Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara Mitos, Kenyataan, dan Tarian dalam Mantra "Jaran Guyang"

14 November 2018   15:11 Diperbarui: 14 November 2018   21:37 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sujono jatuh cinta pada Paiti. Dokpri

Tersebutlah Sujono, petani kecil yang hanya mengerjakan sawahnya yang tak terlalu luas itu pun hanya warisan dari leluhurnya. Sebagai lelaki yang sedang menginjak dewasa, ia telah jatuh hati pada seorang gadis manis tetangga desa. Sebut saja namanya Paiti.  Putri seorang petani yang cukup kaya secara ekonomi. Paiti sering dijumpai Sujono kala mengirim bekal makanan bagi ayahnya yang menggarap sawah tak jauh dari sawah Sujono.

Witing tresna jalaran saka kulina. Cinta tumbuh karena sering berjumpa. Sujono pun jatuh hati pada Paiti. Namun, Paiti kurang menanggapinya. Entah mengapa.

Terik matahari begitu panas menyengat kepala dan badan Sujono kala harus mengolah sawahnya  di cuaca panas Banyuwangi. Panas semakin menyengat ketika api asmara (asmaradhahana) membakar hati ketika melihat Paiti lewat tanpa sebuah senyuman yang diharapkan dapat meneduhkan hatinya.

Paiti yang manis. Dokpri
Paiti yang manis. Dokpri
Tiga empat kali panenan padi bukanlah waktu yang pendek untuk menahan gejolak hati yang terkungkung cinta yang dianggapnya bertepuk sebelah tangan. Bujuk rayu lewat bahasa tubuh atau sekedar senyuman Sujono seakan hambar tak berasa bagi Paiti.

Bahkan ketika Sujono berbincang di dangau tengah sawah dengan ayah Paiti saat istirahat pun tidak digubrisnya. Ketika Sujono menawarkan diri menemani pulang pun ditolaknya.

Lelaki pantang menyerah. Cinta ditolak dukun bertindak. Sujono pun menghadap seseorang yang dianggap bisa membantu menaklukkan hati Paiti. Sebut saja Mbah Karso.

Sujono terus mendekati Paiti.
Sujono terus mendekati Paiti.
Sebagai seorang yang dianggap sesepuh, Mbah Karso yang ingin madhep mandhita tak serta merta memenuhi permintaan Sujono. Mbah Karso ingin mengetahui apakah cinta Sujono hanya cinta erotis tanpa caritas. Ini merupakan perjuangan sendiri bagi Sujono.

Dua kali panenan waktu yang cukup untuk  belajar apa arti mencintai bagi Sujono. Mbah Karso pun rupanya kini mengetahui bahwa cinta yang tumbuh di hati Sujono bukanlah sekedar memiliki Paiti. Ia pun bersedia membantu Sujono untuk menaklukkan Paiti.

Sujono pun diminta mencari bunga panca warna: melati (putih), kantil atau cempaka (kuning), kenanga (hijau), mawar (merah), dan sedep malem (lambang biru). Setelah diberi mantra, kembang tersebut harus disebarkan di mana Paiti sering lewat atau berada. Tak berapa lama, Sujono pun akan sedikit mendongakkan kepala agak sombong kala Paiti melirik, memandang, bahkan mendekatinya. Takluklah Paiti.

Terus merayu. Dokpri
Terus merayu. Dokpri
Cinta ditolak. Kasihaaaan..... Dokpri
Cinta ditolak. Kasihaaaan..... Dokpri
0 0 0 0

Ilmu pelet seperti jaran guyang, semar mesem, dan sabuk mangir untuk menaklukkan wanita yang dicinta sering kita dengar. Konon ini adalah ilmu pengasihan yang banyak digunakan masyarakat Jawa terutama wilayah timur secara khusus daerah Banyuwangi. Sekalipun  daerah Blitar, Kediri, dan Malang Selatan juga ada.

Menggali ilmu seperti ini pada masyarakat bukanlah hal yang mudah. Seperti kala penulis harus menelusuri ke pedalaman tentang santet atau nini thowok dan nyi putut yang tak terlalu sangar. Kecurigaan mereka yang diajak bicara pada akhirnya luluh juga ketika penulis disadari bukan bermaksud mencari ilmu atau mau menaklukkan seseorang. Bahwa pada masa lalu jaran guyang dan sejenisnya memang ada harus diakui.

Apakah mantra-mantranya seperti yang bisa dicari di dunia maya atau buku-buku?

Memang benar. Tetapi setiap pelaku dan dukunnya mempunyai tradisi atau tatacara atau lelaku yang berbeda satu sama lain yang tak bisa diketahui oleh yang lain. Bahkan sang peminta pun tidak akan mengetahui ritual apa yang dilakukan dukunnya.

Kusebar bunga panca warna.... Dokpri
Kusebar bunga panca warna.... Dokpri
Paiti takluk. Dokpri
Paiti takluk. Dokpri
Masih adakah pada masa kini yang memakainya? Seorang dukun hanya tersenyum sambil menunjukkan sebuah takir berisi bunga pancawarna yang akan diberikan pada seseorang yang ingin dicintai oleh pujaannya.

Semar mesem, sabuk mangir, atau jaran guyang memang menjadi salah satu budaya masyarakat kita yang unik. Bisa membuat merinding. Namun sungguh indah disajikan dalam bentuk sebuah tarian yang indah untuk ditonton. Sebuah karya seni bukan sekedar keluar dari jiwa atas dasar imaji atau khayalan  sang pencipta tari. Sebab karya sastra dan karya seni selalu dipengaruhi oleh masa dan peristiwa di mana sang pencipta atau seniman tersebut tinggal dan berbudaya.

Salam budaya.

Rahayu....rahayu....rahayu....

Ganti Paiti merayu Sujono. Dokpri
Ganti Paiti merayu Sujono. Dokpri
Paiti menggendong Sujono. Dokpri
Paiti menggendong Sujono. Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun