Kami pun ingat akan ajaran sosiologi seorang guru kami seorang biarawan Belanda yang pernah memberitahu agar pandai-pandai memahami akan adat istiadat setempat jika bergaul dan mengajar di suatu pelosok.
Sampai di rumah, mendengar kisah Giso, orangtua asuhnya terkejut dan memintanya keluar dari rumah dan tak pelak memintaku menjadi wakil orangtua untuk menghadap orangtua Kembang Kantil.
Tiga bulan kemudian Kembang Kantil menemui saya dan mengajak menuju ke rumah sewaan Giso di Malang Selatan tempat ia menjadi guru sukarelawan. Hasil pembicaraan, pada Senin Paing kami harus menemui orangtua Kembang Kantil.
Tak lebih dari sebulan setelah menemui orangtua Kembang Kantil, pernikahan mereka diresmikan.
0 0 0
Kisah ini membuat saya semakin tertarik mempelajari sosial budaya terutama adat istiadat lokal sekitar masyarakat perdesaan khususnya wilayah pedalaman selatan tanah Jawa. Sedikit banyak, kawin paksa ini masih berbau sisa-sisa ajaran pada masa Majapait seperti yang tersirat dalam Kutara Manawa. Di mana orangtua berhak menentukan masa depan atau perkawinan anak gadisnya. Paling tidak ini yang saya tangkap dari penuturan dosen sosiologi kami di IKIP (sekarang Universitas Negeri) Malang.
0 0 0
Empat puluh tiga tahun berlalu, Giso dan Kembang Kantil sudah menimang empat orang cucu. Tiga bulan lalu sempat menemui di lereng Semeru.
Kini, di sisi barat pinggir jembatan Gladak Perak yang telah musnah saya memandang ke lereng selatan Gunung Semeru serta mengingat kembali pada Kembang Kantil dan Giso. Sambil berharap dan berdoa mereka tetap bahagia dan sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H