Adalah Suparman, sebut saja demikian, seorang petani kecil di Sumber Wuluh yang lahannya ditanami tebu dan kelapa. Lahannya yang tak begitu luas tak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Ia pun bekerja sebagai pencari pasir dan batu di Curah Kobokan.Â
Bersama empat orang temannya setiap hari bisa mendapat satu truk pasir hitam yang dihargai 450 ribu rupiah oleh pedagang pasir. Jerih payah sebesar ini dibagi lima orang maka masing-masing mendapat 90 ribu.Â
Sayang sekali, saat erupsi Gunung Semeru pada 4 Desember 2021 material vulkanik telah menimbun ladangnya dan menghanyutkan truk juragannya saat sedang diisi pasir. Suparman pun kehilangan kebun dan pelanggan setia yang membeli pasirnya.
Sedang truk-truk lain yang jumlahnya puluhan sudah mempunyai buruh gali pasir dan batu sendiri-sendiri. Kecuali jika para penggali sedang ada pekerjaan lain maka pemilik truk akan memakai buruh gali lainnya.Â
Kini Suparman yang tidak mungkin bertani lagi bersama temannya berganti profesi 9sebagai pemecah batu. Tempatnya pun tetap sama, yakni di Curah Kobokan. Sebuah pekerjaan yang lebih berat dan beresiko tinggi.Â
(Baca juga:Â Mereka Tak Mau Menyerah pada Keadaan (2))
Berat karena kadang harus memindah batu ke tempat yang jauh dari tebing pasir. Sebab getaran saat memecah batu bisa saja melongsorkan tebing pasir dan menimbun batu yang akan dipecah atau bahkan menimbun mereka.Â
Kekerasan batu juga berbeda sehingga waktu pemecahan juga tidak sama. Kadang dalam sehari hanya bisa mengumpulkan sebanyak 3-4 m kubik. Padahal satu truk isinya sekitar 7-8 m kubik yang dijual seharga 500 ribu rupiah.
Untuk menjual batu maka harus memecah dulu menjadi seukuran antara 40 x 40 atau lebih kecil.Â
Resiko lain yang juga berbahaya adalah percikan pecahan batu mengenai wajah atau bagian tubuh lainnya.Â
Setelah batu pecah sesuai ukuran maka dinaikkan ke dalam bak truk. Ada yang dinaikkan sendiri ada juga yang secara estafet.Â
Para pembeli yang sebenarnya juga pedagang pasir dan batu kadang meminta lagi ukurannya lebih kecil. Maka sekalipun sudah di atas bak truk, batu harus dipecah lagi.
Di akhir musim hujan sekarang ini, curah hujan di sekitar puncak Semeru dan Curah Kobokan kadang masih tinggi. Derasnya air hujan akan menggerus dan menghanyutkan pasir dan menimbun bebatuan yang telah dipecah dan siap dijual. Inilah resiko terakhir yang paling menyesakkan.
Hidup adalah perjuangan. Apa pun keadaannya harus diterima dan dijalani dengan ikhlas. Tanpa mengeluh. Suparman dan teman-temannya hanya sebagian dari korban erupsi Gunung Semeru yang terus berjuang demi sebuah kehidupan. Mereka tak mau menyerah pada keadaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H