Mohon tunggu...
Ari Sukmayadi
Ari Sukmayadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pelajar Forever

Aku baca. Aku pikir. Aku tulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Digital Ataupun Analog Itu Bungkus, Bagaimana dengan Isi?

6 November 2022   10:41 Diperbarui: 6 November 2022   10:47 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : kompas.com

Memang, acara prank itu niatnya hanya untuk lucu-lucuan. Tapi, bukankah sedari kecil kita diajarkan sebuah peribahasa "sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak akan percaya".

Kalau sudah sudah mendengar kata digital, kesan pertama pasti terasa keren, canggih, kekinian, dan lain sejenisnya. Berbagai perusahaan berlomba-lomba untuk melakukan digitalisasi bisnisnya untuk mendapat predikat perusahaan terkemuka, walaupun terkadang jumlah karyawan menjadi korban. 

Demikian pula perubahan TV dari analog ke digital, pasti menghadirkan sesuatu yang lebih keren. Lebih bersih, lebih jernih, banyak channel-nya,  tanpa biaya langganan pula.  Begitulah kurang lebih promosinya. Harga TV Digital pun di pasaran tentunya lebih mahal daripada TV Analog. Tentuya, ada harga ada kualitas.

Peralihan dari TV Analog ke TV Digital ini memiliki kekhususan tersendiri. Pertama, karena siaran TV dinikmati oleh banyak penduduk. Kedua, aturan mengenai peralihan ini diurus langsung oleh Pemerintah hingga dituangkan dalam suatu Undang-undang khusus.

Pertanyaannya, analog ataupun digital itu hanya bungkus. Bagaimana dengan isi dari siaran TV itu sendiri ?

Apakah dengan peralihan ke TV Digital, lantas sinetron-sinetron yang ditayangkan di TV meningkat kualitasnya ? Baik dari sisi skenarion maupun sinematografinya ?

Sejak TV Swasta bermunculan  di era 90-an hinga saat ini (berjalan sekitar 30 tahunan), kualitas sinetron tampaknya hanya berjalan di tempat. Yang berubah hanya para pemerannya, dimana pemeran baru bermunculan menggantikan pemeran lama yang sudah termakan usia.

Topik ceritanya itu-itu saja. Orang bilang, topik cinta-cintaan, yang mendominasi. Sekalipun setting tempatnya di sekolah, isi ceritanya lebih kepada cinta-cintaan itu. Aspek lain dari aktivatas di suatu sekolah jarang diungkit. Guru sekolah pun umumnya ditampilkan sebagai karakter orang galak.

Alur cerita pun tidak banyak berubah. Hanya musik latar yang didramatisasi. Padahal alur ceritanya mudah ditebak. Prontagonis selalu diperankan oleh orang yang ganteng/cantik, baik hati, pokoknya seperti malaikat lah. Sedangkan antagonisnya mudah ditebak, tampangnya jelek, kasar, pokoknya gak ada baik-baiknya dah. Ngomongnya pun dibuat-buat sedemikian rupa hingga bibirnya monyong kiri monyong kanan.

Kalau si artis pemeran antagonis banyak dibenci penonton, dia merasa bangga karena aktinya dianggap berhasil. Padahal bisa jadi ada penonton yang gak suka aktingnya, bukan peran yang dilakoninya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun