Mohon tunggu...
Arfi Zon
Arfi Zon Mohon Tunggu... Auditor - PNS

PNS yang hobi olahraga dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bang, Aku Telat

23 Oktober 2022   08:00 Diperbarui: 23 Oktober 2022   08:10 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Empat tahun yang lalu, anak sulungku baru berusia 3 bulan ketika istriku bilang, "Bang, aku telat."

Aku tersenyum menyikapinya dan bilang, "Ya, Alhamdulillaah, itu amanah." Kami menerima kehamilan anak kedua itu dengan suka cita.

Ketika anak kedua kami itu berusia 3 bulan, saat akan berangkat kerja, istri menggamit lenganku dan kembali berkata, "Bang, aku telat, si kecil akan segera punya adik."

Meski tak sesumringah ketika mengetahui kehamilan kedua, aku tetap tersenyum dan mengucapkan "Alhamdulillaah."

Ketika kehamilan istri berusia 6 bulan, ekonomi dunia resesi. Pertumbuhan ekonomi nasional tidak sesuai target. Dunia usaha lesu. Banyak perusahaan yang morat marit. Sebagiannya melakukan efisiensi operasional dengan merumahkan karyawannya, termasuk perusahaan tempatku bekerja. Akupun terkena PHK.

Dua bulan sebelum anak ketiga itu lahir, statusku resmi menjadi pengangguran. Meskipun kalud karena tak lagi bekerja, aku tidak terlalu mengkhawatirkan ekonomi keluarga. Pesangon PHK dan tabungan yang berhasil kukumpulkan selama bekerja rasanya mampu menghidupi kami dengan layak hingga setahun ke depan. Dan aku yakin, sebelum setahun sudah dapat kerja lagi.

Tapi, ternyata aku keliru. Mencari kerja lagi sungguh tak mudah. Tak ada perusahaan yang membutuhkan tambahan karyawan di tengah buruknya badai resesi. Akhirnya, untuk sementara aku putuskan 'ngojol'.

Dengan ngojol aku tetap berpenghasilan. Lumayan, bisa memperpanjang usia endapan uang pesangon dan tabunganku. Dalam situasi yang tidak menentu, aku tak mungkin menggantungkan ekonomi keluarga hanya pada deposit tabungan yang jumlahnya tak seberapa itu.

Untuk sementara, namun entah sampai kapan, aku menghidupi istri dan tiga orang anak, termasuk yang akan segera lahir ini, dengan ngojol.

Aku juga memutuskan agar setelah kelahiran anak ke tiga ini untuk tidak lagi nambah anak. Cukup sudah tiga anak. Itu saja sudah amat berat bagiku untuk menghidupi mereka dengan layak.

Hanya saja, rasanya tidak gampang untuk mencegah istri hamil lagi. Sepertinya aku memang produktif dan istri sangat subur. Dipepet 'dikit' aja dia langsung hamil. Terbukti dengan jarak kelahiran tiga anak kami yang sangat dekat.

Kami berdua juga sama-sama berprinsip untuk sedapat mungkin tidak melakukan KB dengan alat-alat kontrasepsi, terutama yang hormonal. Bagaimana caranya supaya istri tidak hamil lagi?

Beberapa hari setelah lahiran, aku mendiskusikannya dengan istri.

"Dek, gimana menurutmu cara terbaik supaya kau tidak hamil lagi hamil lagi?"

"Ya, Abang kurang-kurangi lah mendatangi aku."

"Ah, mana mungkin. Gak sanggup aku. Mendatangimu itu rekreasi murah meriah paling menyenangkan bagiku. Obat stressku. Gak mungkin dikurangi. Malah harus makin sering. Karena hidup makin hari makin berat. Apalagi hiburanku kalau bukan itu."

"Kalau gitu kita KB alami aja, Bang. Pakai sistem kalender."

"Halaah, mustahil. Kalau udah dekat denganmu aku udah gak peduli kalender."

"Trus, gimana dong, Bang?"

"Hmm.. gini aja, kita 'coitus interuptus' aja, gimana? Gak harus kalender-kalenderan. Bisa tetap sesering mungkin.

"Maksud abang, 'nembak' di luar gitu?"

"Ya.."

"Nggak, nggak, nggak.. aku nggak setuju!" Istri menggelengkan kepala seraya mengibas-ngibaskan telapak tangannya mempertegas ketidaksetujuannya.

"Loh, kenapa?"

"Rugi dong aku, lagi enak-enaknya dicabut."

Wajah istri bersemu malu. Aku jawil gemes pipinya. Ya, cuma bisa menjawil. Dia masih nifas.

"Hmm, trus gimana lagi, dong, ya?"

"Ga pa pa lah, Bang. Kita pakai kontrasepsi aja." Usul istri.

"Ya sudah, konsul lah ke dokter. Pilih kontrasepsi yang paling sesuai."

***

Pagi itu aku siap-siap mau ngojol. Sebelum berangkat, aku ke dapur menyiapkan sendiri sarapan. Seperti biasa, ritual sarapan pagiku cukup dengan seporsi mie instan rebus pakai telur dan segelas susu.

Ketika akan merebus mie, aku langsung tersenyum lebar saat mengambil mie instan dari kotak kardusnya. Hanya sisa satu dari total isinya 40 bungkus ketika aku beli di hari istriku melahirkan.

Mie itu aku makan satu bungkus setiap hari. Sekarang hanya tersisa satu. Berarti 40 hari telah berlalu, "masa nifas istriku telah selesai", sorakku girang dalam hati.

Ketika akan berangkat, aku dekati istri.

"Dek, nanti malam sudah bisa, kan? Jangan lupa siapkan pil KB nya ya?" Aku jawil dagunya seraya mengedipkan mata.

"Iya, Bang." Jawab istri singkat, juga sambil mengedipkan mata dan tersenyum kenes.

***

Baru saja mangkal, aku langsung dapat orderan. Aku lihat alamat titik jemput, "Studio Senam Kinanti". Tak jauh, hanya berjarak sekitar tiga menit dari posisiku.

Segera aku pacu sepeda motor ke sana. Calon penumpangku rupanya sudah menunggu tepat di depan pintu studio senam itu.

Astaga, seorang perempuan cantik. Usia sekitar awal 30. Berpakaian senam sexy. Atasannya baju senam yang sangat ketat dengan potongan leher rendah. Bawahannya legging yang juga sangat ngepas. Body sintalnya benar-benar terekspos. Bahkan, bagian 'V' nya sampai tercetak jelas. Darah laki-lakiku berdesir.

"Ayo Mas, buruan. Saya lagi ngejar kelas nih, di Studio Senam Frontline," ujarnya sambil buru-buru menaiki jok motor. Saat naik, dia bergelayut ke pundakku.

Rupanya dia seorang instruktur senam. Pantas sexy. Bodynya 'sekel'. Selama perjalanan darahku terus berdesir. Dia duduk agak mepet. Membuatku jadi kikuk berkendara.

Sesampainya di studio Frontline, dia buru-buru turun. Entah sengaja entah tidak, dadanya sedikit bergesekan dengan punggungku. Aku semakin menggelegak. Maklum, sudah 40 hari puasa.

Sesaat setelah menerima uang darinya, aku segera putar motor dan ngebut pulang.

Sesampainya di rumah, aku lihat istri sedang menjemur cucian di halaman depan. Buru-buru aku parkirkan motor di teras kemudian mendekati istri yang tampak heran melihat kepulanganku.

"Anak-anak mana?"

"Sedang tidur siang semua, Bang. Emangnya kenapa?"

Tanpa berkata-kata segera kutarik dia ke rumah. Aku gerendel pintu rumah dan tutup semua gorden.

"Ada apa sih, Bang?" Istri terlihat makin bingung.

Segera kutarik lagi dia ke kamar. Setelah mengunci pintu kamar, tanpa babibu lagi langsung aku dorong dia ke ranjang dan kami bergumulan.

"Eh, Bang, Bang, tunggu dulu.. aku belum.."

Istri tak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena aku sudah melumat mulutnya dengan ganas.

***

Sebulan kemudian.

Aku sedang menuntun sepeda motor dari teras rumah ke halaman ketika istri mendekat dan berkata.

"Bang, aku telat."

Aku terperanjat.

"Loh, kok bisa? Kau kan selalu minum pil KB, Dek?" Tanyaku heran.

"Yang pertama ketika habis nifas itu, loh, Bang. Ketika itu Abang langsung main terjang aja. Padahal aku belum minum pil. Belum aku beli malah."

"Jadi?" tanyaku cemas.

"Ya, aku hamil lagi."

"Alhamdulillaah," ucapku lirih sambil tepuk jidad.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun