Hujan turun lagi di penghujung Desember ini, rintiknya seolah menjadi gerbang menuju pergantian tahun. Entah sejak kapan aku menikmati pergantian tahun ini seorang diri. Seingatku, sejak bayang gadis itu tiba-tiba memudar dari pandanganku. Ah, siapa sangka gadis sederhana itu mampu menarik perhatianku sejauh ini? Dia tidak cantik, juga tidak mempesona. Hanya saja, sifatnya yang periang dan mandiri tiba-tiba menganggu pandanganku saat itu. Aku tak sengaja mengenalnya di samping pintu gerbang sekolah. Ya, kami satu sekolah tetapi aku baru melihat sosoknya. Maklum, dia tidak menarik jadi tidak pernah menjadi perbincangan di antara siswa lain.Â
Saat itu dia sedang memeluk beberapa buku sambil berteduh di bawah warung tenda tepat di samping pintu gerbang sekolah. Bibir tipisnya terlihat komat kamit, entah dia sedang kedinginan atau memang menghafal beberapa bagian dari isi buku yang ia pegang atau justru sedang membaca mantra. Aku tak tahu. Melihat itu, aku tiba-tiba iba. Iba? ah, aku tak tahu apa namanya.Â
"Mau teh hangat?" celetukku tiba-tiba yang dibarengi dengan tatapan penuh tanda tanya darinya. Â Dia hanya menggeleng sambil mengembangkan senyumnya yang seolah-olah takut menyakiti perasaanku.
"Terima kasih sebelumnya." Balasnya kemudian.
"Anak kelas berapa?"
"Sebelas IPA-2" jawabnya.
"Oh, pantes."
"Kenapa?"
"Kutu buku."
"Demi masa depan yang gemilang." Ucapnya sambil setengah tertawa.
Aku bergeming, lalu mengambil ponsel dari saku celana dan memeriksa aplikasi apapun seolah mengisi kekosongan waktu saat itu.Â