Mohon tunggu...
Susi Diah Hardaniati
Susi Diah Hardaniati Mohon Tunggu... Lainnya - IBU DARI SEORANG ANAK LELAKI YANG MEMBANGGAKAN

life is nothing but a daring adventure - helen keller

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Aku Belajar dari Mama

22 Desember 2013   13:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mama sebagai perempuan karir... Gambaran itu lekat betul dalam ingatanku. Mengingat Mama berdandan pagi hari di depan cermin... Sepatunya, bajunya, make up-nya, wangi parfumnya... Melihat Mama di kantor... Cara bicara Mama, cekatannya Mama, ketegasan Mama... Bahkan saat itupun aku sudah bertekad dalam hati: kalau besar nanti, aku ingin kerja seperti Mama!

Banyak perempuan memutuskan berhenti bekerja karena sulit membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan. Tapi bagi Mama, membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan bukanlah masalah besar. Terbukti, tak pernah sekalipun aku melihat Mama absen mengurusi aku dan Papa. Setiap ada undangan rapat di sekolah, Mama selalu datang. Ketika aku terpilih jadi salah satu pemeran drama sekolah, Mama yang mengurusi kostumku. Entah bagaimana, di tengah kesibukannya, Mama selalu ada buat kami.

Karena pekerjaannya, Mama punya banyak teman dan sering diajak kumpul-kumpul dengan teman-temannya. Kalau istilah terkini: hangout. Namun jangan samakan hangout versi tahun 2000-an dengan periode akhir 1970-an. Kalau sekarang tempat hangout favorit adalah kafe dan mal, jaman itu Mama dan teman-temannya lebih sering hangout di rumah salah seorang teman. Rujakan, main pingpong, ramai-ramai mencoba salon baru...

Di manapun acara kumpul-kumpul itu diadakan, Mama selalu mengajakku. Karena itu aku akrab dengan mantan teman-teman sekantor Mama. Sampai sekarang, banyak di antara mereka menganggap aku sebagai keponakan, bahkan anak mereka sendiri. Tentu saja, karena mereka sudah mengenal aku bahkan sejak aku belum lancar bicara!

Tanpa sadar, sejak kecil aku belajar bahwa perempuan boleh punya me-time. Perempuan boleh punya waktu untuk dirinya sendiri, untuk menikmati hidupnya. Perempuan bisa jadi istri, tapi dia juga boleh punya teman-teman sendiri, di luar lingkungan keluarganya.

Aku juga melihat Papa menghargai me-time Mama. Tak jarang Papa ikut bergabung dalam acara kumpul-kumpul dengan teman-teman Mama. Aku ingat Papa cukup dekat dengan teman-teman Mama yang pria. Walaupun pendiam dan tidak banyak bicara, Papa menikmati kebersamaan dengan mereka.

Banyak hal yang tanpa sadar aku pelajari dari masa-masa Mama bekerja. Banyak yang akhirnya aku terapkan juga dalam hidupku sekarang. Tentang me-time. Tentang menyeimbangkan kepentingan keluarga dan pekerjaan. Tentang skala prioritas dan manajemen waktu. Sampai sekarang aku juga selalu mengajak putraku ke acara kumpul-kumpul dengan teman-teman kantor di luar jam kerja, seperti Mama dulu selalu mengajakku. Beberapa kali aku bahkan mengajak putraku ikut dalam acara jalan-jalan yang diselenggarakan kantorku. Aku ingat serunya acara kumpul-kumpul dengan teman-teman Mama, dan aku ingin putraku juga mengalami perasaan yang sama karena kebetulan teman-teman kantorku pun seseru teman-teman Mama dulu. Dari reaksinya, dia juga menikmati kebersamaan kami.

Si Ibu dalam acara interaktif radio itu tidak tahu betapa banyak yang aku pelajari sambil mengamati Mama bekerja. Tentang bagaimana perempuan menjalani hidup sebagai istri dan ibu serta sebagai perempuan karir. Pelajaran hidup yang sekiranya tidak akan aku alami bila Mamaku tidak pernah jadi perempuan karir. Pelajaran hidup yang terhenti ketika Mama memutuskan keluar dari pekerjaannya. Pelajaran hidup yang sampai sekarang masih ingin aku reguk dan aku bagi bersama Mama.

Bagiku, ironis sekali rasanya Mama sendiri akhirnya berhenti bekerja. Walaupun begitu, aku tak pernah sampai hati bertanya pada Mama kenapa Mama memutuskan berhenti bekerja, padahal bekerja adalah passion Mama yang terbesar. Untuk urusan passion itu, Mama tidak perlu bilang, melihatnya saja aku sudah tahu, bahkan sejak usiaku masih sangat muda. Karena itu, bila aku "menyesali" keputusan Mama,"penyesalan" itu bukan berarti "nilai" Mama jadi turun di mataku karena Mama berhenti bekerja dan memutuskan jadi ibu rumah tangga. Aku menyesal karena aku tahu, bekerja adalah passion Mama yang terbesar, sesuatu yang dicintainya, sesuatu yang dia lakukan dengan luar biasa baik. Jauh dalam lubuk hatiku, aku terus bertanya-tanya apakah Mama punya cukup kesempatan untuk menunjukkan potensinya setelah Mama berhenti bekerja, sesuatu yang aku yakin berhak Mama dapatkan.

Apakah itu berarti aku tidak tahu berterima kasih pada Mama? Aku tak tahu.

Mungkin benar juga, Mama berhenti bekerja untuk membesarkan dan mempersiapkan kami, aku dan adikku, menjadi perempuan-perempuan karir seperti dirinya dulu. Sejak kami masih kecil Mama memang selalu menekankan bahwa walaupun kedua anaknya perempuan, kami harus bekerja setelah dewasa, bahkan setelah bersuami. Kami tidak boleh menggantungkan diri dari penghasilan suami. Dan itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena itu, sepanjang masa sekolah kami, Mama tidak pernah menuntut kami cakap memasak, menjahit, menyulam, atau keterampilan-keterampilan kewanitaan lain. Bagi Mama, bagus-tidaknya nilai rapor kami lebih penting daripada bisa-tidaknya kami memasak opor ayam misalnya, karena menurutnya, nilai rapor yang baik lebih menjamin peluang kami masuk dunia kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun