Akhirnya aku mengambil keputusan. Sebuah keputusan yang aku sendiri sebenarnya tidak terlalu yakin. Tapi aku tetap berusaha seolah yakin. Aku harus terus memberikan ketenangan pada istri. Akan jauh lebih berat perjalanan jika ditambah pula dengan kondisi kejiwaan istri yang diliputi rasa takut. Oleh karena itu, aku merasa harus mampu menanggung segala rasa khawatir ini seorang diri.
Selang tiga puluh menit setelah istri mengambil alih setir tadi, aku lihat google map mengarahkan untuk belok kanan.
"Belok kanan lima puluh meter lagi, ya, Bun."
Istri membelokkan mobil sesuai arahanku. Awal-awal setelah berbelok, kondisi jalanan masih relatif sama dengan jalan sebelumnya, aspal yang relatif bagus. Namun, makin lama kondisi jalan makin buruk.
Lima belas menit setelah belok kanan tadi, kondisi jalanan sudah tidak beraspal. Hanya jalan tanah dengan pengerasan batu-batu kali.
"Duh, kok jalannya makin sempit dan jelek, nih, Yah? Masih jauh, ya?" Istri tampak mulai gelisah.
"Jalan aja terus, Bun. Arahnya sudah benar kok. Jaraknya masih sekitar lima puluh kilo lagi. Tapi beberapa kilo lagi kita akan kembali ketemu jalan besar."
Aku masih berusaha berkata-kata dengan tenang, meski dalam hati sudah sangat ketar-ketir. Aku lirik speedo meter untuk melihat indikator bahan bakar. Aku sedikit tenang karena petak indikator masih berada pada posisi full. Setidaknya kami tidak akan kehabisan bensin.
Ketika aku sedang sibuk menekuri HP memperhatikan peta, tiba-tiba istri mengerem dan mobil berhenti.
"Ada apa, Bun?"
"Di depan, jalan sepertinya berlumpur, Yah."