Negeri kita memang subur makmur, aman, tenteram, dan damai sejahtera. Seperti yang terungkap dalam bahasa Jawa: gemah ripah loh jinawi tata tenterem kerta raharjo.
Namun demikian kadang terjadi peristiwa yang memilukan karena bencana alam atau kekacauan karena ulah sebagian dari warga atau sekelompok orang yang mencari keuntungan sendiri.
Kisah-kisah ini banyak tergambar dalam cerita Tutur Tinular dalam mitologi dan legenda yang tertulis di masyarakat kita.
Kisah yang mengandung pesan moral inilah yang diangkat dalam Festival Kesenian Tradisional 2023 atau FKT23 pada Minggu, 9 Juli 2023 di Lapangan Cubung, Kulon Progo Yogyakarta.
Festival Kesenian Tradisional 23 ini diselenggarakan oleh gereja Katolik di wilayah Kevikepan Yogyakarta bagian barat dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat. Seniman, budayawan, dan tokoh masyarakat dengan tujuan menjaga kerukunan dan kesatuan serta kedamaian yang telah terjaga dengan baik dengan sebuah kegiatan kesenian dan kebudayaan.
Seperti cerita Timun Mas dan kisah Sarpakenaka Lena yang menceritakan jatuh cintanya Sarpakenaka pada Laksmana adik Rama dalam kisah Ramayana. Kisah percintaan bertepuk sebelah tangan ini berakhir memilukan.
Ada juga kisah-kisah kontemporer dalam masyarakat seperti penebangan hutan dan perusakan alam di sekitar Nanggulan, Kulon Progo. Peristiwa yang mengisahkan perubahan pola kehidupan masyarakat yang cenderung mulai meninggalkan kegotongroyongan dan kekerabatan dan mengakibatkan terbelahnya pandangan masyarakat.
Kisah-kisah di atas dalam FKT23 dipentaskan dalam bentuk tarian massal yang melibatkan antara 80-100 penari dan 20 orang pemusik dan penabuh gamelan untuk setiap peserta.Â
Peserta FKT23 ada enam paroki yakni Klodran Bantul, Nanggulan, Pelem Dukuh, Promasan, Boro, Gamping, dan Wates dengan waktu tampil antara 14-20 menit.
Hal yang luar biasa dalam FKT23 iringan karawitan secara live dengan kolobarasi drum, keyboard, gitar, bas, dan biola. Tembang pengiringnya pun semuanya tembang dolanan tradisional Jawa dan campursari.
Penari dan pemusik 90% dari kaum muda. Semuanya memakai pakaian tradisional Jawa. Demikian juga panitia penyelenggara merupakan Orang Muda Katolik (OMK) dengan Romo Dwi Agus Merdi Nugroho, Pr selaku pembina Komisi Kepemudaan Paroki Klodran Bantul.Â
Acara dimulai pada jam 9 pagi dan berakhir pada jam 4.35 sore mendapat apresiasi masyarakat dengan jumlah penonton antara 6-7 ribu.Â
Festival Kesenian Tradisional 23 ini merupakan kegiatan ke 12 yang diselenggarakan kembali setelah terhenti dua tahun karena pandemi Covid-19.
Bertajuk: Pulih, Gigih, Linuwih mengajak semua masyarakat bangkit kembali dengan teguh dan lebih bersemangat setelah masa pandemi Covid-19 berlalu.
Tempat penyelenggaraan yang strategis dan inisiatif penyelenggara serta jumlah penonton yang luar biasa membuat UMKM yang dilibatkan dalam acara ini sangat laris dalam berjualan aneka macam makanan, minuman, kerajinan tangan, dan usaha pakaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H