Mohon tunggu...
Susi Diah Hardaniati
Susi Diah Hardaniati Mohon Tunggu... Lainnya - IBU DARI SEORANG ANAK LELAKI YANG MEMBANGGAKAN

life is nothing but a daring adventure - helen keller

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Aku Belajar dari Mama

22 Desember 2013   13:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[Untukmu Ibu] Aku Belajar dari Mama

32 - Arek Tembalangan

Beberapa tahun yang lalu, pada Hari Ibu seperti ini, aku iseng-iseng bergabung dengan siaran interaktif yang diadakan salah satu stasiun radio lokal di kotaku. Temanya tentu saja Hari Ibu. Setiap penelepon diminta menceritakan kesan-kesan tentang Ibu mereka. Termasuk aku.

Para penelepon rata-rata dengan berbunga-bunga bercerita tentang Ibu mereka, bahkan mengharu-biru, namun ceritaku sedikit berbeda. Bagiku, bicara tentang Mama adalah bicara tentang pelajaran menjalani hidup dalam dua dunia.

Pada akhir dekade 70-an, ketika aku duduk di bangku Taman Kanak-Kanak, Mama bekerja di salah satu bank swasta di kotaku (di kemudian hari, bank swasta ini jadi bank swasta terbesar di negara kita). Saat itu ibu teman-temanku rata-rata adalah ibu rumah tangga. Mama pulang kantor paling cepat pukul 4 sore, sedangkan Papa sudah ada di rumah pukul 2 siang. Aku tidak kesepian di rumah karena kami tinggal dengan Kakek dan Nenek. Ketika adik perempuanku lahir, Mama mengundurkan diri dari pekerjaannya. Selain karena Adik masih bayi, juga karena karir Papa sudah mulai meningkat.

Lewat siaran interaktif itu, aku juga menyampaikan bahwa aku menyesal Mama mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ketika pensiun, teman-teman kantor Mama dulu minimal menjabat sebagai Kepala Cabang. Dengan kemampuan Mama, aku percaya Mama bisa lebih dari mereka.

Tak disangka ucapanku itu memicu reaksi dari para penelepon berikutnya. Ada seorang ibu yang marah-marah karena beranggapan aku tidak tahu berterima kasih pada Mama. Si ibu berkata, tanpa pengorbanan Mama keluar dari pekerjaannya, aku dan adik tidak akan bisa jadi "orang" seperti sekarang ini sehingga tidak pantas kalau aku menyesali keputusan Mama.

Tanggapan ibu itu tidak aku balas.

Walaupun begitu, sampai sekarang siaran interaktif itu melekat dalam ingatanku. Ibu itu tidak memahami perasaanku menjadi anak seorang perempuan yang bekerja. Dia tidak memahami, misalnya, betapa bangganya aku melihat Mama menjemputku dari sekolah. Sekolahku kebetulan sangat dekat dengan kantor Mama, sehingga pada jam makan siang Mama bisa menjemputku untuk diajak ke kantornya, menunggu Papa menyusulku jam dua siang. Mama, dengan pakaian kerjanya, kelihatan sangat istimewa di antara ibu-ibu lain yang sama-sama menjemput anaknya. Senang sekali rasanya berjalan kaki ke kantor Mama sambil bergandengan tangan. Kalau ada teman yang bertanya, dengan bangga aku selalu menjawab, "Mamaku kerja di kantor lho. Aku mau diajak ke kantor Mama."

Aku masih ingat kantor Mama. Ruangan-ruangannya. Meja kerja Mama tempat aku suka ngumpet di bawahnya. Counter tempat karyawan melayani nasabah. Mie ayam kakilima yang sering jadi menu makan siang di kantor (dan aku kebagian tentu saja... hehehe...). Dan betapa kesalnya aku bila Papa muncul dari balik pintu kaca untuk menjemputku.

Aku sadar sepenuhnya bahwa Mama pasti punya alasan sendiri kenapa memilih jadi ibu rumah tangga. Yang jelas, pasti bukan karena Mama tidak mampu bersaing di dunia kerja. Selama bertahun-tahun aku sudah melihat bahwa Mama adalah supermanager otodidak yang sanggup menangani banyak hal, mulai dari urusan rumah tangga sehari-hari sampai tetek-bengek urusan organisasi wanita di mana ia menjadi anggota karena pekerjaan Papa. Bayangkan kalau bakat supermanager itu diterapkan dalam pekerjaannya... hmmm... aku pun pasti kalah hebat, walaupun aku sudah sekolah ke mana-mana!

Mama sebagai perempuan karir... Gambaran itu lekat betul dalam ingatanku. Mengingat Mama berdandan pagi hari di depan cermin... Sepatunya, bajunya, make up-nya, wangi parfumnya... Melihat Mama di kantor... Cara bicara Mama, cekatannya Mama, ketegasan Mama... Bahkan saat itupun aku sudah bertekad dalam hati: kalau besar nanti, aku ingin kerja seperti Mama!

Banyak perempuan memutuskan berhenti bekerja karena sulit membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan. Tapi bagi Mama, membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan bukanlah masalah besar. Terbukti, tak pernah sekalipun aku melihat Mama absen mengurusi aku dan Papa. Setiap ada undangan rapat di sekolah, Mama selalu datang. Ketika aku terpilih jadi salah satu pemeran drama sekolah, Mama yang mengurusi kostumku. Entah bagaimana, di tengah kesibukannya, Mama selalu ada buat kami.

Karena pekerjaannya, Mama punya banyak teman dan sering diajak kumpul-kumpul dengan teman-temannya. Kalau istilah terkini: hangout. Namun jangan samakan hangout versi tahun 2000-an dengan periode akhir 1970-an. Kalau sekarang tempat hangout favorit adalah kafe dan mal, jaman itu Mama dan teman-temannya lebih sering hangout di rumah salah seorang teman. Rujakan, main pingpong, ramai-ramai mencoba salon baru...

Di manapun acara kumpul-kumpul itu diadakan, Mama selalu mengajakku. Karena itu aku akrab dengan mantan teman-teman sekantor Mama. Sampai sekarang, banyak di antara mereka menganggap aku sebagai keponakan, bahkan anak mereka sendiri. Tentu saja, karena mereka sudah mengenal aku bahkan sejak aku belum lancar bicara!

Tanpa sadar, sejak kecil aku belajar bahwa perempuan boleh punya me-time. Perempuan boleh punya waktu untuk dirinya sendiri, untuk menikmati hidupnya. Perempuan bisa jadi istri, tapi dia juga boleh punya teman-teman sendiri, di luar lingkungan keluarganya.

Aku juga melihat Papa menghargai me-time Mama. Tak jarang Papa ikut bergabung dalam acara kumpul-kumpul dengan teman-teman Mama. Aku ingat Papa cukup dekat dengan teman-teman Mama yang pria. Walaupun pendiam dan tidak banyak bicara, Papa menikmati kebersamaan dengan mereka.

Banyak hal yang tanpa sadar aku pelajari dari masa-masa Mama bekerja. Banyak yang akhirnya aku terapkan juga dalam hidupku sekarang. Tentang me-time. Tentang menyeimbangkan kepentingan keluarga dan pekerjaan. Tentang skala prioritas dan manajemen waktu. Sampai sekarang aku juga selalu mengajak putraku ke acara kumpul-kumpul dengan teman-teman kantor di luar jam kerja, seperti Mama dulu selalu mengajakku. Beberapa kali aku bahkan mengajak putraku ikut dalam acara jalan-jalan yang diselenggarakan kantorku. Aku ingat serunya acara kumpul-kumpul dengan teman-teman Mama, dan aku ingin putraku juga mengalami perasaan yang sama karena kebetulan teman-teman kantorku pun seseru teman-teman Mama dulu. Dari reaksinya, dia juga menikmati kebersamaan kami.

Si Ibu dalam acara interaktif radio itu tidak tahu betapa banyak yang aku pelajari sambil mengamati Mama bekerja. Tentang bagaimana perempuan menjalani hidup sebagai istri dan ibu serta sebagai perempuan karir. Pelajaran hidup yang sekiranya tidak akan aku alami bila Mamaku tidak pernah jadi perempuan karir. Pelajaran hidup yang terhenti ketika Mama memutuskan keluar dari pekerjaannya. Pelajaran hidup yang sampai sekarang masih ingin aku reguk dan aku bagi bersama Mama.

Bagiku, ironis sekali rasanya Mama sendiri akhirnya berhenti bekerja. Walaupun begitu, aku tak pernah sampai hati bertanya pada Mama kenapa Mama memutuskan berhenti bekerja, padahal bekerja adalah passion Mama yang terbesar. Untuk urusan passion itu, Mama tidak perlu bilang, melihatnya saja aku sudah tahu, bahkan sejak usiaku masih sangat muda. Karena itu, bila aku "menyesali" keputusan Mama,"penyesalan" itu bukan berarti "nilai" Mama jadi turun di mataku karena Mama berhenti bekerja dan memutuskan jadi ibu rumah tangga. Aku menyesal karena aku tahu, bekerja adalah passion Mama yang terbesar, sesuatu yang dicintainya, sesuatu yang dia lakukan dengan luar biasa baik. Jauh dalam lubuk hatiku, aku terus bertanya-tanya apakah Mama punya cukup kesempatan untuk menunjukkan potensinya setelah Mama berhenti bekerja, sesuatu yang aku yakin berhak Mama dapatkan.

Apakah itu berarti aku tidak tahu berterima kasih pada Mama? Aku tak tahu.

Mungkin benar juga, Mama berhenti bekerja untuk membesarkan dan mempersiapkan kami, aku dan adikku, menjadi perempuan-perempuan karir seperti dirinya dulu. Sejak kami masih kecil Mama memang selalu menekankan bahwa walaupun kedua anaknya perempuan, kami harus bekerja setelah dewasa, bahkan setelah bersuami. Kami tidak boleh menggantungkan diri dari penghasilan suami. Dan itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena itu, sepanjang masa sekolah kami, Mama tidak pernah menuntut kami cakap memasak, menjahit, menyulam, atau keterampilan-keterampilan kewanitaan lain. Bagi Mama, bagus-tidaknya nilai rapor kami lebih penting daripada bisa-tidaknya kami memasak opor ayam misalnya, karena menurutnya, nilai rapor yang baik lebih menjamin peluang kami masuk dunia kerja.

Dan di sinilah kami sekarang, aku dan adikku, perempuan-perempuan yang sibuk menyeimbangkan hidup, berkeluarga dan bekerja. Walaupun tantangan dunia kerja jaman sekarang sangat berbeda dengan masa-masa Mama aktif bekerja dulu, dalam banyak hal Mama membuka jalan yang sedang kami lalui sekarang. Mama mengajarkan, tidak ada yang mustahil bagi perempuan. Bagiku, Mama menetapkan standar keseimbangan yang "ideal" antara berkeluarga dan bekerja. Membagi waktu yang sempurna antara berkeluarga dan bekerja kiranya sulit dicapai kecuali kami bisa membagi tubuh dan pikiran kami menjadi dua, tapi paling tidak, ada standar minimal yang bisa kami penuhi supaya keluarga dan pekerjaan bisa berjalan beriringan.

Pada periode akhir 1970-an, tanpa banyak teori bahkan tips dan trik agar perempuan bisa berkeluarga sekaligus bekerja, Mama sudah menjalaninya dengan baik. Sebuah kehormatan bagiku karena mendapat kesempatan belajar dan mengamati masa-masa Mama bekerja. Pelajaran dan pengalaman yang tetap relevan bagiku, tidak hanya untukku bekerja, tapi juga membentuk prinsip hidupku sebagai perempuan dengan dua dunia: di kantor dan di rumah. Sebuah kemewahan bagiku karena aku tak perlu repot-repot mencari teladan dari orang lain, cukup Mamaku saja.

Seorang ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Itu betul.

Aku belajar dari Mamaku.

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community: http://www.kompasiana.com/androgini.

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun