Di negeri kita ini nama bukanlah sekedar sebutan namun mempunyai arti yang menggambarkan sesuatu sesuai dengan keadaan. Entah itu nama tempat seperti gunung dan bukit, nama desa atau kota, apalagi nama orang.Â
Jangan coba-coba memandang rendah suatu nama. Bisa-bisa akan mendapat cacian kemarahan sang pemilik nama. Kasus nyata adalah nama Boyolali, apalagi diembel-embeli 'tampang Boyolali' yang seakan-akan tak bisa masuk hotel berbitang lima.
Bila bicara nama gunung para penikmat alam tentu akan membayang betapa sangar dan mistisnya Gunung Lawu dan Semeru. Ada lagi Gunung Kawi yang diidentikkan dengan tempat mencari berkah mendapat kekayaan. Dan yang paling heboh di Kompasiana, tentu Gunung Kemukus yang menjadi viral setelah ditayangkan sobat kita Mas Jati Kumoro.
Tentang nama desa atau kota tentu setiap daerah mempunyai cerita dan kisah sendiri dengan nama tersebut. Misal: Gunung Kidul, nama ini diambil karena berada di deretan pegunungan kapur kidul (selatan) Yogyakarta. Semarang, berdasarkan legenda Babad Tanah Jawi dari kata "aseme arang-arang" yang artinya pohon asamnya berbuah tak terlalu banyak.Â
Surabaya, dari kata sura atau ikan hiu dan baya atau buaya yang berkelahi di muara Kali Mas. Di Pasuruan, ada Desa Poh Jentrek, karena di tempat tersebut banyak pohon mangga ( Jawa: poh) yang berjajar-jajar atau dalam bahasa Jawa jentrek-jentrek.
Sejak tahun 80-an ada sebutan lagi bagi keadaan suatu desa. Misalnya desa nelayan karena memang mata pencaharian warganya adalah nelayan dan berada di tepi pantai. Desa terisolasi karena sulit dijangkau. Namun sekarang sebutan desa terisolasi sudah jarang. Ada juga desa tertinggal karena secara ekonomi daya beli masyarakatnya masih di bawah pendapatan nasional.
Sekarang ada juga sebutan baru bagi suatu desa yang dapat dijadikan daerah tujuan wisata. Entah wisata alam, budaya, atau kuliner. Desa wisata ini sekarang disebut dengan singkatan Dewi. Contohnya di Probolinggo ada Dewi Bohay. Terus terang penulis terkejut ketika diberi tugas Kompasiana bersama Mbak Avy Kompasianer Surabaya untuk melihat Dewi Bohay dari dekat.Â
Bayangan penulis adalah seorang penari Bollywood yang semlohai. Ternyata Dewi Bohay singkatan Desa Wisata Binor Aduhay yang dikembangkan oleh CSR PJB Paiton, Probolinggo.
Nah, sekarang yang lagi heboh adalah Desa Penari dengan cerita mistisnya yang gak karuan. Saking hebohnya beberapa orang minta, ikut ke sana kalau akan panen buah naga. Kebetulan penulis ada kerabat di sana.
Daripada semakin penasaran, mereka yang minta pun kami tawarkan ke desa penari yang sering atau bahkan tiga hari sekali penulis kunjungi. Tetapi bukan di Banyuwangi, di Malang saja. Apa ada? Tanya beberapa teman dan tetangga termasuk pegiat medsos dan K'ner. Tentu saja ada.
Desa penari bukanlah Desa Penari, tetapi desa wisata budaya yang banyak penarinya. Boleh dikatakan 90% warga desa tersebut pandai menari. Makanya wajar jika penulis sebut desa penari.Â
Baik penari tradisional yang kebanyakan berlatih di sanggar-sanggar yang ada atau di Padepokan Seni Mangun Dharmo bahkan lulusan ISI. Bukan hanya pandai menari tetapi juga pandai bermain karawitan. Desa tersebut adalah Desa Tulus Ayu, Tumpang Kabupaten Malang.
Apalagi saat purnama sidhi atau terang bulan pada penanggalan Jawa tanggal 15. Kami tunggu di desa penari. Akan kami suguhkan segala macam tradisi mulai wayang ruwatan, tari topeng, dan macapatan di Candi Jago. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H