Menggali ilmu seperti ini pada masyarakat bukanlah hal yang mudah. Seperti kala penulis harus menelusuri ke pedalaman tentang santet atau nini thowok dan nyi putut yang tak terlalu sangar. Kecurigaan mereka yang diajak bicara pada akhirnya luluh juga ketika penulis disadari bukan bermaksud mencari ilmu atau mau menaklukkan seseorang. Bahwa pada masa lalu jaran guyang dan sejenisnya memang ada harus diakui.
Apakah mantra-mantranya seperti yang bisa dicari di dunia maya atau buku-buku?
Memang benar. Tetapi setiap pelaku dan dukunnya mempunyai tradisi atau tatacara atau lelaku yang berbeda satu sama lain yang tak bisa diketahui oleh yang lain. Bahkan sang peminta pun tidak akan mengetahui ritual apa yang dilakukan dukunnya.
Semar mesem, sabuk mangir, atau jaran guyang memang menjadi salah satu budaya masyarakat kita yang unik. Bisa membuat merinding. Namun sungguh indah disajikan dalam bentuk sebuah tarian yang indah untuk ditonton. Sebuah karya seni bukan sekedar keluar dari jiwa atas dasar imaji atau khayalan  sang pencipta tari. Sebab karya sastra dan karya seni selalu dipengaruhi oleh masa dan peristiwa di mana sang pencipta atau seniman tersebut tinggal dan berbudaya.
Salam budaya.
Rahayu....rahayu....rahayu....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H