pun di pasaran tentunya lebih mahal daripada TV Analog. Tentuya, ada harga ada kualitas.
Peralihan dari TV Analog ke TV Digital ini memiliki kekhususan tersendiri. Pertama, karena siaran TV dinikmati oleh banyak penduduk. Kedua, aturan mengenai peralihan ini diurus langsung oleh Pemerintah hingga dituangkan dalam suatu Undang-undang khusus.
Pertanyaannya, analog ataupun digital itu hanya bungkus. Bagaimana dengan isi dari siaran TV itu sendiri ?
Apakah dengan peralihan ke TV Digital, lantas sinetron-sinetron yang ditayangkan di TV meningkat kualitasnya ? Baik dari sisi skenarion maupun sinematografinya ?
Sejak TV Swasta bermunculan  di era 90-an hinga saat ini (berjalan sekitar 30 tahunan), kualitas sinetron tampaknya hanya berjalan di tempat. Yang berubah hanya para pemerannya, dimana pemeran baru bermunculan menggantikan pemeran lama yang sudah termakan usia.
Topik ceritanya itu-itu saja. Orang bilang, topik cinta-cintaan, yang mendominasi. Sekalipun setting tempatnya di sekolah, isi ceritanya lebih kepada cinta-cintaan itu. Aspek lain dari aktivatas di suatu sekolah jarang diungkit. Guru sekolah pun umumnya ditampilkan sebagai karakter orang galak.
Alur cerita pun tidak banyak berubah. Hanya musik latar yang didramatisasi. Padahal alur ceritanya mudah ditebak. Prontagonis selalu diperankan oleh orang yang ganteng/cantik, baik hati, pokoknya seperti malaikat lah. Sedangkan antagonisnya mudah ditebak, tampangnya jelek, kasar, pokoknya gak ada baik-baiknya dah. Ngomongnya pun dibuat-buat sedemikian rupa hingga bibirnya monyong kiri monyong kanan.
Kalau si artis pemeran antagonis banyak dibenci penonton, dia merasa bangga karena aktinya dianggap berhasil. Padahal bisa jadi ada penonton yang gak suka aktingnya, bukan peran yang dilakoninya.
Jangan tanya pula teknik pertarungan yang ditampilkan. Dramatisasinya boleh lah. Saling teriak, saling umpat. Tapi ya, begitu-begitu aja tekniknya. Udah 30 tahunan sinetron dibuat, gak berubah tekniknya. Ntar habis berantem, seni pembuatan lukanya pun dibuat asal-asalan.Â
Di luar sinetron, acara TV lain yang banyak disiarkan adalah acara komedi. Tentu saja komedi untuk menghibur. Membuat penonton tertawa. Tidak ada yang salah dengan ini.
Tapi, coba direnungkan, apa saja yang ditertawakan oleh penonton ?
Banyak topik sih. Lucu-lucu pula. Tapi ada beberapa topik yang perlu dicermati.
Ada 3 topik yang rasanya aneh  dijadikan bahan komedi, yaitu prank, roasting dan menjadikan orang jatuh/kecelakaan sebagai sebuah video lucu.
Memang, acara prank itu niatnya hanya untuk lucu-lucuan. Tapi, bukankah sedari kecil kita diajarkan sebuah peribahasa "sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak akan percaya".
Tapi kan ini hanya acara TV. Di sinilah masalahnya. Apa yang ditonton di TV itu punya dampak untuk ditiru oleh para penontonnya. Kita ingin membangun bangsa yang jujur. Bangsa yang dipercaya. Tapi bagaiman hal itu akan terwujud jika kita terbiasa terkekeh-kekeh dengan prank ?
Roasting sekarang jadi aneh. Mereka bisa saja mengatakan yang penting orang yang di-roasting-nya mau. Padahal salah seorang komedian pun pernah berseloroh. Kok mau ya, selebritas yang sudah punya segalanya, mau di-roasting,hanya demi sebuah konten. Bukankah kita sering diajarkan bahwa jangan  pernah mengungkap aib orang di depan umum ? Jangankan mengungkap aib di depan umum, mengingatnya saja sebaiknya jangan. Ingatlah kebaikan seseorang, lupakan aibnya. Ini malah diumbar di depan umum, dan menjadi bahan tertawaan.
Masalah video lucu. Tontonan ini betul-betul tidak bisa membedakan mana video lucu dan mana video musibah. Ada orang jatuh, ada orang celaka, digabung menjadi sebuah acara video lucu. Orang sakit, orang jatuh, orang celaka kok diketawain. Kata almarmuh Meggi Z, sungguh teganya, teganya, teganya....
TV adalah tontonan yang bisa berdampak sebagai tuntutnan.
Acara yang baik akan menjadi tuntunan yang baik pula.
Demikian sebaliknya, acara yang tidak baik akan menjadi tuntunan yang tidak baik pula.
Seperti yang pernah diutarakan Jackie Chan  dalam sebuah wawancara.
Dia tidak pernah mau mengeluarkan umpatan dalam setiap filmnya, karena ia khawatir akan ditiru oleh banyak penontonnya.
Bagaimana dengan pemerintah atau Komisi Penyiaran ?
Ikut memilkirkan pula hal-hal seperti ini ?
Harapannya, peningkatan kualitas "bungkus" dari TV Analog ke TV Digital, diiringi pula dengan peningkatan kualitas "isinya".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI