Mohon tunggu...
Arfa Gandhi
Arfa Gandhi Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalistik
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

https://www.kompasiana.com/arfa18 Berkarya itu bahagia

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Kami Terpaksa Turun hingga Tersesat dan Bertemu Pendaki Misterius

21 Juli 2024   04:01 Diperbarui: 22 Juli 2024   21:21 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendakian Gunung Semeru 2015 | Dokumentasi pribadi

Pengalaman ini saya kisahkan dalam sebuah tulisan lanjutan dari artikel sebelumnya yang berjudul "Kejamnya Ranu Kumbolo".

Waktu itu sudah menunjukkan sekitar pukul 11 siang. Sebelumnya kami sudah melakukan sarapan dan memilih untuk bersantai menikmati indahnya danau Ranu Kumbolo di bawah sengatan sinar matahari pagi.

Berfoto dan kembali packing tentu menjadi pilihan karena kami harus melanjutkan perjalanan menuju Kalimati tempat camp terakhir yang sudah ditentukan oleh otoritas setempat sebelum mendaki ke puncak Mahameru.

Kami pun sudah siap untuk melanjutkan perjalanan. Namun saya melihat dua teman saya, yakni Rey dan Herli melamun seperti memikirkan sesuatu. Sekali-kali juga terlihat tatapannya kosong, bahkan sempat senyum-senyum sendiri seperti ada yang tidak beres.

Anehnya seketika kedua teman saya itu langsung bangkit berjalan menuju Tanjakan Cinta yang merupakan treck selanjutnya dari Danau Ranu Kumbolo.

Akhirnya saya pun sadar, kalau Rey dan Herli sepertinya menjalani ritual mitos yang sedang tren kala itu, di mana jika kita memikirkan wajah seseorang wanita yang kita suka saat melakukan treck di Tanjakan Cinta maka akan terwujud. Syaratnya jangan nengok ke bawah.

Namun entah siapa yang mereka pikirkan kala itu, hingga kisah ini saya tuliskan dalam sebuah cerita, terwujud atau tidaknya harapan cinta kedua temen saya kala itu, saya pun tidak tahu.

Akhirnya kami pun sampai di puncak Tanjakan Cinta, terlihat pesona indah Oro-oro Ombo yang merupakan padang edelweis dengan warna ungu pekat panjang menjulang sebelum sampai di Cemoro Kandang.

Saat turun dari Tanjakan Cinta menuju Oro-oro Ombo salah satu teman saya bernama Rey mengalami sedikit kecelakaan kecil karena dikagetkan dengan seekor anjing yang membuat ia reflek lari dan tersandung.

Memang hanya kecelakaan kecil lari dan tersandung, tapi sayangnya kejadian itu membuat kuku kakinya terlepas karena saat itu ia memaksakan pakai sepatu yang agak sempit. Meski sakit, ia tetap berjalan hingga Cemoro Kandang.

Sampai di Cemoro Kandang, kami berlima pun akhirnya melakukan briefing, lanjut atau tidak karena Rey sepertinya menahan sakit yang luar biasa dari kakinya.

Setelah briefing panjang, akhirnya kita putuskan dua teman saya, yakni Thynol dan Andre White kami sarankan untuk tetapkan melanjutkan pendakian dan membawa salam kami kepada Mahameru.

Sedangkan Saya memilih membawa Rey yang ditemani Herli untuk turun ke Ranu Pane. Setelah ditutup dengan sebuah doa akhirnya kami pun berpisah di Cemoro Kandang. Dan ini menjadi awal dari kisah mistis yang saya, Rey dan Herli alami.

Kisah mistis menuju desa Ranu Pane Pos 3 ada 2 kali.

Kala itu sudah menunjukkan pukul setengah 3 sore. Perjalanan dari Cemoro Kandang menuju desa Ranu Pane kira-kira memakan waktu sekitar 6 jam. Mungkin bisa lebih karena pastinya saya tidak bisa memaksa Rey yang sedang mengalami sakit pada kakinya untuk melakukan treck lebih cepat.

Yang pasti saat itu saya hanya bilang kepada kedua teman saya kalau pasti hanya kita yang melakukan treck ke bawah. Karena para pendaki lainya menuju ke atas. Apalagi saya sempat mendapat kabar dari seorang pendaki kalau di bawah sangat membludak.

Jadi pihak otoritas Gunung Semeru hanya membatasi pendakian sekitar 1000 orang setiap harinya dan simaksi ditutup sekitar pukul 5 sore. Memang saat kami berada di Cemoro Kandang, ratusan pendaki terus terlihat berdatangan tak ada hentinya hingga menjelang sore hari.

Bahkan saat saya kembali tiba di Ranu Kumbolo dari Cemoro Kandang sekitar jam 4 sore terlihat benar-benar sangat membludak tenda-tenda pendaki yang sudah terpasang dan masih banyak juga pendaki yang baru datang.

Kami tetap bertegur sapa lalu kembali melakukan perjalanan menuju Pos 4 dan masih bertemu dengan pendaki. Herli pun meminta untuk break sekaligus memberikan ruang istirahat untuk Rey yang sedang menahan sakit untuk membuka sepatunya terlebih dahulu.

Kapas betadin yang dibalut dengan hansaplas pun kembali diganti. Banyak juga pendaki yang membantu kami kala itu membagikan sedikit perbekalan P3K mereka dan juga air minum untuk bekal kami menuju Ranu Pane.

Waktu sudah menunjukkan hampir setengah 6. Karena saya pun tidak bisa memaksa teman saya untuk terus berjalan. Saya hanya menunggu saat dia siap untuk melanjutkan perjalanan. Dan jika ada yang bertanya kenapa tidak digendong? Jawabnya saya hanya tidak sanggup.

Karena Rey memiliki tinggi badan 197 cm dan memiliki berat badan hampir 75 kg. Apalagi, dia sangat menolak untuk digendong karena tak mau merepotkan temannya. Dia hanya memastikan kalau masih sanggup untuk berjalan meskipun pelan-pelan.

Baru seperempat jalan dari Pos 4 menuju Pos 3 waktu sudah memasuki adzan Maghrib. Kami pun memilih rehat sejenak. Dan di sana kami tetap bertemu dengan para pendaki.

Sebatang rokok kembali kami bakar sambil menyiapkan headlamp karena perjalanan sudah mulai gelap. Setengah 7 kami melanjutkan perjalanan dan saya sempat melihat masih banyak sinar headlamp pendaki yang melewati kami menuju Pos 4.

Namun, saat hendak melanjutkan perjalanan tiba-tiba hati saya terasa tidak enak dan gelisah. Benar saja baru 3 langkah perjalanan saya iseng nengok ke belakang sudah terlihat sangat sunyi sepi. Bahkan, sinar pantulan headlamp dari para pendaki yang sebelum banyak terlihat tiba-tiba hilang seketika.

Hati ini sempat berucap, "Ya Allah di mana saat ini saya berada".

Kami bertiga tetap melakukan perjalanan dengan bekal Bismillah. Hanya kesunyian yang kami dapati saat itu. Hingga beberapa langkah lagi sampai di Pos 3, kami dikejutkan dengan bertemu seorang pendaki yang sedang duduk sendirian.

Dengan jelas saya melihat dia memakai keril berwarna coklat dan jaket warna biru. Dengan pikiran positif kami pun tetap menyapanya "sendirian aja bang" dan Ia pun menjawabnya "lagi nungguin temen," sambil senyum ke arah kami.

Saya pun merasa lega, karena masih bertemu dengan seorang pendaki yang berkata "lagi nungguin temannya," dengan begitu otomatis temannya masih berada di bawah mungkin ketinggalan karena dia berjalan terlalu cepat. Saya pun sempat menawarkan rokok kepada sang pendaki meski ditolaknya dengan gestur ekspresi tangan. Dan saya pun izin pamit "kita duluan ya bang".

Setelah pertemuan itu, langkah kami dari Pos 3 menuju Pos 2 pun terasa sangat berat. Bukan hanya saya yang merasakannya. Rey dan Herli juga merasakan hal yang sama kala itu.

Akan tetapi kami tetap berfikir positif dan tetap melanjutkan perjalanan. Setengah jalan menuju Pos 2 tak ada satu orang pun pendaki yang kami temui. Bahkan, saya pun sempat bingung masa iya teman pendaki tadi tertinggal sangat jauh hingga belum bertemu dengan kami apalagi Pos 2 kira-kira hanya tinggal 3 ratus meter lagi di depan.

Namun kami kembali dikagetkan setelah lagi-lagi bertemu dengan pendaki yang sama sebelum tiba di Pos 2. Saat itu jarak kami dengan sang pendaki tersebut hanya sekitar 5 meter saja. Dan Herli berkata kepada saya, "itu dia bukannya pendaki yang tadi". Saya hanya tersenyum dan berkata "udah jalan terus aja, jangan lupa permisi".

Saat itu, saya memang takut tapi harus tetap tenang agar yang lainnya tidak takut. "Permisi bang," ucap kami bertiga secara bersamaan saat melewati pendaki tersebut tanpa ada balasan kata-kata darinya.

Langkah pun kami percepat, Rey yang sebelumnya berjalan pelan karena kakinya sakit seperti orang yang tiba-tiba mendapat karunia kesembuhan dari sang pencipta. Tanpa terasa ia terus melangkah hingga berada di paling depan.

Anehnya kami tidak sampai-sampai. Pos 2 yang sebelumnya sudah di depan mata seperti hilang ditelan bumi. Dan sepertinya kami merasa sudah melewati 3 kali pohon yang sama. Hingga akhirnya saya pun merasa kesal dan meminta untuk break sejenak.

Kami bertiga duduk dengan diam dan hanya rokok yang menemani kami malam itu. Hingga akhirnya saya berinisiatif mencari ranting pohon kecil lalu membakarnya seperti orang nabun.

Saya pun bilang kepada teman saya, "kita punya Allah, ayo kita baca surat-surat pendek dulu dan berdoa semoga jalan pulang kita dibuka. Anggap aja lagi tes mental".

Sekitar 20 menit saya, Rey dan Herli melantunkan ayat-ayat pendek dalam hati masing-masing yang dilanjutkan dengan doa, tiba-tiba datang seekor burung yang turun entah dari mana kedekat kami bertiga.

Burung itu terlihat hanya mondar-mandir di dekat kami lalu terbang dan tak lama kembali datang lagi kepada kami. Tentu sangat menjadi perhatian bagi kami bertiga saat itu.

Saya melihat burung tersebut ada 2 kali terbang ke arah depan lalu terbang lagi ke arah kami. Reflek saya mengatakan kepada kedua teman saya "ayo jalan cepet".

Kami pun langsung berdiri dan terlihat burung itu langsung terbang ke arah depan hingga kembali turun ke tanah seakan menunggu kami datang. Sampainya langkah kami di tempat burung tersebut, hewan dengan bulu warna abu-abu itu kembali terbang lagi ke arah depan dan lagi-lagi turun ke bawah seperti menunggu kami datang. Hingga terus begitu sampai akhirnya terlihat sebuah Pos yang hanya berjarak beberapa langkah lagi.

Lega rasanya saat melihat di depan mata akhirnya sudah hampir sampai pada Pos yang kami cari-cari sedari tadi. Namun, sampainya di pos tersebut ternyata bukan Pos 2 melainkan masih Pos 3 dan waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Berarti ke mana kami selama 3 jam tadi.

Kami pun masih shock dan memilih untuk rehat sejenak di Pos 3 karena memang sudah sangat lelah sekali kaki ini untuk melangkah. Tak lama kemudian kami mendengar suara orang ngobrol dan sorotan cahaya headlamp yang datang rombongan dari bawah menuju Ranu Kumbolo.

Mereka pun menyapa kami dan ikut rehat senak di Pos 3, mungkin karena melihat wajah kami yang sedikit shock dan masih panik atas kejadian tadi. Namun tak ada cerita yang keluar dari mulut kami bertiga.

Kami hanya bertanya "apakah di bawah masih ada pendaki yang naik". Dan salah satu dari mereka menjawab, "sepertinya kurang lebih masih ada 3 rombongan lagi yang sedang menuju ke atas," ujarnya.

Mendengar jawaban tersebut, saya pun merasa tenang dan benar saja kami bertemu dengan 3 rombongan yang hendak menuju Ranu Kumbolo saat melanjutkan perjalanan dari Pos 3 menuju Pos 2 hingga akhirnya sampai di Desa Ranu Pane hampir sekitar jam 1 dini hari.

Begitulah pengalaman yang saya alami bersama dua rekan saya di Gunung Semeru kala itu dan kami pun tidak tau apa penyebabnya sampai kami harus berurusan dengan sosok makhluk penunggu setempat. Apa mungkin makhluk-makhluk tersebut hanya mencoba untuk tes mental, atau ada maksud lainnya.

Jawabannya hanya makhluk penunggu Pos 3 di Gunung Semeru yang tahu.

Berikutnya akan saya kisahkan dalam tulisan pengalaman horor saat syuting di Sumur Tua kerasukan hantu nya-nyai yang sedang mandi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun