Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Asyiknya ke Desa Penari

10 September 2019   19:24 Diperbarui: 10 September 2019   20:15 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di negeri kita ini nama bukanlah sekedar sebutan namun mempunyai arti yang menggambarkan sesuatu sesuai dengan keadaan. Entah itu nama tempat seperti gunung dan bukit, nama desa atau kota, apalagi nama orang. 

Jangan coba-coba memandang rendah suatu nama. Bisa-bisa akan mendapat cacian kemarahan sang pemilik nama. Kasus nyata adalah nama Boyolali, apalagi diembel-embeli 'tampang Boyolali' yang seakan-akan tak bisa masuk hotel berbitang lima.

Bila bicara nama gunung para penikmat alam tentu akan membayang betapa sangar dan mistisnya Gunung Lawu dan Semeru. Ada lagi Gunung Kawi yang diidentikkan dengan tempat mencari berkah mendapat kekayaan. Dan yang paling heboh di Kompasiana, tentu Gunung Kemukus yang menjadi viral setelah ditayangkan sobat kita Mas Jati Kumoro.

Tentang nama desa atau kota tentu setiap daerah mempunyai cerita dan kisah sendiri dengan nama tersebut. Misal: Gunung Kidul, nama ini diambil karena berada di deretan pegunungan kapur kidul (selatan) Yogyakarta. Semarang, berdasarkan legenda Babad Tanah Jawi dari kata "aseme arang-arang" yang artinya pohon asamnya berbuah tak terlalu banyak. 

Surabaya, dari kata sura atau ikan hiu dan baya atau buaya yang berkelahi di muara Kali Mas. Di Pasuruan, ada Desa Poh Jentrek, karena di tempat tersebut banyak pohon mangga ( Jawa: poh) yang berjajar-jajar atau dalam bahasa Jawa jentrek-jentrek.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Ada juga nama desa yang sulit diketahui artinya karena sejak jaman dulu sudah disebut demikian berdasarkan sejarah. Misalnya di Malang ada Desa Panawijen atau Polowijen dan Turen yang berasal dari Bahasa Sansekerta: Turyanpadha seperti yang tertulis dalam Negara Kertagama.

Sejak tahun 80-an ada sebutan lagi bagi keadaan suatu desa. Misalnya desa nelayan karena memang mata pencaharian warganya adalah nelayan dan berada di tepi pantai. Desa terisolasi karena sulit dijangkau. Namun sekarang sebutan desa terisolasi sudah jarang. Ada juga desa tertinggal karena secara ekonomi daya beli masyarakatnya masih di bawah pendapatan nasional.

Sekarang ada juga sebutan baru bagi suatu desa yang dapat dijadikan daerah tujuan wisata. Entah wisata alam, budaya, atau kuliner. Desa wisata ini sekarang disebut dengan singkatan Dewi. Contohnya di Probolinggo ada Dewi Bohay. Terus terang penulis terkejut ketika diberi tugas Kompasiana bersama Mbak Avy Kompasianer Surabaya untuk melihat Dewi Bohay dari dekat. 

Bayangan penulis adalah seorang penari Bollywood yang semlohai. Ternyata Dewi Bohay singkatan Desa Wisata Binor Aduhay yang dikembangkan oleh CSR PJB Paiton, Probolinggo.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Makanya penulis kurang begitu setuju dengan singkatan tersebut, karena Desa Ngadas ketika didaulat menjadi desa wisata budaya lalu disingkat Dewi Ngadas kok seakan-akan akan menonjolkan kecantikan dan keluguan wanita Desa Ngadas. Kalau yang ditampilkan lelembut cewek, penulis sih setuju saja. Tapi kan malah membuat pengunjung miris.

Nah, sekarang yang lagi heboh adalah Desa Penari dengan cerita mistisnya yang gak karuan. Saking hebohnya beberapa orang minta, ikut ke sana kalau akan panen buah naga. Kebetulan penulis ada kerabat di sana.

Daripada semakin penasaran, mereka yang minta pun kami tawarkan ke desa penari yang sering atau bahkan tiga hari sekali penulis kunjungi. Tetapi bukan di Banyuwangi, di Malang saja. Apa ada? Tanya beberapa teman dan tetangga termasuk pegiat medsos dan K'ner. Tentu saja ada.

Desa penari bukanlah Desa Penari, tetapi desa wisata budaya yang banyak penarinya. Boleh dikatakan 90% warga desa tersebut pandai menari. Makanya wajar jika penulis sebut desa penari. 

Baik penari tradisional yang kebanyakan berlatih di sanggar-sanggar yang ada atau di Padepokan Seni Mangun Dharmo bahkan lulusan ISI. Bukan hanya pandai menari tetapi juga pandai bermain karawitan. Desa tersebut adalah Desa Tulus Ayu, Tumpang Kabupaten Malang.

Dokpri
Dokpri
Penari merangkap penabuh gamelan. Dokpri
Penari merangkap penabuh gamelan. Dokpri
Dilihat Nyai Roror Kidul. Dokpri
Dilihat Nyai Roror Kidul. Dokpri
Disebut Tulus Ayu karena warga atau masyarakat secara tulus ikhlas mempertahankan seni budaya tari topeng Malang. Selain itu mereka jujur dan banyak juga yang cantik serta ganteng. Tak percaya? Silakan berkunjung ke Desa Tulus Ayu yang merupakan Desa Wisata Budaya. 

Apalagi saat purnama sidhi atau terang bulan pada penanggalan Jawa tanggal 15. Kami tunggu di desa penari. Akan kami suguhkan segala macam tradisi mulai wayang ruwatan, tari topeng, dan macapatan di Candi Jago.  

Kami siap menyambut.... Dokpri
Kami siap menyambut.... Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun