Â
Lebih terharu lagi rasanya mendapati bocah itu tadi malah menyedekahkan uang yang sudah dia peroleh. Dia seolah punya harga diri. Tak merasa berhak menerima upah jika tak mengerjakan apa-apa. Apa lagi, yang memberi memang terlihat tidak ikhlas, melempar uang sambil marah-marah.
Â
Meski demikian, barusan dia pergi tetap dengan wajah yang riang. Seolah kejadian diomeli tadi tak mempengaruhi hatinya sama sekali. Justru aku yang prihatin dan iba melihatnya.
Â
Setelah bocah itu pergi, satu pertanyaan masih menggelayut di benakku. Kenapa bocah itu tak bisa menyelesaikan pekerjaannya? Biasanya, bocah-bocah penyemir telah menuntaskan semua pekerjaannya begitu shalat Jumat selesai. Jamaah tinggal mengambil sepatunya, lalu membayar.
Â
Biasanya pula, rata-rata jamaah sengaja membayar lebih besar dari "tarif" resminya yang hanya dua ribu rupiah. Ada yang membayar lima ribu bahkan sepuluh ribu. Hitung-hitung bersedekah, membantu anak-anak yang mau berusaha secara halal.
Â
Lantas, kenapa bocah tadi tak seperti itu? Apa terlalu banyak sepatu yang harus dia semir?
Â