Aku selalu menikmatiÂ
Matahari yang menyapa bumi di timur cakrawala,
dan sudut langit yang mulai dimerahkannya,Â
juga malam yang masih mencari persembunyiannya,
di balik tetesan embun di bawah kakinya,
bersama burung-burung yang menutup
dan membuka dua panggung hidup,
yang berimpit dalam nyanyiannya.
Ketika malam, jalan ini sunyi dan gelap.Â
Dan semalam dua orang muda bercengkrama mesra di bawah kakiku.Â
Aku tidak menghiraukannya, demikian pun mereka.Â
Hingga kudengar laki-laki muda itu memekik,"Ah! Kau, rupanya!"
Ditangkapnya kakiku.Â
Ditatahkannya segala ungkapan cinta di bawah lututku tanpa menunggu hilang rasa kejutku.Â
Darahku sedikit mengalir. Tak lama,Â
dan mereka meninggalkanku dengan asap bakaran minyak pelumas di tubuhku.Â
Ini bukan kali pertama, mungkin sudah ratusan, atau lebih,Â
aku tidak ingat, dan mungkin tak perlu diingat.
Kegelapan dan kesunyian malam di jalan ini masih samaÂ
sejak puluhan tahun yang lalu hanya ungkapan cinta dan harum bakarnya yang mungkin berbeda.Â
Dalam kesunyian dan kegelapan  dulu mereka memburuÂ
dengan  harum gaharu yang masih disisakan untukkuÂ
dan semoga tetap lestari untukmu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H