Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Kawin Paksa di Lereng Gunung Semeru

16 Desember 2021   19:10 Diperbarui: 16 Desember 2021   19:20 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desa di lereng utara Gunung Semeru. Dokumen pribadi.

Kawin paksa selama ini pandangan kita pada seseorang gadis yang dijodohkan oleh orangtuanya dengan seorang lelaki pilihan orangtuanya. Apa pun status pria tersebut. Tua, kaya, sudah beristri lebih dari dua atau sudah mempunyai anak lima.

Ternyata kawin paksa juga berlaku bagi kaum pria terutama yang masih lajang dalam arti belum pernah menikah. Apakah ini masih berlaku di suatu daerah tertentu yang adat istiadatnya begitu kolot atau sudah luntur sama sekali. Perlu sebuah pengamatan langsung di suatu daerah yang dulu pernah memiliki adat seperti ini.

Inilah kisah kawin paksa seorang pemuda dengan gadis desa.

Seminggu setelah lulus sekolah keguruan, kami bertiga saya, Yebe, dan Giso yang bersahabat berjanji untuk saling mengunjungi tempat asal kami masing-masing yang saling berjauhan dengan alasan bila sudah kuliah atau bekerja sulit bisa bertemu lagi. Juga mengunjungi teman-teman yang telah sekolah.

Setelah saling berkunjung ke desa kami masing-masing, tibalah waktunya mengunjungi salah satu kembang sekolah yang rumahnya di lereng Gunung Semeru yang saat ini bergemuruh. Sebut saja namanya Kembang Kantil.

Saat perpisahan sekolah, Kembang Kantil sudah diberitahu oleh Giso (sebut saja demikian) bahwa pada hari Selasa Kliwon kami bertiga akan berkunjung.

Seperti kesepakatan, pada Selasa Kliwon kami datang ke sana dengan sambutan ala desa yang sederhana. Sapaan dan senyum orang desa bukan dari keluarga Kembang Kantil saja tetapi juga dari kerabat dan tetangga.

Tiga jam menikmati indahnya lereng Semeru dengan berjalan-jalan di tepi hutan dan Kali Bening sungguh luar biasa. Apalagi saat menikmati sajian makan siang sayur daun salam dan so dengan sambel terasi dan lauk tempe benguk.

Selesai menyantap sajian, Kembang Kantil masuk ke dalam rumah dan kini yang menemui kami emak dan bapak Kembang Kantil. Dalam bahasa Jawa ngoko (bahasa Jawa khusus bagi orangtua kepada anak muda), si bapak intinya mengucapkan terima kasih atas kunjungannya ke rumahnya yang sederhana. Pemakaian bahasa ngoko sedikit banyak membuat saya terkejut dan heran, sebab biasanya tamu sekali pun masih muda akan diajak bicara dengan basa karma madya (Jawa yang cukup halus) sebagai tanda penghormatan.

Keterkejutan dan keheranan saya mulai terkuat ketika tiba-tiba bapaknya Kembang Kantil bertanya, "Sapa sing sabenere dhemen karo Kembang Kantil?" Artinya, siapa yang sebenarnya mencintai Kembang Kantil.

Mendengar pertanyaan seperti ini tentu saja membuat kami bertiga saling berpandangan dan dengan gelagapan, Giso yang sedikit punya rasa langsung menjawab, "Kula, Pak." Artinya, "Saya, Pak."

Saya dan Yebe spontan terkekeh mendengar jawaban lugu dari seorang teman yang bernama Giso ini.

"Ya wis ora usah diguyu yen pancen padha dhemene ya enggal didadekake." Timpal bapaknya Kembang Kantil. Artinya: Ya sudah tak usah ditertawakan kalau memang saling mencintai ya segera diresmikan.

"Til... metu a nduk," panggil bapaknya Kembang Kantil. Artinya: Til ... keluarlah Nak.

Dengan senyum terkembang Kembang Kantil keluar dan bapaknya kembali melontarkan pernyataan, "Bener kowe dhemen karo Giso?" Artinya: Benar kamu mencintai Giso?

Kembang Kantil dengan menundukkan kepala menjawab lembut, "Inggih..." Artinya: Iya ... 

Jawaban Kembang Kantil merupakan kejutan yang sedikit membuat kami terperangah. Kami lihat wajah Giso sedikit merah seperti orang tercekik sedang Kembang Kantil seperti Sembadra yang sedang bingung.

"Aku ora gelem kowe sakloron runtang-runtung sadurunge didadekake. Mula dakjaluk bapa-ibumu enggal rene rembugan piye mengkone..." Artinya: Saya tidak ingin kalian berdua (Kembang Kantil dan Giso) berjalan berdua sebelum diresmikan. Kami minta bapa-ibumu segera kesini untuk membicarakan kelanjutannya.

0 0 0

Jam dua siang, kami berdua diantar tiga kerabatnya berjalan kaki sejauh 4 km sambil membawa 3 sisir pisang candi, 4 buah kelapa, 4 ikat daun so, dan seekor ayam menuju tepi barat Gladak Perak.

Di tepi Gladak Perak, sambil menunggu bis selama hampir satu jam kami berbincang tentang nasib Giso yang seorang yatim piatu dan hidup ngenger pada seseorang. Lucu, menarik, menjengkelkan, dan 2-3 kali saya bertanya apakah Giso dan Kembang Kantil sudah kebablasan. Walau sebenarnya saya tahu bahwa itu tak mungkin terjadi karena merasa anak-anak yang tak banyak tingkah.

Kami pun ingat akan ajaran sosiologi seorang guru kami seorang biarawan Belanda yang pernah memberitahu agar pandai-pandai memahami akan adat istiadat setempat jika bergaul dan mengajar di suatu pelosok.

Sampai di rumah, mendengar kisah Giso, orangtua asuhnya terkejut dan memintanya keluar dari rumah dan tak pelak memintaku menjadi wakil orangtua untuk menghadap orangtua Kembang Kantil.

Tiga bulan kemudian Kembang Kantil menemui saya dan mengajak menuju ke rumah sewaan Giso di Malang Selatan tempat ia menjadi guru sukarelawan. Hasil pembicaraan, pada Senin Paing kami harus menemui orangtua Kembang Kantil.

Tak lebih dari sebulan setelah menemui orangtua Kembang Kantil, pernikahan mereka diresmikan.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.

0 0 0

Kisah ini membuat saya semakin tertarik mempelajari sosial budaya terutama adat istiadat lokal sekitar masyarakat perdesaan khususnya wilayah pedalaman selatan tanah Jawa. Sedikit banyak, kawin paksa ini masih berbau sisa-sisa ajaran pada masa Majapait seperti yang tersirat dalam Kutara Manawa. Di mana orangtua berhak menentukan masa depan atau perkawinan anak gadisnya. Paling tidak ini yang saya tangkap dari penuturan dosen sosiologi kami di IKIP (sekarang Universitas Negeri) Malang.

0 0 0

Empat puluh tiga tahun berlalu, Giso dan Kembang Kantil sudah menimang empat orang cucu. Tiga bulan lalu sempat menemui di lereng Semeru.

Kini, di sisi barat pinggir jembatan Gladak Perak yang telah musnah saya memandang ke lereng selatan Gunung Semeru serta mengingat kembali pada Kembang Kantil dan Giso. Sambil berharap dan berdoa mereka tetap bahagia dan sejahtera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun